ang Farah
cat saat melihat saudara kembarnya. "
ya tertuju padaku. Dia tidak melirik kembarannya sama s
g Kirana," kata Brama
unjuk darah yang menetes di pelipisk
ar. Tapi rasa malu lebih menyakitkan. Akulah yang berdarah,
idak tergerak oleh
aku takut sekali," rengeknya, mengulurkan tangan dengan buta. "Aku mendengar suaranya, dan
gnya, memeluknya dengan kelembutan yang membuat perutku mual.
Aku di sini. Tidak ada
et dan jatuh dari tangga di rumah kami. Pergelangan kakiku terkilir parah, dan rasa sakitnya luar biasa. Brama hanya berdiri di
ehangatannya... tidak pernah u
agi. "Aku pergi," kataku, su
i suara Brama menghentikanku.
i menghalangi jalan keluar. Kirana masih me
aranya geraman rendah. "Kau akan di
k percaya. "Aku yang terluka!
suruh dia berlutut di aula leluhur. Beri dia
tidak punya hak," desisku. "A
a bulan depan," kata Brama dengan
ia mengangkat buku sketsa kecil bersampul kulit usang yang selalu kubawa. Isi
sketsamu. Eyang Wijaya memberimu cambuk ini sebagai hadiah pernikahan, simbol otoritas
ntrol. Dan buku sketsa itu... menyimpan sisa terakhir dari diriku. Brama tahu itu. Dia tahu itu satu
merosot
hi potret-potret almarhum keluarga Wijaya, mata lukisan mereka menatapku denga
asa sakit yang tajam dan membakar menjalar ke seluruh tubuhku. Rasanya seperti kulitku diro
r yang melahapku. Gaun tipisku tidak memberikan perlindungan. Seti
u berhenti. Brama melangkah maju,
sekarang?" tanyanya, suaranya
ggungku kanvas penderitaan. Aku menatap matanukan kesalahan a
jutkan," perintahnya pad
an. Cedera punggung lama akibat jatuh dari tangga kambuh, rasa sakit yang dala
keluar dari tenggorokanku. "
rbalik, dengan lembut membimbing Kirana, yang m
t kontras dengan kekerasan yang baru saja diperinta
nji untuk melindungiku, untuk menghargaiku, untuk menjadi peri
arah di lantai, janjinya bergema di benakku,
ng kulihat sebelum aku kehilangan kesadaran adalah pu
 
 
 GOOGLE PLAY
 GOOGLE PLAY