Lia, lima tahun terakhir, udara itu terasa lebih berat lagi. Setiap napas yang diambil adalah pengingat akan hari kelabu itu, hari di mana hid
menembus keramaian itu, kembali pada memori lima tahun silam. Seharusnya ia tidak berada di sini. Seharusnya ia ada di rumah, membenamkan diri dalam buku-buku kuliahnya, melarikan diri dari d
ngan hantu-hantu di benaknya. Namun, getaran di udara, perubahan kecil dalam atmosfer ruangan, membuat hatinya mencelos.
ia
rdiri seorang pria tinggi dengan rahang tegas dan mata setajam elang. Rambut hitamnya sedikit berantakan, menambah kesan karismatik yang dulu begitu memi
zk
anya membangkitkan rasa bersalah yang menggerogoti jiwanya. Lima tahun. Lima tahun ia berhasil menghindari pert
. Ia melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa seperti palu godam yang menghantam dada Lia. Teman Lia, seorang gadis
dah, nyaris berbisik, namun setia
tenggorokannya kering ker
pa tidak? Hidup berjalan terus, bukan? Untuk sebagian orang." Tatapannya men
. "Uhm, aku ke toilet sebentar, ya. Kalian ngobrol saja dulu." Ia beranj
sing kafe yang tiba-tiba terasa jauh. Lia memilin-milin tepi se
ini lebih keras, nyaris mengejek. "Senang bis
an sisa-sisa keberaniannya. "Aku... aku tida
ampai ke matanya. "Tentu saja tidak. Mana bis
datang. Ia sudah bersiap. Namun, tetap saja, rasa sakitnya tida
ancarkan amarah yang membara. "Kalau begitu, jelaskan padaku, Lia. Jelaskan bagaimana kau bisa selamat dari mobil yang ringsek
jenak, kenangan pahit
as Lima T
a. Anya dan Lia baru saja pulang dari pesta ulang tahun teman mereka. Anya, yang baru mendapatkan SIM dan mobil baru, mengemudi dengan sem
seru Anya, memukul setir denga
Ny," balas Lia, mengu
" Anya terkikik. "Kita mampir dulu
us!" Lia
i ikatan yang luar biasa kuat. Anya yang selalu ceria dan penuh semangat, seringkali menjadi pendorong Lia y
embalas pesan di ponselnya. Tiba-tiba, sebuah cahaya terang menyorot dari arah berlawanan. Lia mendongak, merasakan firasat buruk. Sebuah truk b
as!" seru
eka terlempar ke depan saat mobil oleng. Lia menjerit, mencengkeram dasbor erat-erat. Dalam sepersekian detik yan
AKK
ntam pembatas jalan, lalu terlempar ke sisi lain. Kaca-kaca pecah berhamburan, dan bau bensin memenuhi ud
pelipisnya. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa remuk. Yang pertama kali ia rasak
n
ulai dengan posisi yang tidak wajar. Matanya terpejam, dan wajahnya pucat pasi, tanpa
sabuk pengaman dan puing-puing mobil menahannya. Air mata memb
datangan, panik. Beberapa orang mencoba membantu, sementara yang lain menelepon polis
at, mengeluarkan Lia dari mobil yang ringsek. Lia menolak
dia!" Lia menjerit, namun suar
erubah. Ia menggelengkan kepala perlahan, sorot matan
n. "Kami sudah berusaha,
a. Anya sudah tiada. Sepupunya. Sahabatnya. Sumber kebahagiaannya. Menin
a. "Aku... aku tidak ingat banyak, Rizky," ucapnya lirih. "Yang aku ingat hany
k ingat? Mungkin karena kau terlalu sibuk dengan po
luar dari bibir Rizky, menghancurkan sisa-sisa pertahanan Lia. Ia tahu, sejak hari itu, banyak yan
Lia membela diri, suaranya bergetar. "Aku
hnya ke depan, matanya menyala-nyala. "Kau di kursi penumpang, Lia! K
emosinya memuncak. "Aku sudah bilang 'Anya, awas!' Tapi se
tidak cukup cepat untuk Anya?" Rizky me
Anya, teman-teman Anya... mereka semua menatapnya dengan pandangan yang sama, pandangan penuh tuduhan, penyesalan
ga kehilangan Anya! Kau pikir bagaimana perasaanku hidup dengan semua ini? Dengan t
Kau masih bisa tertawa. Kau masih bisa melanjutkan hidup." Matanya kembali dipenuhi kebencian yang mendalam. "Sementara
an beberapa pelanggan kafe lainnya. "Itu kecelakaan! Ke
tar, tanpa emosi. "Tapi itu tidak mengembalikan Anya. Dan bagiku, k
asa lelah, lelah dengan semua tuduhan, lelah dengan rasa bersalah yang tidak pernah hilan
" katanya, suaranya kini dingin seperti es. "Aku hanya ingin kau tahu. Aku tida
tumpah ruah, membasahi pipinya. Kata-kata Rizky menancap di hatinya, mengkonfirmasi ketakutan terbesarnya: ia akan selalu menjadi Lia, s