/0/13388/coverbig.jpg?v=d3a685d92bf1fee5a7324527c01d916d)
Bertha yang selalu melihat pertengkaran orang tuanya, memilih pergi ke sekolah berasrama untuk menghindar. Kepergian sang anak, tak membuat papa Bertha sadar dari kesalahannya, tapi malah membuatnya semakin menjadi-jadi. Wanita Lintah, selingkuhan papa Bertha yang sudah berbadan dua, dibawa tinggal di rumah dan menempati kamar Bertha. Geram dengan ulah sang Papa, membuat Bertha nekad membuat si Wanita Lintah menderita. Berhasilkah Bertha? Simak terus di 'Jangan Ambil Papaku.'
"Bertha, kenalkan! Ini Bunda."
DAMH...
Duniaku rasanya runtuh seketika. Ingin sekali aku berteriak dan mencakar wanita yang baru saja diperkenalkan Papa dengan panggilan Bunda. Wanita dengan dandanan menor dan norak, yang sedari tadi menempel bagai lintah di lengan Papaku.
"KENAPA KAMU DIAM, AYO SINI! KENALAN SAMA BUNDA! KASIH TANGAN!" pekik Papa yang membuat beberapa temanku menoleh dengan pandangan entah.
Entah bagaimana tampilan wajahku saat ini, aku merasa sangat malu. Papa sudah mempermalukan aku di depan teman-teman ku. Mereka semua segera memandang sinis ke arahku, bahkan ada yang terang-terangan mencibir.
Dengan langkah lambat, aku mendekat pada Papa, mencium tangannya sekilas, hanya sebagai penghormatan kalau dia adalah papaku, lelaki yang menjadi penyebab aku lahir ke dunia ini.
Enggan ku cium juga tangan wanita yang harus ku panggil Bunda itu. Hanya karena aku tak mau Papa menganggapku sebagai seorang anak yang durhaka. Wanita itu memandangku jijik, dan cepat-cepat menarik tangannya.
"Mama kamu gak ke sini?" tanya Papa sambil memandangku tajam.
"Enggak, Pa." Aku cuma menjawab singkat. Lagi-lagi hanya demi kesopanan. Kalau boleh memilih, justru aku tak mau menjawab sama sekali.
"Pasti mamamu sedang pergi dengan laki-laki itu, makanya gak ke sini menenggokmu. Heran, kok ada gitu seorang ibu melupakan anaknya begitu saja, dan lebih memilih mengejar laki-laki," kata Papa sambil tersenyum miring.
STOP
Berhenti menjelekkan mamaku. Dia itu wanita paling mulia yang pernah ku kenal. Tak sekalipun Mama melakukan hal yang seperti Papa tuduhkan. Mama perempuan yang setia. Setia pada Papa. Tapi Papa yang malah berselingkuh dengan perempuan menor itu.
Tentu saja aku hanya bisa protes dalam hati. Kalau semua kata-kata itu sampai lolos ke bibirku, pastilah kelima jari Papa sudah membuat jejak merah di pipiku yang putih ini.
Perempuan menor itu segera melengkingkan tawa mendengar ucapan Papa. Ya, melengking. Karena suara tawa perempuan itu, mirip sekali dengan suara tawa Mbak Kunti yang sering ku lihat di tayangan film horor televisi. Dulu, waktu aku masih tinggal di rumah, bersama keluarga bahagiaku.
"Ya sudah, Papa pulang dulu. Bundamu sudah kelihatan lelah, butuh istirahat. Seharian bundamu menemani Papa bekerja. Cari duit. Buat kamu dan adik-adikmu."
Aku hanya mengangguk, malas untuk menjawab dengan perkataan. Ku lihat Papa merogoh ke dalam saku belakang celananya, tempat dia biasa meletakkan dompet. Aku sudah sedikit merasa senang, Papa akan memberiku uang. Uang saku yang diberi oleh Mama dua minggu lalu, sudah menipis. Mungkin hanya cukup untuk kebutuhanku beberapa hari ke depan saja.
Apa-apaan ini? Ternyata Papa hanya mengeluarkan selembar sapu tangan, untuk mengelap keringatnya. Tapi aku masih berharap, Papa memberiku uang saku. Mungkin ditaruh di dalam tas kecil, yang disandang oleh papaku.
Lelaki itu sudah beranjak, dengan Wanita menor itu menempel bagai lintah. Aku hampir tak percaya dengan semua ini, papaku tak memberiku uang saku sepeserpun.
"PA! Papa belum memberiku uang saku," seruku takut-takut.
Papa kembali menoleh, demikian juga Wanita lintah itu. Pandangan Papa ke arahku, tidak seperti yang lalu-lalu. Kalau dulu, pandangan Papa selalu lembut dan penuh kasih sayang, kepadaku dan juga dua adikku, sekarang pandangan itu berubah jadi pandangan bengis dan kejam.
"Kamu minta uang saku ke Papa? Gak salah dengar kan papamu ini? Kan kamu pasti sudah dikasih sama mamamu, kenapa masih minta ke Papa? Jangan boros! Kalau kamu masih mau sekolah. Lagian ini sekolah berasrama, bayar di sini sudah mahal. Jadi kamu harus berhemat. Sadar diri, jangan berlagak jadi anak orang kaya seperti teman-temanmu di sini. Kamu berbeda. Mereka memang anak orang kaya, kalau kamu kan cuma anak orang sederhana."
Hah? Ini beneran papaku? Atau orang lain yang berwajah mirip Papa? Papaku tak pernah sebawel dan sepelit ini pada anak-anak nya. Apa karena Wanita lintah itu, papaku jadi berubah? Aku tak pernah tau.
"Ta ... tapi, Pa. Mama hanya memberi uang lima ratus ribu, itupun dua minggu lalu. Mana cukup untuk kebutuhan ku selama sebulan," kataku lirih.
"Itu bukan urusan Papa, urusan mamamu itu. Buat apa dia kerja siang malam, kalau memberimu uang saku saja tak mampu. Pasti uang mamamu habis untuk laki-laki itu."
Papa semakin bawel, dan lagi-lagi menyebut lelaki itu. Lelaki siapa yang dia maksud, aku tak pernah tau, bahkan tak pernah pengen tau juga. Satu-satunya keinginanku saat ini, Papa memberiku uang saku, titik.
"Ta ... tapi, Pa? Mama kan sudah---"
"Gak ada tapi-tapian. Papa gak mau kasih kamu uang saku, itu urusan mamamu. Papa pamit. Baik-baik kamu belajar di sini! Ingat, ini sekolah mahal! Sekolah yang dipilih oleh mamamu yang sok kaya itu."
Aku melirik ke arah Wanita lintah itu. Ku lihat dia menahan tawa melihat wajah kecutku. Aku jadi muak padanya. Bisa-bisanya Wanita lintah itu mencuci otak papaku. Papaku banyak berubah sekarang. Seratus delapan puluh derajat, dari sikap papaku sebelumnya. Dasar Wanita lintah kurang ajar.
Kembali Papa beranjak pergi dengan wanita itu yang menempel seperti lintah. Aku hanya melihat kepergiannya dengan berdiri di sini, di pendopo yang menjadi tempat kunjungan orang tua pada anaknya yang menimba ilmu di sekolah berasrama ini. Aku malas mengantar papaku sampai ke parkiran seperti biasa. Buat apa? Percuma kan? Toh dia tak mau memberiku uang saku.
Dengan langkah gontai, aku kembali ke kamarku di asrama. Kamar yang kutempati bersama ketiga teman ku. Mereka belum kembali ke kamar. Pasti masih menikmati momen berkumpul dengan keluarga.
Di hari libur seperti ini, kami memang boleh dijengguk dan diajak jalan-jalan keluar dari asrama. Dulu keluargaku juga begitu. Mama, Papa dan kedua adikku, datang menjenguk ku ke sini, lalu kami sekeluarga akan jalan-jalan ke tempat rekreasi yang ada di sekitar tempat ini.
Tapi itu dulu, beberapa bulan yang lalu. Sebelum ku dengar kabar paling mengejutkan dari Mama, kalau Papa ternyata sudah selingkuh, dan hidup kumpul kebo dengan wanita selingkuhannya itu. Ya, Wanita lintah itu.
Hari ini aku baru melihat wujudnya. Wujud Wanita lintah yang sudah memporak porandakan keluargaku. Mencuci otak papaku, dan menguasainya. Wujudnya tak lebih cantik dari mamaku. Jauh. Mamaku tetap cantik dan anggun dengan kesederhanaannya, berbanding terbalik dengan Wanita lintah yang selalu berdandan menor tapi jauh dari kata cantik. Perbandingan mereka, ibarat langit dengan bumi.
Aku hanya bisa menelungkup wajahku ke dalam bantal yang kini meredam tangisku. Mumpung aku sedang sendirian, akan ku puaskan diriku untuk menangis. Agar nanti, setelah teman-teman kembali, aku bisa memasang senyum palsu, untuk menutupi dukaku.
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Aku, Sonia, seorang wanita berusia 23 tahun, terjebak dalam masalah keuangan yang parah akibat hutang pengobatan anakku yang mengidap Thalassemia dan harus menjalani perawatan medis yang sangat mahal dan berkelanjutan. Hidupku yang penuh kesulitan berubah drastis ketika aku bekerja dengan Mr. Wei, seorang CEO sukses berusia 45 tahun. Di tengah kemelut keuangan dan tekanan emosional, aku menemukan pelarian dalam pelukan Mr. Wei. Kehangatan dan dukungan yang dia berikan membuatku merasa dihargai dan dicintai, sesuatu yang telah lama hilang dalam pernikahanku. Namun, kebahagiaan kami tidak lepas dari konflik; suamiku mulai curiga dan berbagai rintangan muncul, menguji keteguhan hati kami. Cerita ini menggambarkan dinamika cinta yang penuh gairah dan sakit hati, pengkhianatan yang menyakitkan, serta pencarian jati diri dan pengampunan. Dengan latar belakang kehidupan kami yang kontras, aku dan Mr. Wei harus menghadapi pilihan-pilihan sulit dan mempertanyakan nilai-nilai yang kami anut. Akankah cinta kami mampu mengatasi semua rintangan? atau akankah kami terperangkap dalam lingkaran drama dan penderitaan?
BACAAN KHUSUS DEWASA Siapapun tidak akan pernah tahu, apa sesungguhnya yang dipikirkan oleh seseorang tentang sensasi nikmatnya bercinta. Sama seperti Andre dan Nadia istrinya. Banyak yang tidak tahu dan tidak menyadari. Atau memang sengaja tidak pernah mau tahu dan tidak pernah mencari tahu tentang sensasi bercinta dirinya sendiri. Seseorang bukan tidak punya fantasi dan sensasi bercinta. Bahkan yang paling liar sekalipun. Namun norma, aturan dan tata susila yang berlaku di sekitranya dan sudah tertanam sejak lama, telah mengkungkungnya. Padahal sesungguhnya imajinasi bisa tanpa batas. Siapapun bisa menjadi orang lain dan menyembunyikan segala imajinasi dan sensasinya di balik aturan itu. Namun ketika kesempatan untuk mengeksplornya tiba, maka di sana akan terlihat apa sesungguhnya sensasi yang didambanya. Kisah ini akan menceritakan betapa banyak orang-orang yang telah berhasil membebaskan dirinya dari kungkungan dogma yang mengikat dan membatasi ruang imajinasi itu dengan tetap berpegang pada batasan-batasan susila
21++ Bocil dilarang mampir Kumpululan Kisah Panas Nan Nakal, dengan berbagai Cerita yang membuat pembaca panas dingin
Bagaimana jika keponakan yang dititipkan oleh kakak perempuan nya mulai mengacaukan seluruh tatanan kehidupan nya. Gadis kecil yang dia sangka polos menyimpan cinta mendalam untuk dirinya, memancing hasrat nya berkali-kali hingga pada akhirnya satu malam panas terjadi di antara mereka. Bagaimana caranya dia meminta restu kepada kakak nya sendiri untuk hubungan yang jelas di anggap tidak mungkin untuk semua orang. Namun siapa sangka satu kenyataan dimasa lalu terbuka secara perlahan soal hubungan mereka yang sesungguhnya.
Bagi Sella Wisara, pernikahan terasa seperti sangkar yang penuh duri. Setelah menikah, dia dengan bodoh menjalani kebidupan yang menyedihkan selama enam tahun. Suatu hari, Wildan Bramantio, suaminya yang keras hati, berkata kepadanya, "Aisha akan kembali, kamu harus pindah besok." "Ayo, bercerailah," jawab Sella. Dia pergi tanpa meneteskan air mata atau mencoba melunakkan hati Wildan. Beberapa hari setelah perceraian itu, mereka bertemu lagi dan Sella sudah berada di pelukan pria lain. Darah Wildan mendidih saat melihat mantan isrtinya tersenyum begitu ceria. "Kenapa kamu begitu tidak sabar untuk melemparkan dirimu ke dalam pelukan pria lain?" tanyanya dengan jijik. "Kamu pikir kamu siapa untuk mempertanyakan keputusanku? Aku yang memutuskan hidupku, menjauhlah dariku!" Sella menoleh untuk melihat pria di sebelahnya, dan matanya dipenuhi dengan kelembutan. Wildan langsung kehilangan masuk akal.