Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Siapa Takut Pengkhianat Cinta
Siapa Takut Pengkhianat Cinta

Siapa Takut Pengkhianat Cinta

5.0
59 Bab
782 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Bagaimana rasanya dikhianati oleh pacar dan saudara sepupumu sendiri? Hubungan Andini dan Carvian hancur karena kehadiran orang ketiga. Yang membuat Andini semakin sakit hati adalah, cewek yang masuk ke dalam hubungannya dengan sang pacar, yang dengan teganya merebut pacarnya sendiri, menusuknya dari belakang, adalah Aulia, saudara sepupunya sendiri. Meskipun begitu, Andini tidak ingin terlihat lemah di depan Carvian dan Aulia. Dia memutuskan untuk tetap berdiri tegak, menghadapi pengkhianatan dan perselingkuhan yang dilakukan oleh dua orang yang sangat disayanginya itu. Ketika Andini bersedih, yang berdiri di sisinya adalah Irvan, sahabat dekatnya. Bersama dengan Irvan, Andini berniat untuk move on dan melupakan masa lalu menyakitkannya. Dan hal itu juga yang membuat Andini menerima pernyataan cinta Irvan, ketika Irvan berkata sudah sejak lama dia menyimpan rasa cintanya untuk Andini. Walau Andini belum bisa sepenuhnya membuka hati, tapi Irvan bersedia menunggu dan Andini pun berjanji untuk belajar mencintai Irvan. Sayangnya, Carvian tidak terima Andini memutuskan hubungan mereka. Dia masih sangat mencintai Andini dan ingin Andini kembali padanya. Menurutnya, tidak ada yang salah untuk memiliki dua orang pacar sekaligus, terlebih Aulia tidak mempermasalahkan hal itu. Aulia juga memiliki rencananya sendiri. Dia menginginkan Irvan, karena dia tidak pernah suka dengan kenyataan bahwa Andini selalu mendapatkan apa yang dia inginkan di dalam hidupnya. Perselingkuhan, air mata, dendam, cinta yang tulus... akankah Andini dan Irvan bisa menghadapi Carvian dan Aulia yang tak pernah menyerah untuk menyakiti dan memisahkan keduanya?

Bab 1 Chapter 01

“Gue suka sama lo. Gue mau lo jadi cewek gue!”

Cewek di hadapan Irvan saat ini hanya menatapnya datar. Benar-benar tidak ada ekspresi yang terlihat dari wajah cantiknya, juga kedua mata hitam pekatnya. Irvan sendiri tidak tahu harus bersikap bagaimana sekarang. Dia sudah memerhatikan cewek ini sejak tahun pertama mereka bersekolah, dan sampai sekarang, ketika mereka sudah duduk di bangku kelas tiga dan sebentar lagi akan menjadi siswa SMA, Irvan baru mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaannya.

“Sorry, gue nggak tertarik untuk jadi cewek lo karena gue nggak suka sama lo.”

Jawaban itu membuat Irvan terpaku. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Kepalanya tertunduk. Matanya menatap tajam aspal di bawahnya. Sesekali, peluh itu mengalir di pelipis menuju rahangnya. Dadanya bergemuruh. Ralat, sejak awal dadanya memang bergemuruh. Hanya saja, di awal tadi karena gugup, tapi kali ini karena malu dan sedikit kesal akibat ditolak.

Sialan!

Irvan mengutuk cewek itu di dalam hati. Apa yang salah padanya? Tidak, tidak ada yang salah pada dirinya. He’s a good looking guy, he’s a smart guy, he’s a popular guy! There’s nothing wrong with him. It should be... her! Yang salah adalah... cewek itu. Cewek itu menolak pernyataan cintanya? Pernyataan cinta seorang Irvan? Irvan yang selalu dikejar-kejar oleh para cewek?!

This is bullshit! This is nonsense!

Setelah mengatakan jawabannya, cewek berkepang setengah ke belakang itu membungkuk sedikit dan pergi dari hadapan Irvan. Irvan sendiri tidak berusaha mencegah. Rahang cowok itu mengeras dan kepalan tangannya semakin menguat hingga buku-buku tangannya memutih. Bahkan, tanpa Irvan sadari, telapak tangannya mulai sedikit mengeluarkan darah akibat tertancap kuku tangannya.

“Cewek sialan,” bisik Irvan tajam. Kepalanya kini terangkat. Matanya menatap dingin punggung cewek yang sudah menolaknya barusan. Cewek itu kini terlihat berbicara dengan seorang cowok dan keduanya pergi mengendarai sebuah motor. “Cewek sialan!”

Dalam hati, Irvan bersumpah. Dia akan menunjukkan pada cewek itu bahwa keputusannya untuk menolak pernyataan cintanya barusan adalah kesalahan terbesar. Irvan akan membuktikan pada cewek itu bahwa dia sudah kehilangan sebuah kesempatan besar untuk menjalin sebuah hubungan dengan seorang cowok populer seperti dirinya.

“You’ll regret this, you silly girl!”

###

Present, 2018

“Korban ke berapa barusan?”

Irvan menoleh dan tertawa. Cowok itu mengibaskan sebelah tangan dan kembali menyesap kopi susunya.

“Dua puluh lima dalam sebulan ini.”

Carvian menatap Irvan ngeri dan menggeleng. “Nggak takut karma?”

“Why should i? Cewek-cewek itu yang mau sama gue, kok. Mereka yang dekatin gue, nyatain cinta ke gue, dan gue hanya memberikan persyaratan.”

“What? You have some condition for them?”

Irvan menjentikkan jari dan mengangguk mantap. “Jelas! Lo pikir, gue nggak tau kemauan mereka apa?”

“Siapa tau ada cewek yang benar-benar tulus sayang sama lo, Van,” sahut Carvian kalem. “Nggak semua cewek sama.”

“Yang jelas, cewek-cewek itu punya tujuan yang sama. Mereka dekatin gue karena gue ini tampan, karena gue ini berduit. Intinya, buat dipamerin. Terus, kalau gue lengah, mereka bakal bikin kecelakaan. Ujung-ujungnya, gue bakalan terpaksa nikahin mereka, karena mereka cuma mau ngejar uang gue doang.”

Carvian mendesah panjang dan memijat pelipisnya. Cowok itu hanya tersenyum simpul dan menepuk pundak Irvan beberapa kali.

“Look,” kata Carvian dengan nada simpatik. “Gue tau sejarah lo jadi kayak gini. Tapi, cewek yang nolak lo dulu di zaman SMP bukan cewek matre. Jadi, lo nggak punya hak dan alasan untuk judge semua cewek di luar sana hanya menginginkan cowok yang tampan dan berduit doang. Cewek yang nolak lo dulu sama semua mantan lo ini bahkan nggak punya kemiripan sama sekali dari sisi sifat.”

“But still, gue nggak percaya sama yang namanya cewek! Gue mendekati dan memacari semua cewek-cewek itu hanya untuk membuktikan ke cewek sialan yang udah nolak gue itu, bahwa dia udah bikin kesalahan besar dengan menolak pernyataan cinta gue! Bahwa gue ini bisa mendapatkan cewek mana pun yang gue mau dan bisa membuang mereka kapan pun gue inginkan! Dan karena beberapa mantan gue terbukti hanya mengejar uang gue aja, maka gue yakin semua cewek sama aja!”

Carvian lagi-lagi mendesah dan mengangkat bahu tak acuh. Cowok itu mengambil ponsel dan membaca entah apa. Kemudian, senyumnya merekah. Dia menjentikkan jari di depan wajah Irvan, menarik perhatian sahabatnya itu.

“What?”

“Andini ngajak main nanti sepulang kantor. Ikut?”

Irvan nampak berpikir dan akhirnya mengangguk. “Boleh. Cewek lo suka ngambekkan kalau nggak diikutin kemauannya. Gue ogah jadi sasaran ceramahnya dia.”

Carvian hanya menanggapinya dengan tawa.

###

“Lo sayang beneran sama Carvian, Din?”

Pertanyaan Irvan itu membuat Andini menoleh dan mengerutkan kening. Dia mengambil sebuah kentang goreng, mengolesinya dengan saus sambal, lalu menyuapi kentang goreng itu ke mulut Irvan. Carvian sendiri sedang mengantri untuk membeli es krim atas perintah Andini.

“Pertanyaan bodoh macam apaan, tuh? Apa perlu lo tanya lagi?”

Irvan mengangkat bahu tak acuh sambil mengunyah kentang goreng yang baru saja disuapi oleh Andini. “Siapa tau gitu, lo hanya manfaatin Carvian karena dia ganteng dan mapan.”

Andini tertawa dan menggeleng. Dia meminum es lemonnya dan menopang dagu dengan sebelah tangan. “Kenapa? Lo mikirnya semua cewek itu matre dan hanya mengutamakan tampang?”

“Who knows,” jawab Irvan kalem, tapi sanggup membuat Andini berdecak bete dan menyentil kening sahabatnya tersebut.

Sejak pertama mengenal Irvan, Andini tahu kalau Irvan tidak benar-benar ingin mempermainkan hati para cewek yang mendekatinya. Dia tahu sejarah Irvan menjadi seorang playboy dari Carvian, sang pacar. Carvian dan Irvan sudah saling mengenal sejak tahun pertama kuliah dan bersahabat, karena itu, Carvian menceritakan semua hal mengenai Irvan pada Andini, saat keduanya resmi berpacaran dan atas persetujuan Irvan sendiri.

Kalau boleh berkata jujur, Irvan adalah salah satu sahabat terbaik yang Andini kenal. Cowok itu baik hati, tidak pelit, perhatian, peduli pada teman-temannya. Bahkan menurut pengakuan Carvian dan Irvan sendiri, Andini adalah satu-satunya teman cewek Irvan yang sangat dijaga oleh cowok itu. Irvan tidak akan membiarkan orang lain mengganggu Andini. Dan Carvian bersyukur karena Irvan tidak menyamakan Andini dengan cewek-cewek lain yang Irvan anggap matre dan tidak tahu diri.

“Udah saatnya lo berdamai sama masa lalu lo sendiri, Van,” kata Andini. Cewek itu lantas tersenyum lebar saat Carvian kembali membawakan es krim vanilla kesukaannya. Carvian mengusap kepala Andini lembut dan kembali menyantap makanannya sendiri. “Gue rasa, ada alasan dibalik penolakan cewek di zaman SMP lo itu.”

“Alasan? Mungkin karena cowok yang jalan sama dia waktu itu lebih tampan dibanding gue! Juga, karena cowok itu naik motor sport, makanya tuh cewek lebih memilih dia. Tipe cewek matre dan hanya mengandalkan tampang, isn’t she?”

Andini menarik napas panjang dan menjambak rambut Irvan, hingga cowok itu mengaduh dan membalas Andini dengan cara mencubit pipinya.

“Apa yang lo liat, belum tentu itu kebenarannya. Semua hal selalu memiliki kebenaran yang tersembunyi, loh.” Andini menyuapi Carvian dan Irvan dengan es krim miliknya. “For example... siapa tau, dia nolak lo karena sahabatnya ternyata naksir sama lo?”

“Hah?”

Carvian mengacungkan sendok di tangannya ke udara dan sambil mengunyah, dia berkata, “Bisa jadi! Kenapa gue nggak kepikiran, ya?”

“Cewek itu ada dua tipe. Ada yang memendam, ada yang maju tanpa mikirin malu. Nah, mungkin sahabat cewek yang nolak lo itu tipe pemalu. Dia hanya bisa menyukai lo dari jauh, cerita ke si cewek yang nolak lo ini dan akhirnya mutusin untuk nggak menerima pernyataan cinta lo, karena nggak mau sahabatnya bersedih.”

“Kenapa juga dia harus repot-repot ngelakuin hal itu? Yang gue suka itu dia, bukan sahabatnya. Terserah gue mau jadian sama siapa. Seandainya asumsi lo benar, seharusnya sahabatnya tuh cewek bisa menerima dengan hati lapang kalau tuh cewek jadian sama gue.”

“Mungkin cewek itu termasuk tipe orang yang memikirkan dan mementingkan perasaan orang lain ketimbang dirinya sendiri,” sahut Carvian kalem. “By the way, gue bahkan nggak pernah tau siapa nama nih cewek. Lo hanya bercerita tanpa menyebutkan nama.”

“Am i?” tanya Irvan ragu. Carvian dan Andini mengangguk sebagai jawaban. “Hmm... namanya Aulia Serenity.”

“Hah?!”

Carvian dan Irvan sama-sama menoleh saat mendengar seruan Andini. Cewek itu mengerjap dan membiarkan sendok es krimnya mengudara tanpa sempat dia masukkan ke dalam mulut. Wajah dan tatapan kaget Andini membuat Irvan mengangkat satu alis dan bersedekap.

“Kenapa lo, Din?”

“Siapa namanya tadi? Aulia... Serenity?”

Irvan mengangguk, sementara Andini meringis aneh.

“Mmm... gue nggak tau apa ini bisa disebut kebetulan atau emang takdir. Salah satu tujuan gue ngajakin lo berdua makan bareng saat ini adalah, untuk memperkenalkan salah satu sepupu gue yang baru pindah lagi ke kota ini untuk membuka cabang usaha kue dia. Dan... namanya Aulia Serenity.”

Irvan terpaku. Jantungnya kini berdetak kencang. Entah kenapa, wajah Aulia kini mampir di benaknya. Baru saja dia ingin menanyakan maksud ucapan Andini barusan, sebuah suara yang masih sangat Irvan hafal sejak dulu, terdengar. Andini dan Carvian menoleh, pun dengan Irvan.

Lalu, Irvan berdiri begitu saja dari kursinya, ketika seorang cewek dengan rambut pendek sebahu muncul di sampingnya. Keduanya saling tatap. Jantung Irvan semakin berdetak tidak karuan. Kenangan demi kenangan masa SMP nya kini menyeruak ke permukaan. Termasuk penolakan dari cewek di hadapannya saat ini.

“Ah... lo yang dulu gue tolak di halaman samping sekolah. Apa kabar? Lo teman Andini?”

Dia, Aulia Serenity. Masa lalu Irvan.

###

Suasana mendadak canggung.

Andini menarik napas panjang sambil menopang dagu dengan sebelah tangan. Matanya melirik Irvan yang duduk di sampingnya dan Aulia yang duduk di hadapan Irvan. Carvian sendiri duduk di samping Aulia, atas permintaan Irvan. Cowok itu menolak duduk berdampingan dengan Aulia dan Carvian tahu, saat ini suasana hati Irvan sangat buruk. Cowok itu nampak bete dan hanya menatap ke keramaian di sekitarnya tanpa mau menatap ke arahnya, Andini maupun Aulia.

“So, kalian rupanya saling mengenal,” kata Andini, memecah kesunyian.

Aulia, saudara sepupu Andini mengangguk. Cewek itu tersenyum tipis dan menunjuk Irvan. Yang ditunjuk hanya melirik sekilas dan mendengus.

“Dia teman SMP gue, Din.”

“Oh. Gue nggak nyangka, dunia ternyata sesempit ini.” Andini mengangguk dan menarik lengan Irvan, hingga cowok itu bergeser ke arahnya. Andini memeluk lengan Irvan, mendekatkan wajah mereka dan berbisik, “Bisa nggak, sikap lo nggak childish begitu? Nggak banget, sumpah!”

“Ck! What do you expect? What am i supposed to do? Lo juga bakalan bersikap kayak gue, seandainya lo ketemu lagi sama masa lalu lo yang lo anggap menyakitkan, kan?”

“Biasa aja, tuh,” balas Andini dengan nada datar dan menjauhkan Irvan darinya. Cewek itu mendengus dan memerhatikan Aulia yang kini mengobrol dengan Carvian. Aulia nampak santai dan sesekali tertawa dengan topik yang dibawakan oleh Carvian. Keduanya nampak dekat, seperti sepasang sahabat lama yang baru dipertemukan kembali.

Gue nggak tau kalau Aulia bisa ngobrol seriang ini, batin Andini. Cewek itu mengerutkan kening dan berdeham pelan. Entah kenapa, perasaannya sedikit, well, terusik dengan kedekatan Aulia dan Carvian.

Irvan juga rupanya sedang memerhatikan Aulia. Cowok itu menatap wajah Aulia. Wajah yang masih membayanginya selama sepuluh tahun terakhir ini, meskipun dia senang bergonta-ganti pasangan. Entah kenapa, sejak dulu hanya Aulia yang ada di dalam hatinya.

Ah, ralat. Ada seorang cewek lagi yang berhasil menyusup masuk ke dalam hatinya, hanya saja Irvan tidak ingin membiarkan nama cewek itu terlalu menempati ruang di dalam hatinya tersebut. Karena, hal itu sangat tidak etis.

Diam-diam, lirikan Irvan berganti dari Aulia ke arah cewek di sampingnya. Ke arah Andini yang menopang dagu dengan sebelah tangan dan sedang sibuk mengamati ponselnya dengan sebelah tangan yang bebas. Kemudian, bibir cewek itu mengembang, membentuk seulas senyum manis. Irvan berani bertaruh, anime kesukaan Andini sudah update dan cewek itu sedang memikirkan kapan dia bisa segera menyaksikannya.

Ya, selain Aulia, Andini pernah menempati ruang khusus di dalam hatinya. Hanya saja, Irvan tidak akan pernah mengatakan hal itu pada Andini. Di samping mereka bersahabat dan Irvan tidak mau merusak persahabatan mereka, Andini juga sudah memiliki Carvian.

Lalu, kalau Andini tidak bersama dengan Carvian, apa yang akan lo lakuin? Lo akan maju dan memenangkan hatinya? Lo mau Andini jadi milik lo, kan?

Bisikan setan sialan dalam hatinya membuat kening Irvan mengerut. Cowok itu mengusap tengkuknya dan menelan ludah susah payah. Jantungnya berdetak liar lagi dan dia kembali melirik Andini juga Aulia secara bergantian.

Nggak mungkin, lah! Gue anggap Andini sebagai sahabat. Lagian, gue masih suka sama Aulia kalau gue boleh jujur. Dan juga, Andini punya Carvian.

Yakin, lo masih suka sama Aulia? Yakin, lo cuma menganggap Andini sebagai sahabat? Kalau Andini dan Carvian putus, lo senang, kan?

Nggak! Dari dulu, gue masih suka sama Aulia! Bahkan saat gue pacarin mantan-mantan gue, di hati dan pikiran gue masih ada Aulia!

Masih suka atau hanya penasaran?

“DIAM!”

Sambil berseru tegas, Irvan menggebrak meja. Hal itu membuat Carvian dan Aulia serta pengunjung lainnya serempak menoleh ke arah Irvan. Cowok itu berdeham dan menatap sekeliling. Dia memaki dalam hati karena sekarang menjadi pusat perhatian orang lain, akibat perdebatan setan dan malaikat di dalam hatinya.

“Sehat, Van?”

Pertanyaan bernada bete itu membuat Irvan menoleh ke samping. Andini memberinya tatapan super bete sambil mengusap dadanya berulang kali. Irvan sadar, efek dari seruan dan gebrakan mejanya barusan paling berpengaruh kepada Andini, karena cewek itu berada tepat di sampingnya.

“Maaf, Din... gue nggak sengaja.”

Mendengus, Andini kembali fokus pada ponselnya. Cewek itu kemudian melirik Carvian dan Aulia yang kembali berbincang sambil tertawa, seolah-olah hanya ada mereka berdua di tempat ini.

Melihat keterdiaman Andini, Irvan ikut melirik Carvian dan Aulia. Cowok itu mengepalkan kedua tangannya dengan kuat, hingga buku tangannya memutih. Irvan merasa kesal bukan main sekarang, entah kenapa.

Lo kesal karena cemburu Aulia dekat dengan Carvian, atau karena lo nggak suka ngeliat Andini sedih akibat pemandangan di hadapan kalian saat ini?

Lagi, Irvan mengerutkan kening. Cowok itu melirik Andini lagi dan sahabatnya itu kini bersandar sambil bersedekap. Dia bahkan tersenyum tipis, tapi Irvan yakin itu bukanlah senyuman tulus. Irvan terlalu mengenal Andini untuk tahu bahwa ada sisi-sisi tersembunyi pada diri Andini, yang tidak diperlihatkan cewek itu.

“Wow, kalian akrab banget untuk ukuran orang yang baru saling mengenal. Right, Irvan?”

Irvan hanya diam. Matanya bertemu dengan mata Andini. Itu bukanlah tatapan ramah seperti biasa. Itu tatapan dingin dan sakit yang berbaur menjadi satu. Di sisi lain, Carvian hanya tertawa dan berkata bahwa Aulia adalah pribadi yang asyik dan supel. Mendengar itu, Andini hanya diam dan kembali fokus pada ponselnya, membuat Irvan berdeham keras dan dia berhasil mendapatkan perhatian Carvian.

“Oh, gue nggak tau kalau bersahabat dengan gue bikin lo berada dalam satu kasta dengan gue, Carv.”

Nada dingin Irvan membuat Carvian mengerutkan kening, sementara Aulia hanya menatap datar cowok itu. Kemudian, Aulia menatap Andini yang masih sibuk dengan ponselnya.

“Din, kenapa diam aja?” tanya Aulia bingung. Andini mengangkat wajahnya dari ponsel dan tersenyum.

“Nggak kenapa-napa,” jawabnya singkat.

“Iya, Din. Tumben kamu diam. Biasanya cerewet,” timpal Carvian. “Kebanyakan makan es krim, Din? Apa perut kamu sakit, sekarang? Mau pulang?”

Andini menarik napas panjang dan memijat pelipisnya. Sungguh, dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Cewek itu menatap Carvian yang kini berdiri. Pacarnya tersebut mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum. Andini diam sejenak dan balas tersenyum. Ini adalah Carviannya. Cowok itu miliknya.

Mendadak, Aulia juga berdiri sambil memegang lengan Carvian. Cowok itu menoleh, membuat senyuman Andini menghilang. Uluran tangan Carvian masih terlihat, tapi Andini tahu bahwa perhatian Carvian kini mengarah pada Aulia.

Lalu, Andini mengerjap saat uluran tangan Carvian ditepis oleh Irvan yang juga berdiri. Ketiganya serempak menatap Irvan yang kini menatap datar Carvian.

“Van? Lo kenapa?” tanya Carvian bingung.

“Andini biar gue yang antar karena gue ada sedikit urusan sama dia. Kenapa lo nggak mengantar Aulia aja?”

Kalimat Irvan itu membuat Andini mengerutkan kening, Carvian menatap Irvan dengan tatapan tidak terbaca, sementara Aulia menunduk.

Situasi mendadak memanas dan semakin canggung.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY