/0/29111/coverbig.jpg?v=69d133363b100312036777e75461409e)
tu, demi menjadi istri sempurna untuk jaksa bintang Jakarta, Baskara Wijoyo. Aku menukar
lang mabuk, menciumku dengan putus a
a. "Aku tahu kau a
pelayan menumpahkan seteko kopi panas, Baskara tidak ragu sedetik pun. Dia m
ka bakar tingkat dua. Dia panik hanya karena bekas kemerahan ke
ulitku yang melepuh. Dia hanya me
e UGD," katanya. "
h menoleh ke belakang. Tiga bulan kemudian, aku berdiri di seberangnya di rua
g adalah legenda hukum yang dikenal sebagai Nemesis. Dan ak
a
ukum berspekulasi, bertanya-tanya ke mana perginya si jenius yang tidak pernah kalah dalam satu kasus pun.
ng menebak k
ati dan senyap. Eva Lestari, yang dulu dikenal sebagai Nemesis, sekarang memakai nama Eva Wijoyo. Dia a
Dia telah menyimpan setelan jas tajam dan berkas-berkas hukumnya, menukarnya dengan celemek dan b
seorang pengacara muda yang sedang naik daun, diam-diam mengagumi jaksa brilian yang terkadang dia hadapi dalam simulasi persidangan. Suatu kali, dia
alah
kara tidak pernah bisa melupakannya. Rumah mereka adalah museum obsesinya. Meskipun tidak ada foto Aurelia di dinding, kehadirannya ada di mana-mana. Ada pada
na hatinya. Dia telah mencurahkan semua kejeniusan strategisnya ke dala
i orang asing yang sopan di rumahnya sendiri, d
g, seperti biasa, dilupakan Baskara. Dia pulang larut malam, berbau wiski mahal dan a
ejaksaan bersamanya, menertawakan beberapa kasus lama. Mereka nyaris tidak menyadari
tirahat," kata Eva lembut,
panas terasa di telinga Eva. Untuk sesaat yang memusingkan,
t dan sekadarnya yang terkadang dia berikan. Jantung Eva berdebar kencang di dadan
fokus. Dia tersenyum, senyum yang rapuh
nya mengelus pipi Eva. "Aku t
njadi debu halus dan tajam yang memenuhi paru-parunya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia ha
, menggumamkan nama Aurel
mpannya. Dia adalah pria yang dipuja oleh kota, seorang raksasa keadilan. Tapi bagin
arik sebuah kotak berdebu dari belakang lemari. Di dalamnya ada barang-barang lamanya. Sebuah ijazah berbingkai dari Fakul
tu kartu. Desainnya
Le
vo
di tangannya. Peninggal
otonya adalah kebohongan publik yang tersenyum. Jarinya berhent
di sebuah firma hukum besar di SCB
stabil dan dingin. Saat itu sudah lewat tengah malam di Jakarta, t
dua. "Dharmawan." Suaranya se
anya sendiri terdengar aneh, se
a: duduk di kantor sudutnya yang menghadap ke kota, mungkin sebata
, apa ini benar-benar kau? Ke mana saja kau selama ini? Selur
am bagi hatinya yang beku. Seseorang m
g," katanya, sebuah pernyat
iap kali aku harus berurusan dengan para hiu korporat kelas dua ini, aku mengutuk namamu karena meningga
dengan mata lelah dan rambut yang diikat sanggul sederhana. Dia meng
an, suaranya merendah. Dia adalah salah satu dari se
," jawab Eva, kebenaran it
, udara dingin memenuhi paru-parunya da
engajukan gu
an napas yang pelan dan puas
menguat, baja yang lama hilang kembali ke
ap
darat di Soekarno-
menantimu. Selamat datang kembali, Nemesis. Saatnya meng
atangani di mejanya. Dia telah menyiapkannya berbulan-bulan yang lalu
r. Sebuah pesan m
ta. Ada rapat sambil makan m
itu, lalu menghapu
ngan goresan mantap. Tanda tangannya tajam dan percaya dir
n, penantian panjang dan menyakitkan untuk se
oyo sud
telah

GOOGLE PLAY