/0/10362/coverbig.jpg?v=7f1527cbca078e0eac16c0990fe639b6)
Memandang sebelah mata anak beasiswa dan kalangan orang miskin sudah menjadi budaya yang terjadi hampir di seluruh sekolah elit. Taruna Bangsa salah satunya. Meski gadis itu memegang jabatan sebagai ketua OSIS, sayangnya ia tak pernah dihormati. Eksistensinya tak pernah mendapat respect oleh sekitar. Ketika hampir seluruh siswa/i menunjukkan secara terang-terangan ketidaksukaan mereka pada sosok gadis bernama lengkap Eva Nur Shafaah itu, maka ketua geng terkenal seantero Jakarta Selatan ini tak pernah sedikit pun peduli. Namun, hal itu tak berlaku lagi karena suatu kejadian yang membuat Eva harus bermasalah dengan sosok Artanabil Hibrizi, ketua geng Kompeni yang paling ditakuti dan berkuasa dalam ranah Taruna Bangsa. Selain menjabat sebagai ketua geng legendaris tersebut, Arta juga merupakan cucu dari pemilik sekolah hingga ia begitu mudah mendapatkan posisi tertinggi yang paling dihormati di kalangan murid TB. Penderitaan yang Eva topang makin terasa ketika Arta mengklaimnya sebagai 'babu'. Bukankah ketos TB terlalu dipandang rendahan? Melakukan apa pun yang diperintahkan Arta tanpa boleh melawan sedikit pun. Hubungan toxic yang dilalui antara sepasang insan. Bukankah si gadis itu terlalu polos dan tulus untuk disandingkan dengan lelaki brengsek itu? Sayangnya di dunia ini semua hal yang tak mungkin dapat menjadi sebuah kemungkinan.
Pernah malas sekolah karena dimusuhi satu circle?
Seperti seorang gadis yang saat ini berdiri di samping podium seorang diri. Ia menunduk dalam tak kuasa menerima terpaan sinar mentari yang begitu menyengat.
Padahal sedari tadi ia hanya diam tanpa ada sepatah kata dan tindakan apapun. Namun karenanya pula seluruh siswa yang menghadiri upacara Senin pagi ini mendemo pihak guru bagian pengurus OSIS. Hingga OSIS tahun lalu turun tangan mengamankan para siswa yang semakin ricuh.
Ketika sudah tenang, bu Rani selaku guru pembimbing OSIS berdiri di atas podium untuk menyampaikan beberapa hal. Semua yang telah beliau sampaikan sangatlah masuk akal, tapi tetap saja para siswa tak setuju akan hal itu. Lebih tepatnya mereka tak mau menerima.
Kerumunan siswa dibubarkan setelah mereka dinyatakan kalah telak dalam argumen. Akhirnya dengan terpaksa menerima keputusan sepihak oleh pembimbing OSIS tahun ini.
Sementara seorang gadis yang menjadi alasan kericuhan tetap terlihat tenang. Bola mata coklat terang yang indah itu melirik sekilas ke arah lelaki tampan satu angkatan dengannya di sekolah ini.
Ke-duanya saling berjabat tangan dan berjanji akan mensukseskan sekolah bersama. Tak lupa pula bagian dokumentasi memotret momen itu.
Gadis bernama lengkap Eva Nur Shafaah itu bedeham pelan. Sedikit mendongak untuk menatap wajah ganteng lawan bicaranya ini. Kelopaknya menyipit akibat terpaan cahaya mentari pagi.
"Banyak yang bilang gue sama lo bertolak belakang. Gue yang dikenal cewek pemalu dan gak pandai bergaul. Sedangkan lo cowok dingin dan cuek sama sekitar."
Jeda sejenak. Saat ini Eva mencoba mengatur detak jantungnya yang berpacu kelewat cepat entah memburu apa. Eva yang kurang bisa bergaul hanya punya empat orang teman semasa hidupnya. Semuanya segender. Jadi jujur, baru kali ini Eva berbicara sedalam ini pada seorang cowok.
Merasa gadis di depannya ini tak jua melanjutkan ucapannya yang terhenti, cowok berkulit putih bersih kemerah-merahan bernama lengkap Brian Adam Girikan itu menaikkan sebelah alis dengan tatapan merunduk ke bawah demi dapat melihatnya.
"Jadi?" Suara Adam yang berat akhirnya mengudara.
Hal yang membuat lamunan Eva buyar seketika. Berdiri berdepanan begini membuat perbedaan warna kulit mereka tampak kentara. Eva yang kuning langsat sedikit kecoklatan dan cowok itu justru putih bersih. Eva yang sedikit pesek sedangkan cowok itu dikaruniai hidung mancung. Alis dan bulu mata tebal berwarna hitam. Indah sekali dipadukan dengan kulitnya yang seputih susu. Meski demikian ia selalu tampak cool di setiap saat. Ketika olahraga perut sixpack-nya begitu tercetak jelas oleh keringat. Dia pejantan perkasa walau kulitnya seputih susu.
Menyudahi pemikiran membanding-bandingkan diri, Eva menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Masih mengusahakan diri untuk tetap tenang. Tak ingin terlihat gugup hingga bertindak bodoh di depan Adam.
"Jadi gimana bisa kita kerja sama secara totalitas buat mensukseskan sekolah sedangkan kita bertolak belakang?"
Adam mendengkus. "Bisa kalo kita kerja profesional."
Eva langsung mengerti. Cewek itu mengangguk pelan. Ternyata begini, ya? Profesional yang Adam maksud ialah tidak menyangkutpautkan urusan pribadi dengan project OSIS yang akan mereka kerjakan ke depan.
Menatap lamat wajah cowok itu, Eva tak ingin pembicaraan ini hanya sampai di sini saja. Dirinya menginginkan lebih lama. Karena suatu alasan yang jelas. Kelemahannya yang kurang bisa bergaul sering kali membuat Eva kagok sendiri ketika menjalin hubungan pendekatan dengan seseorang. Rasa tak nyaman seketika melingkupi sanubari meski Eva sudah mengusahakan semaksimal mungkin.
Dan saat ini Eva tengah berusaha menampik itu semua. Tak mau mengacaukan project ini dengan miskomunikasi karena buruknya ia ketika bersosial.
"Lo nggak masalah?" Eva bertanya penuh kehati-hatian.
Adam berdecih mendengarnya. Cowok berkulit putih bersih itu mengendikkan bahu. "Gue gak ngerti lo lagi bahas apa."
Ungkapan yang membuat Eva meringis pelan. Dengan ragu Eva menjelaskan. "Yang selama ini digadang-gadangkan sebagai ketos kan lo. Tapi tadi pas pelantikan justru gue yang naik jabatan dan lo turun."
Eva perhatikan sedari tadi raut cowok itu tak berubah. Tetap setia tampilkan wajah datarnya. "Mending lo pikirin nasib lo sendiri ke depannya. Gue rasa hati lo masih berfungsi buat ngerasain sakit. Posisi lo gak diinginkan di sini. Paham?"
"Iya, gue dibenci sama satu circle," ujar Eva murung. "Circle-nya satu sekolahan," lanjutnya lagi. Tapi kali ini senyuman tipis bertengger indah di bibir peach miliknya.
Hal yang membuat Adam termangu. Bisa-bisanya gadis itu tersenyum padahal sudah jelas satu sekolah menolak keberadaannya. Siapa yang tak tahu? Eva anak beasiswa. Ia yatim. Ibunya bekerja sebagai penjual kue di pasar. Latar belakang yang rendah bagi siswa Taruna Bangsa yang notabane-nya adalah anak para pebisnis kaya raya.
Jika Eva jadi ketos, mereka semua tak sudi berada di bawah kekuasaan si gadis miskin itu. Bahkan kompak untuk menjadi murid pembangkang dan tak peduli lagi pada kebijakan OSIS yang sekarang.
Pertentangan yang mereka lakukan di lapangan tadi ditentang balik oleh bu Rani hingga seluruh siswa kalah telak kehabisan argumen untuk melawan. Karena pada dasarnya Eva memang layak memegang jabatan ini.
Adam berdecih. "Bangga lo dibenci sesekolahan?"
Mata indah coklat terang gadis itu akhirnya menatap tajam lawan bicaranya. Melawan Adam yang memborbardir ungkapan sarkas padanya sedari tadi.
"Gue gak pernah mendaftarkan diri jadi OSIS melainkan ditunjuk langsung sama bu Rani. Mereka yang koar-koar di lapangan demi gagalnya pelantikan gue sebagai ketos akhirnya bungkam 'kan? Lo tau artinya apa? Karena emang gak ada yang pantes pegang jabatan ini kecuali gue!"
Setelahnya Eva beranjak pergi dari sana meninggalkan Adam yang terpukau mendengar ucapan Eva yang penuh angkuh tadi. Sampai sini sepertinya Adam sudah bisa menyimpulkan. Alasan Eva tak punya banyak teman selain karena ia tak pandai bergaul, gadis itu juga tak bisa mengerem mulutnya untuk menjaga keramah-tamahan pada sesama. Lihatlah bibir peach-nya tadi. Dalam satu kali pertemuan ia sudah bisa mengeluarkan suara malu-malu kucing, lalu gugup, kemudian tersenyum tipis, sampai tadi ia mengeluarkan kata-kata tajam menusuk hati.
Meski dari keluarga tak punya Eva menjunjung tinggi harga diri. Ia pantang tersentil meski sedikit saja. Mereka membangga-banggakan harta orang tua, maka Eva membanggakan kemampuannya sendiri!
Jadi, siapa yang lebih berkualitas?
***
Seorang gadis berseragam SMA Taruna Bangsa, mengenakan pashmina menutup kepala dengan model khasnya yakni melilit leher kemudian terikat rapih di bagian belakang sedang berdiri di depan pintu bertuliskan 'XII IPS 2'. Dipelukannya terdapat sebuah absen.
Pintu itu tertutup hingga menimbulkan senyap. Hampir seluruh ruangan SMA TB memang didesain kedap suara. Kelas ini menjadi salah satunya.
Gadis yang tiada bukan adalah Eva si ketos baru itu menekan knop pintu. Tanpa salam ia membukanya perlahan hingga timbulkan decitan. Suara yang sukses menarik atensi hingga suasana kelas yang tadinya berisik seketika menghening dengan pandangan yang kompak tertuju ke arah pintu masuk.
"Anjir! Gue kira guru tadi!" Salah seorang siswi berbandana maroon yang kebetulan duduk paling depan dekat pintu mengumpat. Rautnya sinis.
"Lo gak sendiri, Bro!" Cowok dengan dasi yang terikat di dahinya menyahut. Tangannya menepuk sok asik bahu cewek tadi yang langsung mendapat pelototan dari sang empu.
"Gak usah megang-megang, Babi!"
"Sensi amat. Pms lo?"
"Bukan urusan lo!"
Sudahlah, ruangan kembali riuh. Eva menyudahi acara menyaksikan drama tersebut. Ia mengedar pandang. Mendapati tak ada seorang pun memperhatikannya.
"Minggir!" Suara berat dengan intonasi angkuh menyapa indera pendengaran Eva. Belum sempat gadis itu menoleh ke belakang, tubuhnya sudah lebih dulu terhuyung. Nyaris tersungkur jika saja Eva tak sigap menyeimbangkan diri.
Detik setelahnya laki-laki paling berkuasa di sekolah ini melewatinya begitu saja. Disusul anggota geng terkenal seantero Jaksel ini yang berada di bawah kendali cowok tadi. Namanya Artanabil Hibrizi. Ketua geng Kompeni, sang legendaris yang telah berdiri sejak setengah abad silam. Selain itu ia juga merupakan cucu Arif Wijaya, pemilik SMA Taruna Bangsa. Sekolah terfavorit yang menjadi incaran para siswa, guru, dan orang tua.
Semuanya berlomba-lomba memasukkan anak mereka ke sekolah paling bergengsi se-Indonesia ini. Bukan sekolah internasional, tetapi prestasinya harum semerbak sampai ke seluruh dunia. Tak jarang dalam ajang perlombaan tingkat dunia, Taruna Bangsa merupakan sekolah dengan utusan paling banyak mewakili Indonesia.
Masuknya anggota inti Kompeni ke dalam kelas ini benar-benar menarik perhatian semua orang.
"Badan lo mungil? Disenggol langsung sempoyongan tidak?" Adelion Bramasta, cowok yang kerap dipanggil Yoyon itu menyuarakan tanya dengan nada khas sound yang tengah viral saat ini di aplikasi TikTok.
"Tidak?!" katanya terpekik histeris. "Ahh lemah!!" Demi mendalami peran, setelah berkata demikian Yoyon langsung berjoget pargoy dengan musik manual yang keluar dari mulutnya sendiri.
Cowok dengan jabatan sebagai wakil ketua geng Kompeni bernama lengkap Reza Pahlevi yang saat ini berdiri di sebelah Yoyon langsung menggeplak keras kepala cowok itu. "Gak usah ngedesah goblok!!"
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Siska teramat kesal dengan suaminya yang begitu penakut pada Alex, sang preman kampung yang pada akhirnya menjadi dia sebagai bulan-bulannya. Namun ketika Siska berusaha melindungi suaminya, dia justru menjadi santapan brutal Alex yang sama sekali tidak pernah menghargainya sebagai wanita. Lantas apa yang pada akhirnya membuat Siska begitu kecanduan oleh Alex dan beberapa preman kampung lainnya yang sangat ganas dan buas? Mohon Bijak dalam memutuskan bacaan. Cerita ini kgusus dewasa dan hanya orang-orang berpikiran dewasa yang akan mampu mengambil manfaat dan hikmah yang terkandung di dalamnya
Naya Agustin, "aku mencintaimu, tapi cintamu untuknya. Aku istrimu, tapi kenapa yang memberi segalanya ayah mertuaku?" Kendra Darmawan, "kau Istriku, tapi ayahmu musuhku. Aku mencintamu, tapi sayang dosa ayahmu tak bisa kumaafkan." Rendi Darmawan, "Jangan pedulikan suamimu, agar aman dalam dekapanku."
Rubby sudah merasakan berbagai jenis cinta, sekaligus berbagai jenis ranjang dan desahan, namun akhirnya dia tersudut pada sebuah cinta buta dan tuli yang menjungkir balikkan kewarasan dia, meski itu artinya... TABU, karena seseorang yang dia cintai, adalah sesorang yang tidak seharusnya dia kejar. Ruby hanyalah gadis di pertengahan tiga puluh tahun. Meski begitu, tubuhnya masih terawat dengan baik. Pinggangnya masih ramping tersambung oleh lengkungan indah pinggul yang tidak berlebihan meski kentara jelas.
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?