Andara
"Beneran, Ma?"tanyaku memastikan tak salah dengar.
"Iya, Nduk. Barusan Mama dapat telepon dari Mama-nya Gio, kalau Gio setuju buat melanjutkan perjodohan ini,"jabar Mama antusias
Binar mata Mama yang cerah menegaskan penjelasannya kali ini bukan candaan atau tipuan. Pengumuman Mama barusan seperti palu godam yang memukulku telak. Bagaimana bisa setelah strategi jitu dan wajah pongah yang dengan bangga kupamerkan saat pertemuan kemarin justru malah membuat cowok itu mengiyakan perjodohan konyol ini sih? Jangan-jangan cowok ini memang radak aneh atau sinting mungkin.
"Lalu tanggapan Mama Gio, Gimana Ma?"tanyaku harap-harap cemas.
Penolakan Mama-nya Gio bisa menjadi amunisi ampuh untuk tidak menindaklanjuti perjodohan ini, bisa jadi Gio terlalu memaksa sekalipun tak mendapat restu dari Sang Mama. Ayolah, sekalipun sekarang sudah Abad 21 masih banyak Mama kolot yang menginginkan Menantu manut dibanding Menantu keras kepala seperti yang sengaja kutampilkan saat dipertemukan dengan Mama Gio tempo hari.
"Ya, tentu saja Jeng Anna ngasih lampu ijo juga buat acara perjodohan kalian. Malah Jeng Anna semangat dan kelihatan ngebet banget mau ngajak Mama, buat milih kebaya untuk nikahan kalian nanti,"papar Mama sumringah.
Mataku mendelik otomatis bersamaan dengan mulut melonggoku. Ah, yang benar saja! Bagaimana mungkin anak sama Mama kompakan aneh begini sih. Argh!! Aku harus gimana sekarang?
"Eh, malah ngelamun, cepat mandi terus ganti baju. Bukannya kalian sudah janjian mau keluar bareng hari ini?"perintah Mama.
"Hah, Mana ada? Orang aku mau di rumah seharian sambil ngrampungin tulisanku kok, Ma,"tanggapku mencoba mengalihkan pikiran ruwetku dengan mengetik asal di keyboard usang laptopku.
"Coba kamu cek dulu HP-mu, pasti Gio udah ngirim pesan dari tadi soal ajakan bertemu. Kamu sih, Nduk, makanya jangan ngedekem di depan laptop terus!"peringat Mama terdengar mendumel
Dan, benar saja, sebuah pesan masuk di WhatsApp-ku sejak pagi tadi, setelah sempat kuabaikan ponselnya demi mengatur fokusku menulis novel genre young adult hingga jam makan siang kini. Pesan ini seperti death note yang ingin kumusnahkan rasanya. Biasanya cowok paling anti sama perjodohan, cowok satu ini kenapa ngebet bener sama perjodohan sih! Mengherankan.
GIO: Pagi, Andara. Nanti jam 3 Sore bisa tidak? Kita ketemuan di cafe tempat kita janjian kemaren? Ada yang ingin kubicarakan lebih jauh soal perjodohan kita. Kutunggu jawabanmu, Thanks.
Wow! Tanpa tedeng aling-aling, Gio mengatur pertemuan tanpa menanyakan dulu apakah aku tengah luang hari ini atau tidak. Kentara sekali, dia tipikal cowok pengatur sepertinya. Ah, bentar! Pasti dia mengira aku hanyalah pengangguran yang tak perlu ditanyai perihal waktu senggang, karena memang tidak ada kegiatan mendesak lain. Sungguh gila jika aku harus menyambut tawaran perjodohan ini.
"Apapun harus kulakukan untuk membatalkan perjodohan ini. Harus!"batinku bertekad.
Segera kusentuh ikon balas pada aplikasi instan messeger, untuk mengirim balasanku sebelum Mama mengomel karena mengabaikan calon pasanganku yang di matanya sangat haram untuk dicuekin. Sukses mengirim pesan, kutekan kuat tuts keyboard laptopku yang sudah sepuluh menit lalu berpendar pasif demi menyalurkan rasa amarah dan kesalku mendapati kenyataan di depan mataku kini melesat jauh dari rencana awal. Tak puas mendapatkan pelampiasan yang sepadan, kujambak pelan rambutku yang kuikat asal-asalan sambil bergumam pelan merutuki kemalangan nasibku ini.
"Loh, masih duduk anteng aja! Ayo cepat mandi sana, dandan, pilih baju yang menawan jangan sampai Gio kabur kalau kamu nekat tampil acak-acakan begini!"hardik Mama terdengar tak sabar sekembaliannya dari dapur membuat teh herbal dan melihatku tak bergerak sejak tadi.
"Iya, iya. Ini lagi jalan ke kamar mandi, Nyonya!"balasku sedikit ketus.
Baiklah Gio, ini akan menjadi pertemuan terakhir kita! Batinku bertekad sembari menangkap handuk yang dilemparkan Mama dari arah ruang ganti.
©©©
"Bagiku, Kamu adalah Fermina Daza-ku Dulu dan Saat ini"
GIORDANI
Bisa dibilang duduk di meja ini dan menatap penuh harap menembus jendela kaca di sebelah kananku demi tak melewatkan sosoknya yang gegas masuk ke dalam cafe nantinya. Sungguh ini adalah tindakan nekatku setelah hampir setahun ini tak pernah melakukannya lagi. Sudah kupastikan dia akan berjalan terpaksa menghampiriku sembari mengomel sebal dan dalam hatinya merutuki keputusanku yang mungkin terdengar konyol di benaknya saat ini.
Tapi, aku sadar keputusanku dan tindakanku ini jauh dari kata impulsif. Jelas saja, pertemuan dan rencana perjodohanku kini seperti fenomena Aurora dalam wujud mendadak yang teramat langka dan ajaib mengingat sosoknya bakal hadir tepat di depanku lagi, setelah selama empat tahun aku mengarsipkannya jauh di ruang pikiranku dulu. Orang gila mana yang mau melepaskan keajaiban langka ini! Sekalipun bisa kupastikan tak hanya raut wajah angkuh berjarak yang akan kudapatkan nanti, bisa jadi aku mendapatkan semburan protes paling maksimal yang pernah kudapat. Dan, aku sama sekali tak memperdulikannya! Akan kuberi dia kesempatan untuk mengomeliku panjang lebar bahkan jika perlu umpatan sekalipun untuk menuntaskan bom nuklir yang sengaja kuledakkan hari ini.
Senyumku berpendar penuh seperti anak puber yang melihat gebetannya usai mendapati sosoknya sedang melangkah lebar-lebar demi meraih ganggang pintu cafe ini. Suara denting lonceng pintu cafe yang berbunyi menandakan seseorang tengah merangsek masuk. Aku tak dapat melepaskan ekor mataku yang teramat nyaman memandang sosok tubuh jangkungnya yang terlampau menawan dengan balutan one piece gaun bermotif flower flanel dengan warna pastel jingga. Sungguh, dia seperti jelmaan tokoh wanita utama dalam buku-buku dongeng yang kubaca hingga dewasa kini. Tak pernah absen membuatku takjub dengan daya magisnya.
"Permisi, Pak Giordani?"sapanya tegas, tapi bagiku seperti simfoni anggun.
"Ah, sore Mbak Andara. Silakan duduk,"balasku sambil memberi isyarat menyilakan dia untuk duduk di depanku.
Sudah kuduga, mau dipertemukan kapanpun. Bagiku, dia tetap Fermina Daza-ku.
©©©
Andara
Dibanding denganku yang lebih menunjukkan aura tak nyaman dan tampak uring-uringan. Bisa dibilang Si Empu Pembuat Masalah kini terlihat sangat santai, seolah tak pernah mengusik dunia siapapun. Membuatku seperti orang bodoh yang tengah mempermasalahkan hal sepele. Kuhadiahi tatapan tajam, melihatnya memandangku dengan tatapan datar.
"Jadi, apa yang dibicarakan Mama tadi beneran keputusan final-mu?"tanyaku membuka percakapan setelah lima menit kami tak bersuara.
"Bisa dibilang seperti itu,"jawabnya luwes seolah bukan apa-apa.
Bagaimana dia bisa se-santai ini setelah memberi pengaruh besar di antara keluarga kami berdua! Batinku meronta ingin menghardik citra santai yang masih setia dia pertahankan.
"Apa alasan Pak Giordani ingin perjodohan ini terus berlanjut?"lanjutku.
"Kenapa? Kamu keberatan, ingin mengakhiri rencana perjodohan ini?"tanyanya balik sukses membuatku makin kesal.
Orang waras mana yang memberi cap persetujuan setelah kuserang habis-habisan dengan sikap angkuhku, belum lagi citra independen jauh dari wanita penurut dan anti patriarki yang kutampilkan di pertemuan terakhir kapan hari itu. Jangankan menikah, berpacaran dengan wanita yang dominan saja bisa dipastikan itu seperti mencetak tiket agar para cowok bisa kabur dari jeratan hubungan ini. Hampir semua laki-laki yang kukenal dan kutemui sebelumnya, juga dari cerita teman terdekatku bahkan artikel media, mereka paling antipati dengan cewek terlampau jauh dari kata nurut. Ini menikah loh? Bukan main rumah-rumahan, Pak Giordani!"Batinku maraton bermonolog sendiri.
"Lebih tepatnya saya tidak tertarik dengan perjodohan ini. Kalau boleh jujur, kedatangan saya tempo hari hanyalah sekadar formalitas demi menjaga wajah Mama yang terlanjur menyanggupi pertemuan kita. Tak ada alasan bagi saya untuk menikah secepatnya, terlebih saya belum cukup lama mengenal anda,"jelasku to the point.
"Emm, bisa dimengerti. Kalau begitu kita tinggal kenalan lebih dalam lagi, simple-kan,"tanggapnya sembari menyereput coffee latte pesanannya.
"Apa semudah itu Pak Giordani memandang pernikahan. Saya sudah katakan dari awal, tak ada alasan bagi kita terutama saya untuk terus melangkah dengan perjodohan ini!"tegasku sedikit meninggi dengan iringan hembusan nafas kasarku.
"Benar, memang tidak ada alasan spesifik diantara kita yang mengharuskan kita menikah cepat terlebih pertemuan kita terlampau singkat. Tapi intuisi saya mengatakan jika pernikahan di antara kita layak dicoba. Lupakan soal chemistry dan lain-lain, yang terpenting saya tak keberatan jika dalam pernikahan nanti, Mbak Andara bukan sosok cewek manut ala keraton dan lebih fokus menata karir menulis dibanding mengurusi saya dan rumah. Saya bersedia berkenalan dengan Mbak Andara dan mengabaikan konsep suami-istri yang konservatif itu,"
Aku tak terpengaruh mendapati sikap fleksibel dan pikiran terbukanya. Sekalipun langka, tak jarang aku mengenal tipe cowok seperti Giordani yang menganggap cewek bukan sekedar pemenuhan ego laki-laki yang mengedepankan konsep penurut. Tapi, penjelasan Giordani masih terasa gegabah untuk mendapatkan akses persetujuanku pada institusi bernama pernikahan. Sekalipun aku terbilang pesimistis perihal cinta dan pernikahan, setidaknya aku masih memiliki secuil harapan gambaran pernikahanku akan hangat seperti dalam film dan buku favoritku. Dan, pernikahan masih kuanggap sebagai institusi sakral bagiku.
"Tapi bukan berarti ini bisa dijadikan alasan untuk melanggengkan pernikahan kita kelak, setidaknya minimal kita memiliki satu frekuensi yang sama. Entah dari segi kecocokan hati, komitmen, atau kesepakatan bersama,"balasku sedikit terdengar seperti mengelak.
"Saya memiliki rencana ingin menetap di Yogyakarta setelah kita menikah. Perjalanan Malang-Yogyakarta menguras tenaga saya, mengingat basis bisnis furniture saya berpusat di Jogja sekarang. Mama yang menahan saya untuk tinggal disini dan Mama sepakat dengan kepindahan saya jika saya bersedia menikah tahun ini. Bukankah Yogyakarta terkenal sebagai kota literasi, saya ingat keinginan Mbak Andara untuk melebarkan karir menulis sastra yang sempat Mbak ceritakan dulu,"
Tanganku yang hendak menyeruput jus mangga pesananku sontak diam tak bergerak, setelah telingaku menangkap nama Yogyakarta. Bagaimana dia bisa memprediksi jika Yogyakarta memiliki daya tarik yang bisa memikatku? Sialan, dia tak bisa diremehkan. Kuletakkan cepat gelas kaca itu dan mataku yang membulat fokus menatap wajah Giordani yang tengah menanti responku.
"Yogyakarta memang kota yang masuk dalam prioritas saya, terlebih setelah saya memilih menekuni karir menulis lagi. Tapi apakah ini yang Pak Giordani sebut sebagai satu frekuensi?"
"Tentu saja, bukankah ini salah satu bentuk kesamaan kita memimpikan tempat yang sama. Dan sebagai informasi, aku akan membebaskanmu berinteraksi dengan siapapun, berkegiatan apapun untuk menunjang karirmu. Kamu akan terhindar dari keraguan jika suatu saat aku bisa menyetirmu sewaktu-waktu, Gimana Mbak Andara?"
Kutelan ludahku cepat. Aku masih terpaku dan diam bergeming cukup lama usai tawaran terakhir yang dilontarkan Giordani. Melihatku masih tak menunjukkan respon setelah hampir dua puluh menit kami saling terdiam. Giordani berdecak ringan.
"Baiklah, akan kuberi waktu satu bulan untuk memikirkan tawaran ini, Mbak Andara. Gimana, Deal?"ucap Giordani memecah kesunyian.
Aku mengangguk cepat, "Deal!"jawabku enggan berpikir keras lagi.
"Emm .., tapi dengan syarat, kita beberapa kali ketemuan. Yah anggap saja sekedar saling mengenal tipis-tipis,"tawar Giordani lagi sambil melempar senyum ringan kearahku untuk pertama kalinya.
"Oke,"responku tanpa pikir panjang.
Selama tak merecokiku tentang keputusanku, ini bukan masalah yang berarti!Batinku.
©©©