Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / PEMUAS IBU TEMANKU
PEMUAS IBU TEMANKU

PEMUAS IBU TEMANKU

5.0
10 Bab
133 Penayangan
Baca Sekarang

PEMUAS TANPA BATAS (21+) Tak pernah ada kata mundur untuk tigas mulia yang sangat menikmatkan ini.

Konten

Bab 1 Pemuas - 1

"Bro... lu lihat deh," bisik Veron sambil nyikut lenganku pelan.

Matanya nggak menatap lurus ke depan, tapi melirik ke arah deretan tamu undangan yang baru saja lewat. Aku menoleh, dan langsung paham maksudnya.

Tante Meta, tampil anggun. Kebaya hijau tosca membalut tubuhnya dengan pas, dipadukan dengan jilbab modern yang menambah kesan rapi dan elegan. Kain jariknya cukup membentuk lekuk tubuhnya, dan setiap langkahnya membuat gerakan pinggulnya tampak alami, tertahan samar oleh sendal slop yang dipakainya.

Wangi parfumnya yang lembut tercium saat ia melintas di depan barisan pagar, meninggalkan jejak keharuman yang sulit dilupakan.

"Gila, pantatnya gede banget ya, Bro?" bisik Veron, sambil menahan tawa. "Coba aja dia nungging, pasti bikin semua mata terbelalak."

Aku cuma pura-pura garuk hidung, malu tapi dalam hati setuju. Bukan cuma soal kebaya atau jariknya, Tante Meta memang punya aura yang susah diabaikan. Veron bilang sesuatu yang aku nggak begitu paham-MILF katanya.

Aku sendiri nggak tahu pasti kriterianya apa, tapi yang jelas, aku merasa sungkan. Tante Meta, ibunya Alisa, teman sekelasku, walau kami memang tidak terlalu akrab.

Namun demikian, efek dari ucapan Veron membuat mataku sulit berpaling. Sekalipun mencoba menunduk atau menatap sekeliling, pandanganku selalu kembali ke Tante Meta. Ada sesuatu dalam cara dia melangkah dan tersenyum yang membuatku tak bisa tenang, seolah seluruh perhatianku terpaku padanya.

Aku tahu, rasa kagum ini sedikit berlebihan, tapi mau bagaimana lagi, Tante Meta memang punya aura yang susah diabaikan, dan aku, seorang remaja polos, tak bisa menahan diri untuk terus memandang.

Hari itu aku sedang ada di acara resepsi pernikahan Bang Yosi dan Mbak Elin, anak kedua Pak Marlon, tetanggaku yang juga kakaknya Tante Meta.

Lapangan depan rumahnya disulap jadi lautan kursi plastik dengan tenda warna-warni. Musik organ tunggal sudah siap di panggung, meski pengantinnya belum juga keluar dari kamar rias.

Aku dan beberapa anak muda kompleks mendapat tugas menjadi pagar bagus dan pagar ayu, menyambut tamu yang datang dengan pakaian adat Sunda yang disediakan panitia. Para pagar bagus mengenakan beskap ungu dipadu bendo dan kain jarik bernuansa megamendung putih. Penampilan kami jauh berbeda dari sehari-hari, dan aku jelas termasuk yang paling menonjol karena postur tubuhku.

Kami berdiri berdampingan, menyalami setiap tamu yang datang dengan senyum yang terlatih. Sesekali aku mencuri pandang ke arah kerumunan. Bukan pada gadis-gadis sebayaku, tapi pada ibu-ibu yang melangkah anggun dengan kebaya berwarna-warni dan riasan mencolok.

Entah kenapa, mataku lebih betah mengikuti gerakan mereka, cara tersenyum, cara kain panjang kebaya menyapu lantai dengan lembut, seolah ada ritme sendiri yang menarik perhatian.

Veron masih ngoceh, membahas detil lekuk ibu-ibu cantik dengan nada mesum, aku berusaha tetap menjaga senyum formal saat menyambut tamu. Tapi bayangan Tante Meta terus menghantui pikiran, seolah tamu-tamu lain mendadak sedikit buram.

Tiba-tiba, Tante Meta mendekat. Wajahnya cerah, senyumnya khas, hingga pipi kanannya muncul lesung pipit kecil. Aku refleks merapikan beskap putih yang kupakai, merasa jantungku berdegup lebih cepat.

"Eh, Raka, ternyata kamu di sini?" tanyanya sambil sedikit menengadah karena aku lebih tinggi. Matanya berbinar, ternyata dia masih mengenalku.

"Eh, iya Tante, sama Veron juga," jawabku agak gelagapan, buru-buru menunjuk ke arah Veron yang lebih akrab dengannya.

Veron, yang tadi semangat berbisik soal kebaya dan kain jarik Tante Meta, mendadak salah tingkah. Senyum sok manisnya jadi kaku, dan dia cuma bisa angguk-angguk tanpa suara.

Tante Meta terkekeh kecil, lalu menatapku lagi.

"Alisa gak ikut, Tan?" tanyaku basa-basi.

"Katanya mau nanti malam pas acara khusus. Oh iya kebetulan Tante bisa minta nomor kamu nggak?"

"Untuk?" Aku balik bertanya konyol.

"Alisa kadang telat pulang sekolah, susah dihubungi. Maksud Tante... biar nanti kalau perlu, bisa tanya sama kamu, kan teman sekelas ya?"

Aku tercekat sepersekian detik. Kenapa harus ke aku, kenapa gak ke Ivone, Ivanka, Jesyn atau Widia, teman deketnya?

Tante Meta menatap serius menunggu jawabanku.

"Oh... iya Tan, boleh," jawabku, berusaha terdengar tenang meski telapak tanganku mulai terasa dingin.

Dia merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan ponsel dengan casing bening, jemarinya lentik dan kuku rapi berwarna nude. Wangi parfumnya makin terasa dekat, membuat jantungku semakin tak karuan.

"Nomornya ketik aja langsung ya, Ka."

Aku meraih ponselnya, sementara dari samping, Veron menelan ludah keras-keras. Matanya melotot, jelas masih syok karena kenyataan berada dekat Tante Meta, jauh lebih mendebarkan daripada bisikannya tadi.

Aku cepat-cepat memberikan ponselnya kembali.

"Ini, Tante, sudah saya simpan nomor saya," ucapku pelan.

Seperti etika para pagar bagus, aku langsung menyilangkan kedua tangan di depan tubuh, berusaha menjaga wibawa. Kain jarik yang kupakai memang agak sempit, membuatku sadar harus berhati-hati dengan tonjolan di selangkanganku.

Sialnya, mata Tante Meta sempat menatap ke arah dua tanganku yang tersilang lebih lama dari yang kusangka. Lalu ia mendekat sedikit, bibirnya bergerak dalam bisikan.

"Kenapa sih harus ditutupi pake dua tangan segala, Ka?"

Tubuhku sontak membeku. Wajahku panas, napasku tercekat. Di sampingku, Veron sampai terbatuk-batuk menahan kaget. Bikin aku gelagapan kehilangan kata-kata untuk menjawabnya.

"T-tidak, Tante..." suaraku nyaris tak terdengar.

Tante Meta tersenyum samar, matanya masih berkilat. Ia menepuk bahuku ringan, seolah tak terjadi apa-apa, lalu melangkah anggun meninggalkan aku dan Veron. Aku masih terpaku di tempat, sementara Veron melirikku dengan ekspresi setengah panik, setengah iri.

"Anjir, Bro... Tante favorit brondong sekomplek bisikin gituan sama lu?" bisiknya, seperti masih tak percaya.

Aku hanya bisa garuk tengkuk, mencoba menutupi rasa malu dan degup aneh di dada.

Tak lama kemudian rombongan pengantin bergerak ke masjid kompleks, hendak melaksanakan ijab kabul.

Setelah itu, kami para pagar bagus dan pagar ayu, diberi jeda. Veron langsung ikut rombongan, kebagian tugas membawa kotak cenderamata. Aku memilih duduk sebentar di kursi kosong di deretan tamu. Dan saat itulah tersadar, tepat di depanku ternyata ada Tante Meta.

Dia tidak ikut ke masjid, hanya duduk manis sambil merapikan lipatan kain jariknya. Kebaya hijau tosca yang tadi membuatku salah tingkah kini terasa lebih menyilaukan, dadanya tampak membusung, walau jarak kami agak berjauhan.

Yang bikin dadaku makin berdebar, matanya. Ia tak berhenti curi-curi pandang ke arahku, terutama kain jarikku. Begitu aku berani memandangnya, cepat-cepat ia alihkan tatapannya, pura-pura sibuk memainkan ponselnya atau membetulkan jilbabnya. Tapi beberapa detik kemudian, aku kembali menangkap sorot matanya ke arahku.

Aku menelan ludah. Ruangan yang tadinya riuh kini terasa sepi. Kipas angin berdengung pelan, suara anak-anak kecil berlarian terdengar samar. Tante Meta tersenyum tipis. Senyum yang tidak biasa. Bukan sekedar basa-basi ibunya Alisa temanku, tapi senyum yang penuh makna dan sontak membuat tengkukku sedikit merinding.

Aku berusaha menunduk, merapatkan kedua tanganku di pangkuan, tapi jantungku makin berdegup tak karuan. Aku lantas pura-pura main ponsel biar nggak kikuk. Tiba-tiba ada notifikasi WhatsApp masuk. Jantungku langsung loncat begitu lihat nama pengirimnya:

Tante Meta: [Yang ditutup tadi, ternyata besar banget ya. Keliatan lho tonjolannya dari sini]

Pesannya singkat, tapi bikin darahku naik ke wajah. Aku bahkan hampir menjatuhkan ponsel dari tangan. Kelabakan, buru-buru menengok sekilas ke depan. Tante Meta masih duduk manis, wajahnya datar seolah tak terjadi apa-apa. Hanya mata yang menyimpan kilatan aneh saat sesekali ia mengangkat pandangannya.

Tanganku gemetar. Mau pura-pura nggak baca dan mengabaikannya, tapi malah jari-jariku bergerak sendiri. Ada dorongan aneh buat membalas, setengah nekat, setengah penasaran.

Aku: [Iya Tante, jadinya nggak enak gini... takut ada yang liatin terus lepas deh]

Begitu pesan terkirim, aku langsung menutup layar, menahan napas. Degup jantungku makin keras. Dari depan, Tante Meta melirik ke bawah, senyumnya muncul samar di sudut bibirnya.

Ia mengetik balasan. Titik-titik tiga di layar membuat perutku seperti dikocok.

Tante Meta: [Lepas juga nggak papa kok... asal jangan di sini, bisa heboh sekompleks]

Aku refleks menutup mulut dengan tangan, pura-pura batuk biar nggak ketahuan panik. Dari depan, Tante Meta hanya menyilangkan kaki, gerakannya pelan, matanya sesekali menatapku penuh tantangan.

Aku menggertakkan gigi, mencoba tenang. Tapi entah kenapa, jemariku kembali mengetik.

Aku: [Kalau lepasnya dipegangin sama Tante, mungkin aman ya?]

'Gila kenapa aku makin berani gini?' Aku memaki kesal dalam hati.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 10 Pemuas - 10   Kemarin18:28
img
img
Bab 1 Pemuas - 1
02/10/2025
Bab 2 Pemuas - 2
02/10/2025
Bab 3 Pemuas - 3
02/10/2025
Bab 4 Pemuas - 4
02/10/2025
Bab 5 Pemuas - 5
02/10/2025
Bab 6 Pemuas - 6
02/10/2025
Bab 7 Pemuas - 7
02/10/2025
Bab 8 Pemuas - 8
02/10/2025
Bab 9 Pemuas - 9
02/10/2025
Bab 10 Pemuas - 10
02/10/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY