Tasya menoleh, mendapati rekan kerja satu divisinya yang baru saja datang. "Ya dan aku tidak menyangka bahwa mejaku sudah penuh dengan proposal." Ia memicingkan matanya pada meja kerja yang sebelum cuti telah kosong dan rapi, namun setelah resmi masuk kerja kembali hari ini, sejumlah proposal telah bertumpuk di sana.
Dinaya, rekan kerja Tasya itu berhenti sejenak. "Semuanya baik-baik saja?"
"Setidaknya aku tidak perlu memakai masker dan kacamata hitam, setiap berjalan di sekitar daerah kantor," balas Tasya mengerti maksud Dinaya.
Apalagi kalau bukan tentang pernikahan yang batal. Tiga hari sebelum ikrar sehidup semati diucapkan, Tasya harus menanggung penderitaan bercampur rasa malu oleh perselingkuhan Ravi.
"Abaikan saja mereka. Kau cantik, pintar dan memiliki banyak bakat. Sebagian mereka mungkin iri dan menjadikan musibah yang menimpahmu sebagai alasan membicarakannya."
Dinaya bukanlah teman dekat Tasya di luar kantor, tetapi setahu Tasya, Dinaya adalah salah satu rekan kerjanya yang tidak munafik dan suka menjatuhkan orang lain. Dinaya bukanlah pekerja yang akan bergosip di kala waktu senggang, memilih menonton acara variety show di ponselnya atau membaca buku di kafe yang berada di depan perusahaan.
"Thanks Naya, cuma kau yang bisa kuandalkan di sini," balas Tasya susah merasa tidak terharu dengan ucapan Dinaya barusan.
"Apaan sih Tasya, lebay deh." Dinaya paling anti dengan ucapan manis, sehingga tak jarang orang menjulukinya 'putri yang dingin'.
Dinaya mulai menuju meja kerjanya yang masih berada satu ruangan dengan Tasya, namun dipisahkan oleh sekat. "Kau masih memiliki kesempatan. Daripada aku, bercerai setelah dua tahun menikah."
Tasya terdiam. Ia pun mensyukuri bahwa benar dikatakan oleh Dinaya. Lebih baik menanggung malu dan rasa sakit hati lebih cepat, daripada harus berujung penyesalan tanpa henti.
Sudah jadi rahasia umum bahwa Dinaya adalah janda muda. Mantan istri dari seorang pengacara dan tidak memiliki anak.
Tasya pun hanya bisa menghela dan menarik napas secara beraturan sambil mulai membaca proposal di depannya.
"Oh ya, selama kau cuti Pak Bos sering lihatin meja kerjamu loh."
Pernyataan Dinaya tak ayal membuat mata Tasya membeliak. "Apa?" Ia tidak pernah membayangkan tatapan serius dan tajam Albiru Prayoda--direktur dari Derling pada meja kerjanya. Pasti sangat menakutkan.
Tasya bahkan telah bergidik membayangkan situasi tersebut. "Ouh, paling dia menggerutu dalam hati tentang bagaimana aku mengambil cuti libur padahal juga batal nikahnya."
Dinaya terkekeh kecil. "Bagaimana kalau ternyata Pak Albi khawatir?"
Rasa mual langsung menyerbu perut Tasya kala mendengar perkataan Dinaya tersebut. "Khawatir? Mustahil. Ingat ketika dulu kakiku keseleo dan dia tetap memintaku menghadiri rapat dengan klien yang berada di lantai lima tanpa elevator." Seutas kisah pilu yang sampai sekarang terus bersarang di pikiran Tasya dan sejak itu, ia tak pernah lagi mencoba memahami Albiru secara emosional.
"Aku memintamu menghadirinya, karena tidak tahu kalau kakimu keseleo hari itu. Kau hanya berkata jatuh dan mengalami luka kecil, kukira hanya lecet di luar saja."
Sebuah suara yang beriringan dengan penjelasan membuat Tasya bangkit dari kurisnya dan ketika berbalik, ia telah menemukan seorang pria memakai jas sedang menatapnya datar.
"Selamat pagi Pak Albi," sapa Tasya sedikit membungkukkan badannya.
Dinaya telah menahan tawanya. Ia bisa melihat Albiru seolah baru saja ditampar oleh perkataan Tasya, tetapi lelaki itu tetap bersikap cool seperti biasanya.
"Ya, pagi juga Tasya dan ... selamat bekerja kembali," sapa Albiru balik. "Naya, bagaimana bahan presentasi besok?"
Albiru melewati meja Tasya menuju Dinaya. Hal itu membuat Tasya kembali duduk sambil menggigit bibir bawahnya.
"Ini Pak, sudah siap. Jam sepuluh besokkan?" Naya bertanya untuk lebih yakin akan jadwal presentasi tersebut.
"Benar," balas Albiru mengambil materi presentasi yang telah tercetak, meski ia yakin Dinaya telah mengirimkan bentuk PPT-nya lewat surel.
Albiru kemudian mulai berjalan beranjak dari ruangan tersebut, namun sebelum mencapai pintu, ia menoleh ke arah Tasya.
"Besok kau yang akan presentasi," tukas Albiru langsung memberi perintah kepada Tasya pada hari pertama kerja wanita itu.
"Tapi aku belum tahu materi, bahkan ... tentang tidak tahu apa itu besok," sanggah Tasya seolah mendapat serangan fajar, karena sambutan hangat dari bosnya itu.
"Makanya pelajari. Ambil materinya di Dinaya dan datang ke kantor satu jam lebih cepat, kita berangkat bersama."
Albiru tidak melihat situasi Tasya sebagai sebuah masalah bahwa wanita itu tidak bisa melakukan presentasi di hadapan klien esok harinya.
Setelah pintu kembali tertutup, Tasya tak segan memukul meja kerjanya dengan tinju. Rasa malu dan takut, karena ucapannya tadi telah berubah menjadi rasa kesal dan amarah.
"Naya, apa sebaiknya aku sekalian menulis surat pengunduran diri?" Tasya menoleh kepada Dinaya yang sekali lagi menahan tawanya.
"Sudah berapa kali kau mengatakan itu, setiap kesal sama Pak Albi?" Dinaya sudah tidak asing dengan penawaran Tasya tersebut. Namun pada akhirnya ia akan melihat wanita itu tetap mengerjakan tugas dengan baik.
Tasya meringis. "Harusnya aku datang terlambat tadi," ucapnya kemudian merebahkan kepalanya di atas meja. Menjadikan sejumlah proposal sebagai bantalan.
♡♡♡
Kehadiran Tasya kembali menjadi pusat perhatian karyawan Derling, meski berada dalam divisi yang berbeda. Sangat terlihat ketika berada di kantin perusahaan. Membicarakan Tasya yang pernikahannya batal karena perselingkuhan.
Sebenarnya Tasya bisa menyembunyikan penyebab kandasnya rencana pernikahannya, tetapi undangan telanjur disebar dan karena emosi, ia mengirimkan pesan ke seluruh kontaknya bahwa pernikahan itu batal karena perselingkuhan dari calon mempelai pria. Ada yang menganggapnya berani, tetapi banyak juga yang menyindirnya bodoh dengan mengungkapkan aib tersebut.
"Tapi harus kuakui, bahwa kau tidak berubah bahkan setelah kejadian itu," ujar Dinaya telah selesai menyantap makan siangnya.
Alis Tasya terangkat. "Maksudmu?"
"Kau tidak kurus, kering dan pucat. Seperti orang yang patah hati."
Tawa Tasya langsung meledak, seolah membahana kemudian perlahan berubah menjadi miris. "Hanya minggu pertama setelah hari pernikahan. Aku sempat dirawat di rumah sakit tahu."
Mata Dinaya terbelalak. "Lalu kenapa kau tidak memberitahuku?" Ia berpikir Tasya melewatinya dengan cukup baik. Meski tahu bahwa rencana pernikahan yang batal adalah neraka fana bagi seorang wanita.
"Aku tidak ingin menunjukkan kerapuhanku. Bahkan aku menerima hal itu sebagai pelepasan terakhir atas penderitaan dan kesedihan yang kurasa. Lalu setelahnya ... aku mulai fokus peduli pada diriku sendiri," ujar Tasya mengingat bagaimana setiap proses yang ia lalui setelah musibah yang menimpanya itu.
"Kau ... benar-benar luar bisa Tasya."
Tasya mengulum senyuman tipis. "Mungkin memang beginilah nasibku. Harus merasakan kegagalan menuju pelaminan." Ia mengembuskan napas panjang. Mencoba kembali mengumpulkan rasa ikhlas dalam dirinya.
Tidak mendapat makanan penutup di kantin, menjadikan Tasya berniat mencari ice coffee dan cake di kafe seberang jalan. Namun baru berada di lobi, langkah kakinya terhenti oleh apa yang baru saja dilihatnya saat ini. Ravi Ardiansyah berdiri beberapa meter darinya dan tampak lelaki itu berjalan ke arahnya.
"Tasya."
"Sialan."
Ravi terkesiap sesaat mendapat balasan secara alamiah dari Tasya.
"Aku tahu kau kesal--"
"Berani sekali kau datang ke sini," potong Tasya dapat melihat beberapa karyawan yang mengenali Ravi sebagai mantan calon suaminya tersebut. Bagaimana tidak, selama menjalin hubungan Tasya tentu pernah mengunggah kemesraannya dengan Ravi di media sosial.
"Itu karena kau memblokir nomorku."
Tasya mengepalkan tangannya. Ia menahan air matanya yang mulai tergenang. Rasa sakit hati oleh perbuatan Ravi adalah sesuatu yang akan selalu membekas dalam dirinya, tetapi rasa muak dan malu dengan kemunculan Ravi di tempat kerjanya, tentu hal yang sama sekali tidak bisa ditolerirnya.
"Kau benar-benar tidak tahu malu. Apa maumu lagi? Bukankah kau sudah bebas bercinta dengan Vania?"
Ravi mengambil satu langkah lebih dekat, tetapi Tasya dengan sigap melangkah mundur juga.
"Tidak Tasya, bukankah sudah kukatakan bahwa aku mengalami masalah akan hal itu ... tetapi saat aku memikikranmu--"
Plak!
Satu tamparan keras berhasil mendarat pada pipi Ravi oleh telapak tangan Tasya.
"Menjijikkan."
Cukup satu kata membuat Tasya ingin segera menyingkir dari hadapan Ravi, takut ia mungkin akan membunuh lelaki itu apabila Ravi kembali membuka mulutnya. Namun ketika akan melangkah menuju elevator untuk kembali lantai tempat kerjanya, ternyata sudah banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Tentu saja, adegan tamparan yang baru terjadi adalah tontonan gratis yang mungkin sulit ditemukan, selain di sinetron atau film.
Termasuk Albiru yang berdiri tak jauh darinya. Untuk sesaat, mata Tasya menangkap seringaian kecil dari sudut bibir bosnya itu.
♡♡♡