Unduh Aplikasi panas
Beranda / Cerita pendek / Makin Tua Makin Binal
Makin Tua Makin Binal

Makin Tua Makin Binal

5.0
5 Bab
1K Penayangan
Baca Sekarang

Khusus Yang Sudah Tua dan Dewasa

Konten

Bab 1 Binal

"Sudahlah, Intan! Buat apa kamu nuntut nafkah batin, toh nyatanya kamu nggak bisa hamil?" sergah Pak Rohman.

Kalimat itu adalah kalimat tergila, terkejam, dan paling menusuk, merobek hati Bu Intan seperti belati yang menari di atas luka lama. Kata-kata yang paling menyakitkan, terucap dari mulut lelaki yang selama ini ia cintai dan dampingi.

"Kita sudah tua, kenapa kamu hanya memikirkan kepuasan syahwat saja? Aku capek, Intan!" lanjut Pak Rohman, suaranya datar, tanpa perasaan.

Dengan suara bergetar, namun tetap tegas, Bu Intan menjawab, "Kalau aku cuma mau kepuasan, aku bisa mencarinya dari yang lain, Rohman! Tapi aku ini istrimu. Kamu wajib memberiku nafkah, bukan hanya lahir, tapi juga batin."

Pak Rohman mendengus. "Intan, lebih baik kamu cari kesibukan lain. Nafkah batin itu ada gunanya kalau ada hasilnya. Kalau kamu? Percuma aku sirami sawahmu tiap malam kalau padinya tak pernah berbuah."

"Astagfirullah..." pekik Bu Intan. Itu bukan sekadar hinaan. Itu penistaan terhadap cinta, terhadap seluruh pengorbanan dan ketulusan yang ia curahkan selama bertahun-tahun.

"Fokus aja sama kegiatanmu mengayomi warga dan silaturahmi dengan kelurgamu. Aku ngantuk!" ucap Pak Rohman sambil membalikkan badan.

Bu Intan berdiri dengan tubuh gemetar, menahan tangis yang mulai tak terbendung. "Baiklah, Rohman. Kalau itu yang kamu mau... Aku nggak akan menuntut apa-apa lagi darimu."

Suasana membeku. Hening dan menyesakkan, seperti menjelang badai besar.

"Mulai sekarang," lanjutnya pelan, menatap mata suaminya yang enggan membuka, "aku akan hidup sebagai istrimu hanya di atas kertas. Jangan harap aku akan kembali mengemis perhatianmu. Jangan harap aku terus menjaga api yang kamu sendiri biarkan padam."

"Terserah!" balas Pak Rohman, lalu memejamkan mata tanpa peduli.

Malam itu, di depan cermin dengan lampu temaram, Bu Intan menatap bayangannya sendiri. Wajah dengan luka, tapi juga api kecil yang mulai menyala lagi-bukan untuk suaminya, tapi untuk dirinya sendiri. Untuk hidup yang layak ia nikmati, tanpa harus mengemis cinta yang sudah lama mati.

Perempuan sekuat Bu Intan tak akan tumbang hanya karena lelaki yang tak tahu diri. Ia akan bangkit-dengan anggun.

Malam merayap pelan, menyelimuti rumah besar itu dengan kesunyian yang menyesakkan. Lampu meja rias menyala redup, menciptakan bayangan lembut di wajah Bu Intan yang tampak muram, lelah, dan patah.

Tubuhnya dibalut satin tipis warna ungu. Lekuk tubuhnya masih memesona, tak kalah dari wanita-wanita muda yang datang silih berganti dalam hidup suaminya. Tapi semua usaha itu terasa sia-sia malam ini-seperti malam-malam sebelumnya.

Di atas ranjang, Pak Rohman terlelap, mendengkur pelan, seolah dunia baik-baik saja. Padahal di sisi lain, hati istrinya tengah retak-retak, dihantam kecewa dan kesepian yang tak pernah bisa ia bagi. Wajah Pak Rohman tampak tenang dan damai-dan justru itulah yang menghancurkan hati istrinya.

Air mata Bu Intan tak lagi tumpah, tapi matanya berkaca. Bukan karena cemburu pada perempuan lain-ia sudah terlalu sering disakiti untuk itu. Tapi karena ia merasa tak dianggap lagi, tak dilihat lagi dan tak diinginkan lagi. Apalagi dihargai.

Dan malam itu, Bu Intan hanya bisa tersenyum pahit pada bayangannya sendiri.

"Apakah aku terlalu tua untuk dicinta?" bisiknya lirih. Tapi cermin tak pernah menjawab. Ia hanya memantulkan luka yang tak kunjung sembuh.

Bu Intan masih duduk di depan meja rias. Matanya kosong, pikirannya dihuni potongan-potongan masa lalu yang berseliweran, tajam dan bising. Ia mengingat kembali saat masih menjadi gadis muda keras kepala yang menantang dunia demi cintanya pada seorang lelaki yang kini menjadi suaminya.

Dulu, semua orang menentangnya. Ibunya menangis berhari-hari. Ayahnya memutuskan hubungan dan mengusirnya. Beruntung kakak-kakaknya masih menjadi pelindung setianya.

"Kamu menukar harga dirimu dengan lelaki tukang mabuk yang cuma bisa berkelahi!" begitu caci maki ayah Intan.

Tapi Intan muda tak peduli. Ia melihat sesuatu yang orang lain tak lihat-api semangat, ketegasan, karisma mentah yang, jika diarahkan, bisa menjadi kekuatan besar.

Ia mendampingi Abdul Rohman bertahun-tahun. Dari jalanan menuju ruang kekuasaan. Dari perdebatan dan perkelahian jalanan menjadi pidato di atas podium. Intan adalah istri, mentor, sekretaris, penasehat, bahkan ibu bagi keluguan suaminya dalam politik dan bisnis kala itu.

Semua dibangunnya dari nol. Dari sekedar pengurus Ormas tak jelas, Ia bertahan dari cibiran, bangkrut, nyaris mati karena konflik.

Tapi kini?

Hanya karena satu hal yang tak bisa Intan beri, ialah keturunan, semua pengorbanannya seolah lenyap, tergantikan oleh perempuan-perempuan muda yang menyapa suaminya dengan sebutan "Abi," seolah Bu Intan hanya bayang-bayang masa lalu.

Bu Intan memejamkan mata. Hatinya panas, tapi bukan membara. Ia membeku. Beku karena terlalu lama menahan luka. Beku karena cinta yang dulu menyala, kini hanya jadi abu yang sesekali ditiup angin kenangan.

Ia melangkah ke balkon kamar. Udara malam menggigit, tapi lebih baik daripada sunyi yang memeluknya di dalam.

"Tak masalah aku tak punya anak. Tapi aku pernah punya mimpi. Dan mimpi itu bernama Abdul Rohman."

Namun kini, mimpi itu tak lebih daru seorang lelaki yang mendengkur di ranjang, lelap, dingin, tak bisa lagi diajak bicara, apalagi diharapkan kemesraannya.

Tangis itu bukan sekadar air mata. Ia adalah runtuhnya harga diri yang dibangun bertahun-tahun. Bu Intan memeluk dirinya sendiri, seolah hanya dengan cara itu ia bisa merasa utuh kembali.

Tubuhnya menggigil. Bukan karena dingin, tapi karena kehampaan yang selama ini ia sembunyikan di balik riasan wajah, senyum penuh wibawa dan sikap anggun sebagai istri seorang Kepala Desa, yang semua orang memanggilnya 'Bu Kades.'

Ia pernah percaya bahwa cinta sejati adalah rela berbagi. Bahwa tugas tertinggi seorang istri adalah membahagiakan suaminya, meski harus menyayat dirinya sendiri. Ia pernah berkata pada Pak Rohman, sambil menggenggam tangannya,

"Kalau memang anak yang kamu cari, ambillah perempuan lain untuk jadi istrimu, asal jangan hilangkan aku dari hidupmu."

Waktu itu, Pak Rohman menangis. Berjanji bahwa Bu Intan akan selalu jadi satu-satunya. Janji manis... yang kini jadi luka paling pahit.

Dua anak telah lahir dari rahim Nadien, istri keduanya. Bukti bahwa ia tak cukup sebagai seorang istri. Tapi apakah Pak Rohman menjadi lebih tenang? Tidak. Justru semakin liar, seolah membuka pintu baru menuju pelampiasan tanpa batas.

Bu Intan merasa kalah. Tapi bukan dari perempuan lain. Bukan pula dari takdir. Ia kalah dari harapannya sendiri-bahwa cinta akan membalas pengorbanan. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan penghormatan. Semua sia-sia yang tersisa hanya dendam.

^*^

Pagi itu matahari belum benar-benar naik saat Bu Intan membuka matanya. Hening. Hanya suara burung dari pohon belakang rumah yang menyapa lembut. Udara pagi terasa sejuk menyelinap lewat celah-celah jendela. Sejenak ia menatap langit-langit kamar, sebelum akhirnya bangkit dari ranjang yang terasa semakin luas dan hampa.

Ia melangkah pelan keluar kamar, kain satin gaun tidurnya menyapu lantai marmer yang dingin. Aroma sedap masakan khas Jawa menyeruak dari dapur. Bu Intan melirik meja makan. Di sana sudah tersaji lengkap: nasi hangat, tahu bacem, gudeg, dan secangkir teh panas. Semua tampak rapi dan menggugah selera, seperti biasa.

"Pagi, Bu..." suara Bi Koni terdengar dari dapur.

Bu Intan hanya mengangguk kecil sambil menarik kursi dan duduk. Ia menyendok nasi perlahan. Tapi, seperti pagi-pagi yang lain sejak beberapa bulan terakhir, makanan selezat apapun terasa hambar di lidahnya.

"Pak Rohman ke mana?" tanyanya pelan, tanpa ekspresi.

Bi Koni mendekat, membawa piring kecil berisi irisan pepaya. "Tadi pas saya datang jam empat, Pak Kades sudah pergi, Bu. Katanya buru-buru, dijemput Bang Roni..."

Bu Intan berhenti mengunyah. "Pagi sekali?"

"Iya, Bu. Bapak juga dandan rapi banget. Pakai kemeja bagus, celana bahan, sepatu disemir. Bahkan sempat bilang ke saya..."

Bi Koni terdiam, ragu melanjutkan. Tapi sorot mata Bu Intan menuntut kejujuran.

"Apa katanya?"

"Saya disuruh jaga rumah seperti biasa. Katanya entah berapa lama belum tentu pulang ke sini. Karena Bu Nadien sedang sakit, katanya perlu ditemani dulu."

Suara sendok Bu Intan pelan diletakkan ke piring. Ia menatap ke luar jendela, tapi tak benar-benar melihat apa-apa. Bukan karena terkejut-melainkan karena luka itu seperti menggores bekas yang sudah ada, tapi makin dalam.

Ia sendiri sering sakit. Pernah demam tinggi semalaman, bahkan sempat dua kali dirawat di rumah sakit. Tapi Pak Rohman? Ia selalu punya alasan. Sibuk rapat. Banyak urusan desa. Tak bisa meninggalkan proyek pembangunan masjid. Atau sekadar: "Nanti saja kalau kamu sudah lebih kuat."

Tapi untuk Nadien, perempuan muda yang datang bertahun setelah Bu Intan mengabdi, cinta itu seperti baru saja mekar.

Bu Intan bangkit dari kursinya. Ia berjalan perlahan ke ruang tengah, menatap cermin besar di sisi lemari ukiran tua. Wajahnya tetap cantik, meski kerutan mulai bercerita. Ia menyentuh pelipisnya yang mengering, dan berkata lirih,

"Begitu ya, Rohman? Kau benar-benar tak melihat aku lagi."

Tangannya mengepal perlahan.

"Baik. Kalau kau bisa berubah sedingin itu, jangan salahkan aku jika aku juga berubah."

Hari-hari lalu, berapa banyak lelaki-muda dan matang-yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan? Beberapa dari mereka hanya ingin mendompleng nama besarnya. Tapi sebagian besar, sungguh terpikat pada dirinya-pada pesona Bu Kades yang anggun, cerdas, dan masih sangat memesona.

Dan selama ini, ia selalu menolak. Karena ia ingin tetap setia. Ingin tetap menjaga harga diri rumah tangganya. Namun pagi ini, semua itu terasa seperti keputusan paling bodoh dalam hidupnya.

Ia melangkah menuju kamarnya, membuka lemari, dan mengambil sebuah gaun yang jarang ia kenakan-terlalu cantik, terlalu mencolok untuk rutinitas hariannya. Tapi hari ini, ia ingin terlihat istimewa. Untuk dirinya sendiri. Untuk lembaran hidup baru yang akan ia buka.

Ia berdiri di depan cermin, menyematkan anting, membetulkan kerudung, lalu tersenyum tipis. Senyum yang tak lagi penuh cinta. Tapi penuh tekad.

"Mulai hari ini, kamu akan mengenalku sebagai Intan yang baru. Bukan istrimu. Tapi perempuan yang tak sudi lagi dicintai dengan setengah hati."

Di benaknya, berjuta mozaik rencana tersusun, membentuk satu kata besar yang mulai membara di dadanya: 'Akan aku buktikan siapa sesungguhnya diriku ini. Tak peduli jika orang mengatakan Makin Tua Makin Binal.'

"Saatnya aku menjadi diriku sendiri! Kamu jangan menyesalinya, Abdul Rohman!"

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Binal   05-30 17:53
img
1 Bab 1 Binal
30/05/2025
2 Bab 2 Binal
30/05/2025
3 Bab 3 Binal
30/05/2025
4 Bab 4 Binal
30/05/2025
5 Bab 5 Binal
30/05/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY