/0/12272/coverbig.jpg?v=6b41ee8e6896de94b469902aa70e41b3)
Aku tidak masalah ibu datang berkunjung jika niatnya baik. Namun jika kedatangannya hanya untuk membuat perkara apalagi dengan memfitnahku, Maka maaf Bu, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Baca novel kesekian saja di bakisah, happy reading!
Aku tidak masalah ibu datang berkunjung jika niatnya baik. Namun jika kedatangannya hanya untuk membuat perkara apalagi dengan memfitnahku, Maka maaf Bu, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Baca novel kesekian saja di bakisah, happy reading!
Bab 1
Menjemput Ibu Mertua
"Lama banget sih kamu dateng
ngejemput, Ibu udah nunggu satu jam di sini!"
Itu adalah kata pertama yang keluar dari bibir ibu mertua, saat aku menjemputnya di terminal.
"Maafkan aku, Bu. Jalanan macet tadi," ujarku hendak menyalaminya. Namun bukannya berhasil, tanganku segera ditepis kasar olehnya.
"Nggak usah banyak alesan. Siang hari gini biasanya jalanan sedikit lengang, kamu pikir Ibu nggak tahu apa! Yang macet itu pagi dan sore hari, saat orang-orang pergi dan pulang kantor!!" ketusnya dengan pandangan tajam.
Sabar....
"Iya a, Bu. Ayo kita pulang," ajakku pada Ibu. Beliau berjalan lebih dahulu sambil menunjuk ke arah belakang. "Tuh, bawain barang-barang Ibu!"
Satu dus besar, satu tas besar ditambah tas lain yang entah apa isinya, segera kuangkat meskipun kesulitan membawanya, dikarenakan tubuhku yang mungil ini. Entah apa yang ibu bawa namun beliau tidak berinisiatif untuk meringankan pekerjaanku. Minimal bawa tas yang paling kecil, kek.
Ugh, aku malah ngarep.
"Di mana mobilnya? Katanya kalian udah beli mobil, ya?"
Sambil tersenyum paksa aku menyimpan barang-barang ibu di belakang mobil bak terbuka. Orang-orang biasa menyebutnya kol buntung.
"Iya Bu, ini mobilnya. Ayo kita pergi," ajakku. Namun bukannya senang, wanita itu malah melotot dan hampir saja melayangkan tangannya ke bahuku.
Aku meringis melihat kelakuan ibu mertua. Beliau memang tidak pernah bersikap baik padaku. Dua tahun pernikahan kami selalu diwarnai dengan omelan-omelan yang keluar dari bibir merahnya itu.
"Ya ampun Dina, beneran kamu beli mobil ini?" tanya ibu seperti tidak percaya. Aku mengangguk sambil membuka pintu agar ibu bisa masuk.
"Kok bisa-bisanya kamu beli mobil macam begini. Ibu kira semacam Avanza, Innova, Xpander, atau setidaknya paling butut itu ya, kijang. Tapi ini, malam-maluin aja kamu!!"
"Memangnya kenapa harus malu, Bu? Toh ini dibeli dengan lunas. Nggak nyicil. Lagi pula kami membeli mobil ini untuk usaha, bukan untuk pamer atau sebagainya." Mobil ini memang biasa dipakai untuk belanja sayur-sayuran kalau dini hari. Cukup meringan makan ongkos dan waktu. Namun sepertinya bukan itu yang ada dalam pikiran Ibu.
"Udah, nggak usah banyak bicara. Ayo pergi, Ibu nggak kuat terus-terusan berdiri di cuaca terik begini. Nanti kulit Ibu kebakar lagi."
Aku diam saja sambil menyalakan mobil dan melaju membelah jalanan.
Aku Sandrina, 22 tahun, menikah dengan Mas Akbar yang usianya sudah 28 tahun. Dulu kami tinggal di desa bersama dengan ibu, namun hanya kuat 3 bulan, sebelum akhirnya aku mengajak Mas Akbar untuk merantau ke kota besar.
Hidup di kontrakan dengan pekerjaan serabutan sudah kami lakoni. Kami bahkan tidak pernah berkeluh kesah atau putus asa. Kami tetap berjuang bersama agar dapur bisa ngebul. Maklum di kota yang notabene tak kenal siapa-siapa, membuat kami harus mandiri dan nggak gengsi.
Saat itulah kuputuskan untuk berdagang sayuran, mengingat Mas Akbar juga kerja menjadi kuli panggul di pasar, sambil memasukkan beberapa lamaran ke perusahaan besar. Kami hidup dari menjual sayuran yang ternyata untungnya berkali-kali lipat. Beruntung setelah kerja nggak jelas, Mas Akbar diterima kerja di perusahaan besar. Meskipun sampai sekarang masih menjadi karyawan biasa yang gajinya di bawah 5 juta, aku tetap bersyukur. Sekarang sudah 8 bulan dia bekerja.
Sayuran adalah alternatif pertama yang dicari oleh ibu-ibu yang pasti membutuhkannya untuk sehari-hari. Dari usaha itu juga akan mampu membeli rumah dan juga mobil ini meskipun bekas.
Dan setelah 2 tahun kami berumah tangga, Ibu baru kali ini datang ke rumahku.
Dulu pernah satu kali datang waktu kami masih tinggal di kontrakan, namun baru beberapa jam tinggal, ibu memutuskan untuk pergi lagi ke rumah anak pertamanya, yang masih satu kota denganku.
"Rumah jelek, sempit, mirip kandang ayam. Cuihhh!!" Aku masih ingat perkataan Ibu waktu itu. Ibu bahkan meludah dan kena ke kakiku.
Astaghfirullah ... saat itu aku hanya bisa beristigfar menyaksikan hinaan ibu di depan mataku yang memanas karena sakit hati.
Wajar saja waktu itu ibu nggak betah. Ruangan tiga kali tujuh itu ditinggali olehku dan suami. Lalu datanglah ibu, makin nambah sesak.
"Nggak turun di kompleks besar gitu? Kok berhenti di sini? Bukannya kalian beli rumah jadi?!"
"Ayo turun, Bu. Di sini memang rumah kami." Kuabaikan perkataannya. Memangnya rumahku di kawasan pasar penduduk. Yang mungkin tak sebesar perkiraan ibu.
"Yang mana rumahmu? Ibu udah nggak kuat, panas. Ugh, kota besar, panasnya minta ampun."
Dia turun dari mobil sambil mencebik.
Ibu lalu berdiri di halaman rumah orang. Sementara aku mematikan mesin dan menurunkan barang-barang Ibu, lalu berjalan begitu saja meninggalkan wanita itu yang memasang wajah masam.
"Yang ini rumah kami, Bu. Selamat datang di rumah." Ya, meski nggak sebagus rumah orang atau rumahnya Mbak Mika, tapi di sinilah kami hidup tenang," ujarku sambil membuka pintu utama.
Wanita itu pun masuk dan memindai sekeliling.
"Rumah jelek, kecil, nggak sesuai ekspektasi. Akbar bilang kalian membeli rumah yang cukup nyaman untuk kalian tinggali berdua. Rupanya cuma rumah seperti ini. Rumah petak. Ini nggak seluas rumah ibu di desa!"
"Alhamdulillah aja, Bu." Kutinggalkan wanita itu dan pergi ke dapur. Makin lama perkataan ibu makin pedas saja seperti boncabe level 500. Sementara Ibu mondar-mandir ke setiap ruangan untuk memeriksa perabotan atau apalah, aku memilih menyiapkan air minum untuknya.
Dulu kami memang membeli rumah ini secara kontan. Itu pun dalam kondisi rumah yang sedikit memprihatinkan. Memang tidak bagus dan tidak juga besar. Hanya ada dua kamar, ruang tengah dan ruang tamu, dapur dan dua kamar mandi.
Tapi ada sisa tanah di halaman belakang dan samping. Yang bisa dibangun lagi jika ada rejekinya. Tapi setidaknya kami nyaman tinggal di rumah sendiri, daripada harus ngontrak rumah yang biaya perbulannya di atas tujuh ratus ribu. Toh di tempat ini juga usahaku berjalan. Di samping rumah aku membuat warung untuk menjual aneka sayuran. Biasanya aku berjualan pukul lima subuh sampai pukul sembilan pagi, sudah habis. Antusias warga dalam membutuhkan sayur-mayur yang segar, membuatku jarang membuka warung sampai siang atau sore.
"Minum dulu, Bu. Biar segar badannya. Nanti aku akan menyiapkan makan siang untuk ibu."
"Teh manis apa teh pahit?" tanya ibu dengan ketus.
"Teh agak manis, seperti biasa."
Dia mengambil gelas itu dan menyeruputnya sedikit. Beberapa detik kemudian, wanita itu menyemburkannya hingga membasahi meja dan bajunya.
"Ahhh, panas!!!"
"Bu, ibu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir. Lekas kuambil tisu dan berniat untuk mengelap bajunya, namun lagi-lagi tanganku di tepisnya kasar.
"Itu hangat, Bu. Nggak panas," ujarku dengan perasaan bersalah. Aku takut lidah ibu terbekar. Namun aku merasa tidak berbuat kesalahan di sini. Mana mungkin aku berbuat zalim kepada mertuaku sendiri.
"Ya ampun, Dina!! Kamu mau membunuh ibu, ya? Udah mah teh manis panas, pahit lagi!! Dasar nggak becus melayani mertua!! Mantu nggak berguna!!" sentak Ibu sambil menghantamkan gelas itu di atas meja. Aku memejamkan mata sekilas. Sedangkan tangan mengusap keningku yang terasa berat.
"Bu, nggak usah ngomong gitu smnisa nggak, sih?!"
"Mau ngebela apalagi kamu, hah?! Dasar kurang aj*r kamu, ya!! Gobl*k!!" tunjuknya di depan hidungku.
"Biasanya Ibu suka teh manis panas, bukan?" Ya, aku tahu kebiasaan itu ketika kami masih tinggal satu rumah di desa. Ibu biasa menyeruputnya panas-panas.
Entahlah di sini dia hendak mencari gara-gara, atau bukan. Aku tidak tahu. Yang jelas baru beberapa menit saja bertamu, sudah berhasil membuatmu moodku rusak.
"Itu kan di desa. Beda! Di sana iklimnya itu dingin, makanya ibu harus minum air panas biar nggak masuk angin. Sedangkan di sini, cuaca panas panas begini masa' disuguhin air panas. Gimana sih? Apa nggak ada kulkas atau apa kek, buat dinginin minuman?!" Ibu melotot dengan suara tinggi. Aku yakin jika ada tetangga yang dengar, bisa berabe jadinya. Apalagi di lingkungan ini hampir semuanya tukang gosip.
"Itu hangat, Bu. Ya Allah ...." Hatiku nyeri sekali dituduh yang macam-macam oleh ibu. Padahal kupikir beliau sudah berubah saat menghubungi ponsel Mas Akbar dan mengabarkan akan berkunjung.
Rupanya pikiranku yang salah. Sikap ibu sama saja.
"Diem kamu! Nggak usah ngeles diri terus!! Lagian ya, rumah kamu sama rumahnya si Diana itu beda. Di sana semuanya lengkap bahkan Ibu tidak usah ke repot-repot kepanasan dan berkeringat. Minum apa aja udah tersedia di kulkas. Mau dingin, biasa, nggak masalah. Lah kamu ....!"
Wanita itu mulai mengeluarkan kipas dari dalam tasnya, kemudian mengipasi wajahnya yang memerah, entah karena kepanasan atau karena memang karena marah padaku.
Sementara aku memilih kembali ke dapur sambil membawa gelas dengan perasaan dongkol.
Kuharap Ibu tidak lama-lama tinggal di sini jika hanya akan membuatku stress.
"Dina!! Dina!!" Suara Ibu mertua yang cempreng terdengar di telingaku. Aku yang tengah mengisi gelas ibu dengan air hangat segera berlari ke tengah rumah.
INI HANYA INSPIRASI. CATET YA! Pernikahan yang kujalani dengan suamiku tak seindah yang dipikirkan orang-orang. Lika-liku kehidupan sudah kujalani apalagi harus berulang kali memaklumi perselingkuhan Mas Raga dan wanita itu, hanya demi satu kata, buah hati. Tapi kata-kata dari pelakor itu seakan menamparku seolah aku wanita bodoh yang terus memaafkan sebuah pengkhianatan. Aku Nazeea Athaya, dan inilah kisahku.
Aisyah ditinggalkan oleh suaminya hanya karena kulitnya yang burik. Tanpa Andra tahu jika keadaan bisa berubah. Aisyah berubah dalam waktu sekejap dan itu membuat Andra menyesal telah membuangnya. Namun demikian mereka terlibat hubungan dimana mereka harus berpura-pura untuk baik-baik saja di depan kedua orang tua mereka.
Edwin Yogaswara tak menyangka akan dinikahkan dengan paksa oleh lelaki bernama Gunadi dan disuruh menikahi putrinya. Yang lebih mengejutkan lagi, istrinya yang bernama Melati Anastasia itu ternyata selain sombong, angkuh, juga tengah berbadan dua alias hamil lima bulan. Kenyataan itu membuat Edwin syok, dan marah karena selain merasa di paksa juga merasa di tipu mentah-mentah. Bagaimana lika-liku perjalanan kisah rumah tangga mereka? Akankah tumbuh cinta diantara keduanya? Ataukah mereka akan berakhir begitu saja, dengan keegoisan masing-masing? Baca sekarang juga.
Suami yang diam-diam tega membagi hati dan berselingkuh, bukan hanya harus diberi pelajaran, tapi juga harus ditinggalkan. Bagaimana cara Indira menghadapi Agung dan Zahra yang tak tahu malu. Simak kisah selengkapnya.
Christian Oliver adalah seorang CEO yang tampan, mapan, kaya dan juga terkenal karena kepiawaiannya dalam mengelola bisnis. Namun, hidup Christian sungguh menyedihkan. Di usianya yang akan menginjak usia 29 tahun, dirinya tidak diijinkan oleh Sang Ayah untuk berhubungan dengan wanita manapun.Alasannya karena dirinya sudah dinikahkan sejak remaja dengan Olivia, anak dari sahabat Sang Ayah. Masalahnya adalah, Olivia hingga saat ini masih belum ditemukan keberadaannya, walaupun Christian sudah mencarinya selama bertahun-tahun. Padahal tanpa Christ sadari, Olivia selalu berada dekat di sampingnya.
"Bagaimana mungkin seorang dokter spesialis kesuburan justru mandul?!" Felicia Hera adalah seorang dokter yang sudah berhenti bekerja semenjak menikah dan fokus mengabdi kepada suaminya. Namun, Felicia tidak kunjung dapat memberikan anak hingga suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Dia bahkan menceraikan Felicia. Pada saat yang sama, Felicia kembali meniti karir kedokterannya dan pasien pertamanya justru mengajak Felicia untuk berhubungan demi membuktikan kesuburan Felicia. Hingga tepat setelah melakukannya, Felicia menghilang. Lima tahun kemudian, Felicia kembali ke tanah air membawa seorang anak perempuan yang cantik jelita. Hingga masalah datang saat ternyata direktur di rumah sakit barunya adalah ayah dari anaknya! Bagaimana Felicia menyembunyikan identitasnya? Tahukah dia, bahwa pria dingin itu telah memburu Felicia selama lima tahun terakhir?
21+ Alena Adriani Quensyah, harus menerima kenyataan pahit, ketika hidupnya hancur dalam semalam. Bayangan akan masa lalunya pun tidak pernah hilang dalam benaknya. Lagi-lagi Alena harus mengetahui kedua orang tua nya yang pergi begitu saja dan menjadikan nya sebagai jaminan pada seorang Mafia, membuat hidup Alena seperti didalam penjara. Akankah Alena bisa bertemu dengan orang tuanya kembali? Dan apa penyebab mereka meninggalkannya?
"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.
Setelah menyembunyikan identitas aslinya selama tiga tahun pernikahannya dengan Kristian, Arini telah berkomitmen sepenuh hati, hanya untuk mendapati dirinya diabaikan dan didorong ke arah perceraian. Karena kecewa, dia bertekad untuk menemukan kembali jati dirinya, seorang pembuat parfum berbakat, otak di balik badan intelijen terkenal, dan pewaris jaringan peretas rahasia. Sadar akan kesalahannya, Kristian mengungkapkan penyesalannya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Namun, Kevin, seorang hartawan yang pernah mengalami cacat, berdiri dari kursi rodanya, meraih tangan Arini, dan mengejek dengan nada meremehkan, "Kamu pikir dia akan menerimamu kembali? Teruslah bermimpi."
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
Kirani dipaksa menikah dengan Devon, seorang preman terkenal. Adik perempuannya mengejeknya, "Kamu hanya anak angkat. Nasibmu benar-benar sial karena menikah dengannya!" Dunia mengantisipasi kesengsaraan Kirani, tetapi kehidupan pernikahannya ternyata disambut dengan ketenangan yang tak terduga. Dia bahkan menyambar rumah mewah dalam undian! Kirani melompat ke pelukan Devon, memujinya sebagai jimat keberuntungannya. "Tidak, Kirani, kamulah yang memberiku semua keberuntungan ini," jawab Devon. Kemudian, suatu hari yang menentukan, teman masa kecil Devon mendatanginya. "Kamu tidak layak untuknya. Ambil seratus miliar ini dan tinggalkan dia!" Kirani akhirnya memahami perawakan sejati Devon, orang terkaya di planet ini. Malam harinya, gemetar karena gentar, dia membicarakan masalah perceraian dengan Devon. Namun, dengan pelukan yang mendominasi, pria itu mengatakan kepadanya, "Aku akan memberikan semua yang kumiliki. Perceraian tidak bisa dilakukan!"
© 2018-now Bakisah
TOP