/0/14615/coverbig.jpg?v=20250123120210)
Ini adalah kisah Rengganis, anak rantau yang memutuskan tinggal di salah satu indekos di pulau Jawa. Siapa sangka, kedatangannya malah membawa malapetaka bagi seisi penghuni di dalamnya. Teror yang kerap ia dapatkan setiap malam, mengarahkan Rengganis pada sebuah teka-teki pembunuhan. Rengganis bersama penghuni indekos lainnya, akhirnya memutuskan untuk menguak misteri yang terjadi. Lantas bagaimana akhirnya, apakah mereka berhasil menemukan dalang dibalik teror tersebut? Ataukah justru mereka akan menjadi korban pembunuhan berikutnya?
Rengganis terperanjat bangun dari tidur saat seseorang menggedor paksa pintu kamarnya. Lem yang merekat kedua matanya sontak luntur mendapati sosok Bu Tejo.
"Saya tahu kamu baru sehari di sini, tapi bisa ndak pake air nggak usah heboh, gebyar-gebyur berisik didengar tetangga kos," ucap Bu Tejo.
Berulang kali Rengganis mengerjap mencerna ucapan Bu Tejo, berujung keningnya memahat kerutan tipis.
"Loh, Bu? Siapa yang pake air, orang saya tadi lagi tidur," elak Rengganis menepis tuduhan tersebut.
"Orang suara airnya jelas banget loh, itu Mbak Trisna di kamar sebelah ngeluh nggak bisa tidur. Lain kali lebih diperhatiin lagi."
"Sumpah demi Allah saya nggak pake air, Bu!"
"Jadi kalau bukan kamu itu ulah setan? Iya?" sambar wanita tersebut seraya menggeleng ringan.
Sekejap Rengganis tertegun. Ekor matanya menangkap sosok Bu Tejo yang menghilang dari pandang. Ia mulai menggigit kulit bibirnya, badannya ikut menggigil, segera Rengganis berjalan kembali ke kasurnya.
"Aneh banget, jelas-jelas aku rebahan di sini dari tadi," gumamnya menarik selimut hingga menutupi setengah tubuhnya.
Suasana kos kala itu terbilang sepi. Maklum tetangga kamar di sebelahnya dominan sudah pada bekerja. Bu Tejo berkata dua dari tiga kamar tersebut biasa lembur dan pulang dini hari. Bisa di bilang Rengganis adalah satu-satunya mahasiswi di kosan itu.
"Aku jadi ndak bisa tidur," bisik Rengganis pelan.
Kali ini ia mulai merubah posisi tidurnya ke sisi kiri, di mana jendela menjadi objek matanya bertemu pandang. Suara jam yang berdetak, menghiasi kesunyian di balik kamar miliknya.
Ketika mata gadis itu hendak terpejam, tiba-tiba suara ketukan dari pintu depan kembali menyapa telinga Rengganis.
"Loh, Bu Tejo lagi?" pikirnya sesaat.
Gadis itu berjalan untuk meraih gagang pintu, namun ketika netranya melirik ke arah jendela, tidak ada siapa-siapa di sana.
"Ada yang ngetuk lagi," cetus Rengganis spontan mundur selangkah.
Namun suara kali ini dari pintu belakang, pintu yang menghadap langsung dengan kebun Bu Tejo.
"Kok aneh ya? Kok ada orang yang bertemu lewat pintu belakang?" Sebelah alis Rengganis tertaut memikirkan keanehan tersebut.
Ia memacu kakinya berlari ke pintu belakang, ada keraguan, pikiran Rengganis bertarung, bimbang memilih membiarkan atau justru membukanya.
Bermodalkan nekat, gadis itu memilih untuk menebas rasa penasarannya.
"Sial," decak Rengganis kemudian.
Kosong. Tidak ada siapa-siapa di luar.
Pikiran Rengganis langsung berkecamuk. Kembali menggigiti bibirnya yang tipis. Badannya sedikit maju untuk kembali memeriksa keadaan sekitar.
"Apa jangan-jangan maling?" Refleks Rengganis banting pintu dan menguncinya.
Tidak sampai di situ, sekujur tubuh Rengganis menegang tatkala samar-samar mendengar suara pintu depan dibuka.
Degup jantung Rengganis berpacu cepat, tangannya terkepal seolah menyalurkan keberanian dalam dirinya.
Ketika ia menengok ke belakang, ada sosok perempuan berambut panjang menutupi muka.
"Haaaaahh!"
Spontan Rengganis berteriak menghalang pandang dengan kedua tangannya. Mulutnya terbuka lebar.
Sesosok perempuan berdiri membawa sekop. air mata mengalir di wajahnya. Isak tangisnya tertahan, keluar dari mulutnya dengan berat dan parau. Ia mengangkat sekop itu tinggi-tinggi, lalu menghujamkannya ke lantai. Mata sekop itu menghancurkan lantai seakan-akan lantai itu adalah daging segar.
Sedetik kemudian tubuh Rengganis terbangun dari tidur lelap. Peluh keringat terukir jelas di wajahnya. Terperangah sebab menyadari itu hanya mimpi belaka.
***
Cuaca pagi itu lumayan cerah, Rengganis memutuskan untuk berangkat kuliah lebih awal.
"Loh Dek Ganis mau berangkat lagi toh?" sahut Mbak Trisna yang kebetulan lewat.
Raut wajah Rengganis berubah heran. Sesaat ia mulai mengernyit dahi.
"Saya baru mau berangkat, Mbak," balasnya dengan senyuman kikuk.
"Oh ya? Subuh tadi saya dengar pintumu kebuka. Saya pikir kamunya udah berangkat." Mbak Trisna menambahi seiring ekspresi Rengganis bertambah bingung.
"Saya duluan ya, Mbak!" Tanpa menyahuti ucapan wanita itu, Rengganis memilih pergi.
Padahal masih pagi, namun Rengganis malah dibuat resah. Bayang-bayang mengenai pencuri kembali bersarang di kepalanya. Apa mungkin yang didengar Mbak Trisna benar-benar perampok?
"Eh, Bu! Berhenti bentar!" cetus Rengganis menunda jalan Bu Tejo yang sedang tergesa.
"Aduh! Apaan toh?" tanyanya dengan alis terangkat heran.
Ada perasaan tak nyaman untuk mengatakannya. Namun rasa penasaran menguasai benak gadis itu.
"Saya boleh ngecek CCTV nggak, Bu? Mbak Trisna ngomong ada orang yang ngebuka pintu kamar saya subuh tadi," kata Rengganis.
Sesaat Bu Tejo berdecak. Sebercak kegelisahan juga ikut tergambar di wajah wanita itu.
"Kamu tahu ndak? Semua CCTV pagi ini tiba-tiba rusak," beber Bu Tejo sekilas membuang napas.
"Kok bisa, Bu? Semalam perasaan masih nyala saya liatin," celetuk Rengganis mengingat betul terakhir kali mendapati lampu merah masih berkedip pada benda tersebut.
"Saya pun ndak paham. Malah biaya buat benerinnya nggak murah, saya juga jadi ikutan pusing."
"Ada kemungkinan buat dibenerin ndak, Bu?" tanyanya dengan secuil harapan.
"Saat ini belum, soalnya saya lagi banyak kebutuhan."
Rengganis menghela napasnya sesaat. Bu Tejo melenggang dari pandang. Sementara gadis itu berdecak merutuki kebodohannya.
Pertanyaan mengenai perampok masih berputar-putar di kepalanya. Rengganis sedikit parno jika itu benar adanya.
Suara klakson motor membuat Rengganis sedikit tersentak. Riko, kakak tingkatnya kini memandangnya dengan tatapan penuh heran.
"Ngapain bengong di pinggir jalan?" tanyanya.
Rengganis hanya bisa menggeleng seraya naik ke atas motor.
"Nomormu kenapa dari kemarin dihubungi ndak aktif-aktif?" Riko menyerahkan sebuah helm ke gadis itu, Rengganis langsung memakainya.
"Kemarin disenggol orang, terus jatuh. Untung dia mau bayarin biaya kerusakannya. Nanti singgah di tukang service ya, Ko," pintanya sebelum motor itu benar-benar melesat jauh.
"Bener di sini tempatnya?" sahut Riko tak yakin sesaat menginjakan kaki di sebuah tempat yang sudah terbilang kumuh.
Rengganis berulang kali mengecek kertas kecil yang diberikan oleh orang kemarin kepadanya.
"Iya udah bener kok ini. Ruko nomor 14 lantai 2," jawabnya.
"Rengganis ya?"
Gadis itu terlonjak sesaat mendengar seseorang menyebut namanya. Ia sontak memegangi dadanya yang berdegup kencang.
"I-iya," sahutnya kikuk.
"Ada klien kemarin nitip pesan suruh buat benerin ponsel mbaknya, biaya udah ditanggung ama beliau," ujar pria tersebut.
Rengganis hanya mengangguk dan langsung menyerahkan ponsel miliknya. Sekejab Rengganis maupun Rico hanya bisa terdiam di ruangan yang tidak seberapa besar tersebut. Menunggu hingga ponsel itu benar-benar selesai diperbaiki.
"Ini ya mbak, ponselnya udah normal dan udah bisa digunakan," ucap tukang service menyerahkan ponsel kepada si pemilik.
"Makasih ya, Mas," lontar Rengganis sebelum kemudian meninggalkan tempat tersebut.
Gadis itu mengernyit mendapati raut wajah Rico yang berubah. Dia jadi lebih diam dari biasanya.
"Rik? Mukamu kenapa?" tanyanya.
"Kamu ndak rasa aneh, Nis?" Riko malah bertanya balik. Kepalanya menoleh ke belakang seakan memastikan sesuatu.
"Aneh kenapa?" Ia menatap dengan guratan tak mengerti.
"Kok bisa ya ada toko service di tempat ini." Rico berucap dengan suara kecil namun Rengganis dengan jelas masih bisa mendengarnya
"Memangnya ndak bisa?" Rengganis menyahuti.
"Kamu ndak tau dulunya ini tempat apa?" serobot Riko tiba-tiba.
Rengganis menggeleng dengan sepasang alis tertaut.
"Pembuangan mayat, Nis. Dulu banyak manusia dibunuh di sini," terang Riko dengan wajah penuh keseriusan.
Mendadak tubuh Rengganis berubah kaku. Matanya membelalak bersamaan mulutnya yang terbuka lebar.
"Apa? Ma-mayat?"
Bersambung...
Kehidupan rumah tangga Vee dan Damar harus berakhir ketika dirinya mengetahui perselingkuhan suaminya dengan asisten rumah tangga mereka. Bercerai dengan Damar bukan berarti permasalahan telah selesai. Vee mendapatkan teror dari istri baru suaminya dan mengakibatkan dia harus kehilangan orang yang paling disayang. Vee tidak tinggal diam. Dibantu sahabatnya, dia mengungkap kejahatan istri baru mantan suaminya hingga membuat Damar yang tadinya tidak mempercayai ucapan Vee menjadi berbalik percaya. Bagaimana cara Vee mengungkap semua kejahatan mantan asisten rumah tangga yang kini telah menjadi istri Damar? Lantas, apa yang akan dilakukan oleh Damar saat mengetahui kebenarannya?
Niat untuk melamar pekerjaan sebagai pengasuh, karena membutuhkan pekerjaan tambahan demi menyambung hidup dan membiayai pengobatan ayahnya, justru mengantarkan Laura pada kegilaan Greyson yang merenggut kesuciannya, dan mengikat untuk menjadi pemuas nafsu. Akankah Laura bersedia menjadi budak pemuas Grey demi sejumlah uang untuk pengobatan ayahnya?
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Pernikahan tiga tahun tidak meninggalkan apa pun selain keputusasaan. Dia dipaksa untuk menandatangani perjanjian perceraian saat dia hamil. Penyesalan memenuhi hatinya saat dia menyaksikan betapa kejamnya pria itu. Tidak sampai dia pergi, barulah pria itu menyadari bahwa sang wanita adalah orang yang benar-benar dia cintai. Tidak ada cara mudah untuk menyembuhkan patah hati, jadi dia memutuskan untuk menghujaninya dengan cinta tanpa batas.