/0/12675/coverbig.jpg?v=20250122183406)
"Dasar wanita mandul! Aku sangat menyesal telah menyetujui pernikahan kalian!" Kalimat pedas itu meluncur dari bibir wanita yang telah melahirkan suamiku. Ya, dia adalah ibu mertuaku. Ibu mertua yang selalu menyulitkanku dengan banyaknya pekerjaan rumah. Ibu mertua yang selalu memojokkanku karena aku masih belum bisa memberikannya cucu. Dan lain sebagainya. Masih banyak tuntutan demi tuntutan yang selalu ibu mertuaku harapkan dariku. Apakah aku harus tetap bertahan? Atau sebaiknya aku menyerah dan memilih mundur?
"Naima!" teriak ibu mertua dengan sangat lantang membangunkan tidurku pagi hari ini.
Aku yang agak kurang enak badan terpaksa harus cepat bangun dan menghampirinya. "Ada apa Bu?"
"Kamu, ya! Jam berapa ini? Kenapa masih belum masak juga?? Hah!" sentak ibu mertua yang sepertinya sudah berpatroli dari dapur.
Ya, sehari-hari tugasku di rumah ini sudah seperti seorang babu. Ibu mertuaku tak pernah menganggapku sebagai anak menantunya. Aku hanya dijadikan pekerja rodi yang tak pernah mendapatkan imbalan.
Sebenarnya aku sangat tersiksa, namun aku juga tak tega jika harus bercerita tentang hal ini kepada mas Ilham, suamiku. Aku takut jika nanti mas Ilham malah merasa keberatan dan tak nyaman dengan ibu kandungnya sendiri.
"Hei! Diajak ngomong koq malah bengong??" Lagi, dan lagi, mukaku disemprot dengan omelannya.
Andai aku bisa mengeluh satu kata saja, aku akan berteriak kepada semua orang bahwa aku LE-LAH! Aku sungguh lelah!
"Maaf Bu, hari ini agak kurang enak badan," jawabku ragu. Aku takut jika ibu mertuaku akan semakin garang jika aku sampai salah bicara.
"Ck! Palingan cuma pusing! Manja banget sih? Dulu kamu waktu di panti asuhan pasti sudah biasa kan, kerja berat?" sahut ibu mertua seolah tidak perduli.
"Tap ...."
'Prang!'
Belum saja aku selesai mengucapkan kalimatku, ibu mertua sudah beraksi menjatuhkan wajan penggorengan tepat di bawah kakiku.
Nyaris saja menimpa kakiku, untungnya meleset ke samping. Memang, ibu mertuaku ini benar-benar ganas!
"Halah! Manja banget! Cepat masak!" protesnya tak ingin lagi mendengar alasanku.
Mendengar kalimat itu membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa ibu mertuaku itu berubah drastis dengan saat pertama kali bertemu.
Jika mengingat hari itu, hari di mana Mas Ilham membawaku ke rumah ini untuk memperkenalkanku dengan keluarganya. Bu Ratih yang dulu masih calon bumer, bersikap sangat baik padaku. Sambil tersenyum dia memuji-muji parasku yang ayu. Tapi, saat ini, di saat aku sudah menjadi istri anaknya, kenapa perubahan sikapnya begitu kentara?
Ya Allah, dosa apa waktu kecilku hingga saat ini aku mendapatkan perlakuan seperti ini?
"Cepetan masak! Semua orang sudah lapar!" bentaknya lagi. Bagaimanapun hatiku ingin berontak, begitu juga akhirnya aku pasrah dan menurut. Demi keutuhan rumah tanggaku dengan putranya.
Aku langsung melangkahkan kaki menuju lemari pendingin untuk mencari bahan yang bisa kugunakan.
"Masak nya yang enak! Jangan keasinan kayak kemarin!" celetuk wanita setengah tua itu mengingatkan.
Aku mengangguk cepat. "Iya Bu." Aku mulai berjibaku dengan semua bahan yang ada.
Jika mengingat hari kemarin, padahal ibu mertuaku sendiri yang membuat masakanku keasinan, tapi tetap saja aku yang disalahkan.
Kejadiannya adalah, saat aku sudah menyetel semua rasa, kutinggal sayur santan yang masih belum mendidih di atas kompor. Karena aku sedang ingin ke kamar mandi untuk membuang hajat, maka aku tinggal sebentar.
Namun, saat aku kembali kulihat ibu mertuaku itu mengicip kembali dan memasukkan sesuatu lagi ke dalam panci masakku. Aku paham betul toples yang dipegangnya saat itu adalah toples yang berisi garam. Otomatis! Rasa sayur dan kuah, terasa sangat asin.
Tapi, ibu mertuaku yang sangat pintar di atas rata-rata mengumumkan kepada seluruh anggota keluarga bahwa akulah yang sengaja membuat asin masakanku.
Hingga akhirnya, sayur sepanci besar itu harus terpaksa dibuang karena tidak ada yang mau memakan.
Kembali ke masa sekarang. Jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul 08.00 pagi. Sesuai jadwal rutin, seharusnya kami sudah selesai sarapan dari beberapa puluh menit yang lalu.
Karena kondisi tubuhku yang kurang fit, aktifitas memasakku menjadi terganggu dan sangat lama.
"Naima!!!" teriak ibu mertua lagi memanggil namaku.
Aku yang tengah membalik tahu dan tempe memilih tetap di posisi dan tidak langsung mendatanginya.
"Naimaaaa!!!"
Astaghfirullah ... Itu mulut atau toa?? Nyaring sekali.
"Iya, Bu." Setengah berlari aku menghampiri ibu mertua yang sedang berdiri di depan pintu.
'Bruk!'
Setumpuk pakaian berbau menusuk hidung dilemparkan ke arahku. "Habis masak, cuci semua ini!"
Ya Allah, tugas satu saja belum kelar, sudah ditambah lagi? Mana badan lagi meriang begini?
Aku memungut semua pakaian kotor ibu mertua dan langsung membawanya ke kamar mandi. Mulai memasukkan barang itu ke mesin cuci dan mengisinya lagi dengan air.
"Ya Allah, Naima!!! Tempemu gosong ini, lho!"
Mendengar teriakan ibu, aku buru-buru lari ke dapur.
Ya Allah, ngebul! Asap di mana-mana. Dan tempe yang tadi berwarna kuning sekarang sudah menjadi hitam legam.
"Ck! Jadi menantu koq nggak becus banget sih!" Ibu mertua berkacak pinggang. Sudah macam mandor sedang mengomeli bawahan.
"Maaf, Bu." Aku langsung mengangkat wajan penggorengan dan mencucinya.
Untung saja ini gorengan terakhir, jadi tidak terlalu menyesal karena minyaknya tidak bisa dipakai lagi. Maklumlah, jadi wanita itu harus perhitungan. Kan lumayan, harga minyak lagi mahal!
Ups! Koq malah jadi curhat?
Sang Ratu kembali menghampiriku. "Ini sudah mateng semua kan? Sana siapin di meja!" bentaknya lagi memerintahku.
Ya, ibu mertuaku itu sudah seperti ratu bagiku. Karena setiap perintahnya tidak boleh kutolak, Apapun itu.
"Iya, Bu." Aku berjalan ke arah meja makan dan mempersiapkan semua menu yang sudah kumasak.
"Ish! Ini bau apa, Sayang?" tanya mas Ilham sambil menutup hidung.
"Bau tempe gosong istrimu!" seloroh ibu mertuaku seenaknya.
"Masa sih? Nggak biasanya Naima masak, gosong?"
"Dibilangin juga! Tanya aja istrimu!"
Mas Ilham ikut kena sembur, kan?
"Iya Mas, memang tadi aku yang gosongin tempe. Soalnya tadi pas lagi masak, aku dipanggil sama ibu."
"Eh, eh! Koq malah nyalain ibu!" sewot ibu mertuaku dengan mata melotot seperti mau copot.
"Sudah, sudah." Mas Ilham menengahi kami dan langsung menarik kursi untuk duduk. " Sudah, Ibu, Naima, Mari sarapan.
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.
Jatuh cinta bisa terjadi pada siapa saja, tidak terkecuali pada istri orang. Itulah yang terjadi pada Alex Spencer, pria pengangguran yang hidup menumpang pada istrinya, Tracy. Pesona Tessa membuatnya jatuh cinta teramat jauh. Sedang, Tessa merupakan istri Kapten Pasukan Elit Angakat Darat Salvador, Leo Willborwn. Jika dibandingkan dengannya, jelas Leo jauh lebih baik dari segi apa pun. Hanya saja, Tessa sering kesepian saat suaminya pergi bertugas. Kesempatan itu pun Alex gunakan untuk menjerat Tessa dalam hasrat gilanya. Mampukah Tessa menahan derasnya godaan birahi?
Kaluna Evelyn sudah menikah Dengan Eric Alexander Bramastyo selama kurang lebih 10 tahun. Namun, Eric sama sekali tidak mencintai Luna. Ia memiliki kebiasaan yang sering bergonta-ganti wanita. Itulah yang menyebabkan Luna semakin sakit hati, namun ia tidak bisa bercerai dengan Eric karena perjanjian kedua keluarga. Ditengah keterpurukannya, ia mengalihkan rasa sakit hatinya kepada minuman keras. Dan disaat, ia mabuk, ia melakukan kesalahan dengan tidur bersama ayah mertuanya sendiri. Seorang pria dewasa bernama Brian Edison Bramastyo. Yang tidak lain dan tidak bukan, adalah ayah dari Eric sendiri. Brian yang berstatus duda, tidak bisa berkutik ketika Luna mulai menggodanya karena pengaruh minuman keras. Dan setelah kesalahan di malam itu, Luna dan sang papa mertua saling mengulangi kesalahan nikmat yang sama. Brian yang mampu memberikan nafkah batin pada Luna, harus menahan rasa perih karena mengkhianati putranya sendiri, dan menjadi tidak bermoral karena bermain gila dengan sang menantu. Namun apa boleh buat, semua sudah terlanjur dan mereka berdua sama-sama kesepian. Hubungan mereka tetap berlanjut, hingga akhirnya Eric mengetahui hubungan mereka dan menceraikan Luna. Namun, beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa alasan Eric menceraikan Luna adalah dia sudah menghamili kekasihnya, yang bernama Bianca. Mereka menjalani hidup masing-masing. Eric pergi jauh dari kehidupan Brian dan Luna. Brian dan Luna pun memilih untuk bersama.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
BERISI BANYAK ADEGAN HOT! Rey pemuda berusia 20 tahunan mulai merasakan nafsu birahinya naik ketika hadirnya ibu tiri. Ayahnya menikah dengan wanita kembar yang memiliki paras yang cantik dan tubuh yang molek. Disitulah Rey mencari kesempatan agar bisa menyalurkan hasratnya. Yuk ikuti cerita lengkapnya !!