Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Aku Yang Dianggap Beban
Aku Yang Dianggap Beban

Aku Yang Dianggap Beban

5.0
2 Bab
31 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

5 tahun menikah, aku tak kunjung hamil. Hingga mertua dan mas Adam tak pernah menganggapku ada, dan dicap sebagai beban suami. Aku bangkit dari hinaan itu, dan berhasil membungkam mulut mereka. Akankah Mela memaafkan suami dan juga mertuanya? Memberi kesempatan atau memilih untuk terlepas dari mereka?

Bab 1 Tak adil

"Mela … Mela!" Terdengar teriakan yang memenuhi ruangan, aku yang sedang memasak dengan terpaksa mematikan kompor gas, berlari menghampiri sumber suara.

Kulihat wajah seorang wanita paruh baya yang menatapku sinis, tangannya terlipat di depan dada.

"Iya Bu, ada apa?" tanyaku sedikit menundukkan pandangan.

"Kemana aja sih, di panggil dari tadi."

"Aku lagi masak, Bu."

"Alasan aja."

"Ibu perlu sesuatu?" tanyaku yang ingin mengakhiri suasana yang tak nyaman ini, hampir setiap hari aku mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakkan dari ibu. Walau aku sudah menjadi menantunya selama lima tahun, dan berusaha mengambil hatinya, tetap saja dia tidak menyukaiku dan selalu salah dimatanya.

"Cuciin baju kotor Ibu, sudah menumpuk di keranjang!" titahnya yang membuatku sedikit terkejut.

"Baru kemarin aku cuci, masa sudah menumpuk lagi." Sedikit ada nada protes dan kesal pada ibu, pekerjaan apapun selalu saja komplain dan tidak pernah benar. Mencuci ulang sama saja memberikan tambahan pekerjaan padaku, padahal aku butuh sekali beristirahat karena tenagaku selalu diforsir.

"Kamu cucinya gak benar. Seharusnya pakaian itu siap dicuci wangi, tapi ini malah apek."

Aku menghela nafas, bagaimanapun aku protes tetap tak akan pernah menang melawan ibu mertuaku. "Iya Bu, nanti aku cuci. Sekarang aku masak dulu!"

"Bisa cuci pakaian sambil memasak, pakai mesin cuci sana!"

"Mesin cucinya lagi rusak Bu, belum diperbaiki," jawabku yang sudah tidak ingin berdebat, segera pergi dari sana dan kembali memasak sebelum suamiku pulang.

Aku tak memperdulikan perkataan ibu yang terus menyalahkan aku, sudah biasa membuatku kebal. Aku melakukan semuanya seorang diri, seorang istri tapi rasa pembantu. Aku mengabdikan diriku pada pada keluarga suamiku, tinggal satu atap dengan ibu mertua dan juga ipar sangatlah menyiksa. Sudah berulang kali aku meminta pindah, kontrak atau menyewa pada mas Adam. Tapi seakan dia tuli dan tidak ingin pernah mendengar permintaanku, katanya lebih menghemat biaya.

Semua pekerjaan rumah sudah aku selesaikan, inilah waktuku untuk beristirahat dan mandi sebelum kepulangan mas Adam.

Aku melihat Nisa yang baru pulang dari sekolah, melempar tas dan sepatu sembarang arah membuatku menghela nafas. Adik iparku itu selalu saja tak peka kalau aku sudah sangat capek dengan ulahnya. "Itu tempat sepatu dan gantung tasmu di kamarmu!" ucapku yang menunjuk rak sepatu.

Nisa menatapku dengan wajah yang dongkol. "Baru pulang sekolah sudah diceramahi, setidaknya aku pulang berikan minum atau makanan."

"Kamu itu anak gadis, seharusnya seusiamu sudah bisa berbenah dan meletakkan barang-barangmu sendiri pada tempatnya. Kalau minum ambil di dapur, kalau lapar ambil makan sendiri," balasku yang sudah muak dengannya.

"Stop Mbak, aku gak suka diceramahi. Kalau mau ceramah di masjid sana, bukan disini." Nisa berlalu pergi masuk ke dalam kamarnya, dengan sengaja menutup pintu dengan keras untuk memperlihatkan kemarahannya.

"Dasar gadis manja," lirih pelan ku sambil menggelengkan kepala. Aku sangat merindukan kehidupan dulu sebelum menikah, melakukan apapun yang aku inginkan. Setelah menikah, jangankan untuk bersenang-senang, tiada hari berbenah rumah, dan mengerjakan pekerjaan rumah layaknya seorang pembantu, melakukan kesalahan dicap tidak becus sebagai istri. Kadang aku berpikir, sebenarnya apa arti keberadaanku disini?

"Assalamu'alaikum," ucap seseorang yang langsung mengalihkan perhatianku.

"Wa'alaikumsalam," jawabku sambil meraih tas mas Adam dan mencium punggung tangannya dengan hormat.

"Kamu masak apa hari ini?" tanya mas Adam sambil melonggarkan dasi yang mencekik lehernya, melangkah masuk ke dalam rumah dan aku mengikutinya dari belakang.

"Tumis kangkung campur tahu dan teri, juga semur ayam campur jengkol." Aku memasak menu kesukaannya karena uang belanja di berikan kemarin, jadi aku bisa menyajikan menu terbaik.

"Pasti enak, aku sudah lapar."

Aku tersenyum dan menggiring mas Adam menuju meja makan, kupanggil Nisa dan ibu untuk ikut makan bersama.

Mereka sangat tergoda dengan menu masakanku, tapi ibu sepertinya tidak begitu. Ku perhatikan raut wajah ibu, dan sangat penasaran mengapa belum juga mengisi piringnya.

"Ayo makan, Bu!" tawarku.

"Mana rendang daging sapi sama dendengnya?" tanya ibu penuh harap.

Laparku seketika menghilang, permintaan tinggi yang tidak sanggup aku gapai. Keuangan kami memang cukup, tapi aku tak bisa selalu menyajikan menu yang diinginkan ibu. "Menu itu juga gak kalah enak kok Bu, lain kali aja ya." Aku berusaha membujuknya, berharap ibu mengerti dengan harga daging sapi yang mahal, tak mungkin setiap hari aku memasaknya.

"Ibu tidak mau makan!" tolaknya yang mendorong piring kosong itu, beranjak dari kursinya seraya berlalu pergi.

"Mbak harusnya masak makanan kesukaan Ibu," celetuk Nisa yang menatapku kesal.

"Setidaknya kita bisa makan, makan apa yang aku masak! Nanti kalau lapar Ibu juga pasti makan," balasku bernada tegas.

Gaji mas Adam empat juta, aku mengaturnya dengan baik. Satu juta untuk sekolah Nisa, dan sisanya untuk belanja dapur, juga biaya pengobatan ibu. Hanya tersisa sedikit, aku menabungnya tanpa ada yang tahu, uang yang nantinya di pergunakan di masa sulit.

Setelah makan, seperti biasa aku mencuci piring. Aku melihat mereka semua berada di ruang tamu, berbicara serius hingga aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

Sudah lima tahun menikah, aku belum juga dikaruniai seorang anak. Hal itulah membuat ibu tidak menyukaiku, namun aku selalu bersikap sabar dan sabar sambil mengharapkan garis dua. Aku sudah banyak melakukan upaya agar hamil, namun hasilnya selalu saja mengecewakan.

Aku iri dengan teman-temanku yang punya anak dan disayang mertua, jangankan keluarga suamiku, bahkan mas Adam juga cuek dengan kehadiranku yang seperti tak terlihat di rumah ini.

Di malam hari, aku menutup pintu kamar seraya naik ke atas tempat tidur. Aku melingkarkan tangan memeluk mas Adam, rasa lelahku menghilang dengan menghabiskan waktu dengannya.

"Ada yang ingin aku bicarakan!" ucap mas Adam yang menoleh ke arahku dengan serius.

"Iya Mas, katakan saja!"

"Bulan depan, semua gajiku akan di pegang ibu. Kamu tidak perlu mengatur pengeluaran lagi," katanya yang membuatku menautkan kening.

"Kamu bercanda, Mas?"

"Gak, aku serius."

"Gak bisa gitulah, Mas. Selama ini aku yang mengaturnya, mengapa tiba-tiba ibu yang memegang uang gaji kamu."

"Ibu tidak ingin kamu capek memikirkan pengeluaran, sekarang kamu tinggal membereskan rumah, dan mengerjakan yang lainnya."

"Terserah kamu aja, Mas." Aku tak ingin berdebat, membiarkan ibu memegang gaji mas Adam. Aku ingin lihat, bagaimana dia mengolahnya, yang bahkan aku sampai pusing. "Mas, kita program kehamilan lagi ya," bujukku.

"Kita selalu ikut program, tapi tidak ada hasilnya. Percuma ikut, hanya buang-buang uang." Mas Adam meninggikan suaranya membuat aku tersentak kaget, tak terasa air mataku menetes dengan sendirinya.

"Kita coba sekali lagi, kalau gagal? Aku pasrah."

"Kalau kita gagal, maka kamu harus mengizinkan aku menikah lagi!"

"A-apa?"

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 2 Hal yang mengejutkan   07-08 06:09
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY