/0/10229/coverbig.jpg?v=ab71c7d32c8b2f26d81bc8b8e14236fd)
Hampir 2 tahun pernikahan Fitri dan Eri. Fitri sama sekali tidak menyadari kalau Eri suaminya hanya menganggapnya sebagai mesin ATM berjalan. Hingga Papa mertuanya meminta ia bekerja Padahal baru saja dua minggu yang lalu ia melahirkan melalui operasi caesar. Akhirnya Fitri mulai membuka mata dan berjanji pada dirinya sendiri akan membalas rasa sakit hatinya pada keluarga Eri. Akankah pernikahan mereka terus berlanjut? Atau perpisahan pada akhirnya yang menjadi pilihan.
"Sebaiknya suruh istrimu mencari pekerjaan, apapun itu, jangan bisanya hanya menengadahkan tangan saja." Papa Mertua menunjuk kearah ku dengan wajah merah padam.
"Tapi Pa, ... " Belum sempat Eri melanjutkan kata-katanya sudah didahului oleh Papa.
"Tidak ada tapi-tapian Eri, suruh istrimu itu bekerja, karena dirumah ini tidak menerima pemalas seperti Dia." Papa mengacungkan jari telunjuk kearahku. Setelah itu Papa Sodikin yang tidak lain ada Papa Mertuaku, pergi begitu saja meninggalkan Aku dan Mas Eri diruang keluarga ini.
Sebenarnya sejak tadi aku mencoba bersabar, menahan semua amarah yang hampir saja meluap, karena baru saja tiga hari aku tingga disini, dirumah Orang tua Mas Eri, bisa-bisanya Papa Mertua memintaku bekerja.
Apa Dia bilang tadi, Aku pemalas, enak sekali dia bicara, apakah aku tidak salah dengar, bukankah selama menikah dengan Putra kesayangannya Eri Kurniawan ini, Akulah yang menanggung biaya hidupnya. "Sabar." Fitri bicara sendiri dalam hati, sambil mengusap dadanya mencoba menenangkan gemuruh yang apabila di biarkan maka sebentar lagi akan meledak.
"Sayang, bagaimana ini. Papa memintamu bekerja." Eri menghampiri Fitri istrinya yang tadi duduk di seberangnya, mengusap lembut tangan Fitri setelah ia duduk disebelahnya, mencoba menenangkan, bukan tapi mencoba agar Fitri mau mengikuti apa yang dikatakan oleh Papanya.
"Sebaiknya kita pulang ke rumah mas, sudah kubilang Aku tidak mau tinggal di rumah orang tuamu bukan titik." Kulepas tangan suamiku ini, menahan sesak karena yang terlihat ia sama sekali tidak berusaha untuk membantu dan membelaku.
"Sayang, kita mau pulang ke mana tanda tanya aku belum bayar sewa rumah kita." Dengan wajah tak berdosa Eri mengatakan pada Fitri istrinya kalau ia belum membayar sewa rumah yang selama ini mereka tinggali.
"Kok bisa Mas belum bayar sewanya, Bukankah Uang sudah kuberikan minggu lalu untuk membayar sewa rumah." Fitri sangat emosi mendengar pengakuan Eri. Bagaimana mungkin uang sewa yang seharusnya sudah dibayarkan malah belum dibayarkan.
"Hehehe." Eri terkekeh dan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Sebenarnya uang itu sudah aku gunakan untuk mentraktir adikku dan juga mama papa kemarin malam." Lagi-lagi Eri bicara tanpa merasa berdosa sedangkan Fitri sudah benar-benar emosi mendengar kalau uang yang seharusnya untuk membayar sewa malah digunakan untuk mentraktir adik dan mertuanya sedangkan ia sendiri tidak diajak.
"Kamu benar-benar keterlaluan mas, lalu mau kau bayar dengan apa sewa rumah kita?" Wajah Fitri sudah merah padam menahan emosi bahkan Tangannya sudah mengepal. Namun, Fitri masih menggunakan logikanya agar tidak terbawa emosi.
"Kita kan tinggal di sini, Jadi tidak perlu lah kita kembali ke rumah sewa itu, bukankah kita lebih baik tinggal di sini." Fitri mengusap dadanya yang bergemuruh kesabarannya hampir melewati batas tapi sebisa mungkin ia masih menahannya.
"Lalu Apa rencanamu Mas, jika kita tetap tinggal di sini?" Fitri bertanya dan menatap Eri tajam.
"Kita ikuti saja saran Papa, atau tidak ada salahnya bukan?" Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Eri barusan Fitri bangkit dan meninggalkan RI begitu saja tanpa mengirakan apa yang dikatakan oleh Eri.
Sesak, itulah yang dirasakan oleh Fitri saat ini, Bagaimana mungkin Papa mertua, ibu mertua dan suaminya begitu tega padanya, padahal baru saja dua minggu yang lalu ia melahirkan seorang putri dengan proses operasi caesar. Fitri berpikir keras Bukankah seharusnya memberi nafkah adalah tugas dari sebagai suami tapi kenapa malah iya yang disuruh bekerja di saat usia putrinya bahkan belum 40 hari.
Fitri masuk ke dalam kamar yang ia tinggali bersama Eri suaminya di rumah mertuanya ini. Setelah Mengunci pintu Ia pun melangkahkan kaki menuju ke sebelah ranjang, ada sebuah tempat tidur khusus untuk bayi dan di sanalah putrinya yang baru dua minggu lalu ia lahirkan sedang tertidur lelap. Dengan memandang wajah bayinya yang masih terlelap Fitri berhasil menghilangkan amarah yang sejak tadi bersarang di dadanya.
Setelah merasa tenang Fitri beralih keranjang Di mana biasanya ia dan suaminya beristirahat. Tidak ingin memikirkan banyak hal, pasca melahirkan walaupun tadi Bahkan ia Hampir tak mampu menahan amarahnya. Saat ini Fitri memilih meraba bahkan diri di tempat tidur hingga akhirnya ia terlelap.
Masih di tempat yang sama Eri mengumpat. "Huft, bagaimana ini, kalau Fitri tidak mengikuti saran papa bisa-bisa aku dan Fitri tidak lagi diizinkan tinggal di sini, Fitri benar-benar perempuan tidak bisa diandalkan, tidak bisa diajak kerjasama, Iya Malah pergi begitu saja di saat aku belum selesai bicara. Sepertinya aku harus merayunya, perempuan itu pasti luluh bisa sudah kekeluarkan rayuan maut ku. Hahaha." Eri yang merasa mendapatkan ide cemerlang langsung beranjak meninggalkan sofa keluar ruang keluarga yang sejak tadi ia duduki, tujuannya adalah kamar di mana istrinya dan anaknya saat ini tengah berada.
Setiba di depan pintu kamar Eri mengetuk pintu
Tok
Tok
Tok
Berkali-kali pintu diketuk dan memanggil, namun Fitri tak juga membukakan pintu untuknya. Sehingga dengan terpaksa Eri kembali ke sofa ruang keluarga karena merasa lelah tak dibukakan pintu.
Adzan subuh terdengar berkumandang di salah satu masjid tidak jauh dari tempat tinggal mertua Fitri saat ini, di saat yang sama putrinya Aliya pun menangis Yang sepertinya meminta susu setelah semalam pukul 02.00 pagi Fitri terbangun menyusui Aliya.
Setelah selesai menyusui Aliya, Fitri mengedarkan pandangannya ke segala arah tapi tak menemukan keberadaan Eri suaminya, Karena penasaran Fitri pun beranjak ke arah pintu kamar.
Ceklek
"Ouh ternyata pintu terkunci dari dalam, pantas saja Eri tak bisa masuk ke kamar ini tapi kenapa dia tidak mengetuk pintu?" Fitri bergumam dalam hati Seraya membuka pintu yang terkunci.
Fitri melangkahkan kaki menuju sofa ruang keluarga di mana tadi malam ia dan Eri suaminya bicara dengan papa mertuanya.
Karena tak didapati Eri suaminya di sofa ruang keluarga maka Fitri beralih ke arah dapur karena ia akan segera membuat sarapan. Jika tidak, maka akan terjadi perdebatan seperti yang sudah-sudah.
Daripada ia harus memikirkan Di mana keberadaan Eri itu akan membuat ia pusing.
"Bagus sekali, beginikah etika seorang menantu di rumah mertuanya? Azan subuh sudah berkumandang sejak tadi, tapi apa yang kamu lakukan? Bahkan kamu baru keluar kamar, benar-benar menantu tidak tahu diri, menyesal aku mengizinkan kamu menikah dengan Putraku satu-satunya." Belum sampai ke dapur Fitri bertemu dengan mertuanya dan sudah mendapatkan ocehan pagi-pagi dari ibu mertuanya Mama Septi.
"Maaf Ma." Fitri mengucapkan maaf dan menundukkan kepalanya bukan karena takut tapi berusaha untuk tidak berdebat dengan yang lebih tua, apalagi Fitri sudah menganggap Mama Septi seperti ibunya sendiri.
"Cepat enyahlah dari pandanganku, Aku tidak mau tahu sebelum semua penghuni rumah ini bangun, Sarapan harus sudah tersedia di meja. Kalau tidak kamu akan tahu sendiri akibatnya, dasar menantu tidak berguna." Setelah menyelesaikan kata-katanya Mama Septi pergi begitu saja meninggalkan Fitri.
Bersambung
Yuvina, pewaris sah yang telah lama terlupakan, kembali ke keluarganya, mencurahkan isi hatinya untuk memenangkan hati mereka. Namun, dia harus melepaskan identitasnya, prestasi akademisnya, dan karya kreatifnya kepada saudara perempuan angkatnya. Sebagai imbalan atas pengorbanannya, dia tidak menemukan kehangatan, hanya pengabaian yang lebih dalam. Dengan tegas, Yuvina bersumpah akan memutus semua ikatan emosional. Berubah, dia sekarang berdiri sebagai ahli seni bela diri, mahir dalam delapan bahasa, seorang ahli medis yang terhormat, dan seorang desainer terkenal. Dengan tekad yang baru ditemukan, dia menyatakan, "Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada seorang pun di keluarga ini yang boleh menyinggungku."
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Jatuh cinta bisa terjadi pada siapa saja, tidak terkecuali pada istri orang. Itulah yang terjadi pada Alex Spencer, pria pengangguran yang hidup menumpang pada istrinya, Tracy. Pesona Tessa membuatnya jatuh cinta teramat jauh. Sedang, Tessa merupakan istri Kapten Pasukan Elit Angakat Darat Salvador, Leo Willborwn. Jika dibandingkan dengannya, jelas Leo jauh lebih baik dari segi apa pun. Hanya saja, Tessa sering kesepian saat suaminya pergi bertugas. Kesempatan itu pun Alex gunakan untuk menjerat Tessa dalam hasrat gilanya. Mampukah Tessa menahan derasnya godaan birahi?
" Sadar Gra, gue temen pacar lo!! " Pekik Sila frustasi dengan tingkah pria di hadapannya. " Aku gak peduli, yang penting kamu pacar aku. " Acuh nya dengan seringai yang menyebalkan. " Stress, gila. Mati aja lo sana. " " Aku rela mati asal bersamamu. " " Najis" --- Kewarasan Sila sepertinya di permainkan saat menghadapi Agra yang merupakan pacar dari sahabatnya, pria itu tiba-tiba mengklaim dirinya sebagai pacar. Apalagi saat pria itu yang bersikap mengatur dirinya layaknya pasangan kekasih membuat Sila benar benar gemas ingin mencekik leher pria itu hingga mati.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?