/0/15719/coverbig.jpg?v=04c774416462a5b042d2024508454c3d)
Adakah wanita yang sebodoh diriku? Berpura-pura tidak tahu akan perselingkuhan suami sampai anak kami mati. Aku pergi seperti keinginanmu, Ken. Tapi, kenapa kamu datang lagi dan memintaku kembali? Saat di sampingmu berdiri anak yang tak bisa kumiliki. Anakmu dan wanita itu. Baca lalu selamilah hidup Arini dan lukanya. Kamu bisa menangis bersamanya atau rutuki saja keputusan hidupnya itu.
Aku tidak tau dorongan dari mana yang menyuruhku untuk datang ke kantor suamiku. Mungkin, instingku benar-benar meyakinkan diriku kali ini.
Aku datang.
Tetapi, aku tak pernah masuk ke dalam kantor suamiku. Aku hanya berdiam diri di dalam mobil dalam diam. Memperhatikan pria yang seharusnya suamiku sedang menciumi wanita yang selalu membuatku merasa tak aman.
Aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan saat melihat semesra apa mereka di lahan parkir yang sepi, seolah tak perduli jika ada mata manusia yang melihat.
Pelukan, pagutan, ciuman yang membuatku sakit.
Namun, aku tak mampu mengalihkan pandanganku!
Rasanya ... aku bahkan tak berkedip meski aku bernafas karena itu hal wajar untuk kulakukan.
Bernafas!
Brukk!!
Aku bahkan baru sadar jika sudah berdiri di salah satu lobi hotel saat tubuhku menabrak sesuatu atau mungkin seseorang, entahlah.
Aku seperti di sini tapi otakku melayang entah kemana. Bahkan, suara ramai kesibukan terasa samar di telingaku.
Udara dingin yang terasa menusuk berkat pendingin ruangan tak berpengaruh apapun padaku yang diam terpaku, menatapi lobi tanpa perduli saat berpasang-pasang mata menatapiku heran.
Mungkin mereka berpikir aku orang tersesat. Tapi, tak ada yang mendekat sekedar untuk bertanya. Mereka hanya menatapiku yang berdiri masih mencerna apa yang sedang aku lakukan.
'Mariot Hotel?'
Ah, aku berada di salah satu hotel mewah yang membuatku merasa salah tempat, karena bukan hotel yang ingin kutuju tapi kantor suamiku.
'Sedang apa aku di sini?'
Tubuhku langsung kaku saat kesadaranku kembali. Mungkin, wajahku sudah seperti lembaran kertas putih yang pucat sampai seseorang menyapaku.
Aku yang menoleh, bahkan tak jelas mendengar apa yang ia tanyakan sampai ia mengajakku duduk di sofa empuk yang rasanya membuat tubuhku menjerit dalam bisu.
Detik berganti.
Waktu berputar begitu lama dan mataku selalu memandangi lift yang berbunyi, berharap suamiku ada di antara lift yang terbuka.
Namun, suamiku tak ada di sana begitupun wanita yang datang bersamanya.
Wanita yang sejak pertama kali aku melihat potretnya di dalam kediaman suamiku, membuat diri merasakan perasaan tidak enak.
Wanita dengan kecantikan yang akan membuat semua mata menoleh dengan rasa iri dan kagum.
Wanita yang bisa memiliki segalanya hanya dengan menunjuk apa yang ia mau.
Aku terus menunggu, tidak perduli pada tatapan resepsionis yang sesekali bertukar pandang dengan satpam.
Mungkin, di hotel ini aku bukan wanita pertama yang menunggu suaminya turun setelah selesai dengan apa yang mereka lakukan.
Mungkin dua orang yang saling melirik itu juga menungguku menyerah, atau mungkin mereka menunggu waktu yang tepat untuk mengusirku sebelum aku melakukan hal yang akan membuat hotel mewah ini malu.
Tapi, aku tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan karena aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kurasakan kini. Kecuali tanganku bergetar dalam pangkuan.
"Minumlah."
Suara itu membuatku menoleh. Tapi, aku bahkan tak melihat wajah orang yang meletakan sebotol air mineral di tanganku. Yang kutahu, tangannya besar dan terlihat bisa diandalkan.
'Apa aku mengucapkan terima kasih?'
Kurasa iya, karena ia mengangguk dengan senyum yang membuatku bisa melihat baris giginya yang rapi saat ia tersenyum lalu berdiri.
Manusia yang wajahnya jadi tak jelas mondar-mandir silih berganti. Tapi, orang yang kutunggu tetap tidak keluar dari dalam lift yang berkali-kali terbuka dengan bunyi yang sudah kuhafal.
Ding!
Namun, aku terus menunggu, bahkan saat langit cerah menggelap. Aku tetap duduk di tempat sama. Memegangi botol air mineral yang masih tersegel.
PING!
Suara ponselku terdengar, dengan mata tak yakin aku membaca sebaris pesan yang dikirim suamiku.
Yang, aku tidak pulang malam ini. Maaf ya ibuk mendadak minta aku pulang. Have a sweet dream. Love you.
Tanganku bergetar, tapi jemariku tetap memenceti layar ponsel karena aku tahu suamiku masih memegangi ponselnya. Ia tahu aku sudah membaca pesannya.
Send.
Apa yang kukirim padanya membuatku merasa kalah seketika. Mataku perih dan panas, penglihatanku jadi berbayang, bibirku bergetar dan aku tak lagi bisa menahan tangisku.
Meski, aku masih tidak paham dengan apa yang sedang kurasakan kecuali rasa sakit yang rasanya begitu menyesakkan, aku menangis tanpa perduli sedang di mana diriku.
Aku terisak memegangi ponselku karena balasan "terimakasih ,Sayang." Yang rasanya begitu tak berjiwa.
Di lobi hotel bintang lima, tidak perduli apa yang di pikirkan orang tentangku, aku tersedu sendirian, aku terisak sendirian, aku menangis sendirian.
Aku hanya terus menangis.
Tapi, tidak ada yang berani mendekatiku. Begitupun satpam juga resepsionis yang sudah berganti. Mereka hanya saling menatap, berkata dalam bisu dan aku hanya terus menangis sampai airmataku tidak lagi keluar.
Apa yang sudah kukirim pada suamiku adalah satu kata singkat yang membuatku merasa aku mengizinkannya melukaiku.
Apa yang kukirim pada suamiku adalah satu kata yang membuatku merasa aku mengizinkannya melakukan apa yang sedang ia lakukan dengan wanita yang potretnya selalu membuatku merasa kecil.
Apa yang kutangisi adalah karena aku mengirimkan balasan 'ya' untuk suamiku yang kini sedang bersama wanita itu.
Yang kutangisi adalah karena Aku seorang istri yang memberi izin suaminya untuk berselingkuh.
'Aku bodoh, bukan? aku bodoh sekali, bukan?'
Tapi, apa yang harus kulakukan? saat yang kumiliki hanya suamiku.
Aku adalah anak yang dibuang di tempat sampah saat bayi.
Aku adalah anak yang tumbuh di dalam panti asuhan sampai besar karena tak seorangpun ingin mengadopsiku.
Aku adalah wanita yang tidak diinginkan keluarga suaminya karena statusku tidak jelas.
Aku adalah wanita yang tidak pandai bersosialisasi dengan orang lain.
Aku adalah wanita yang tumbuh dengan berbagi segala hal bersama anak lain yang tinggal bersamaku.
'Tapi, membagi suamiku?'
Aku tak pernah berpikir harus menjalani hidup seperti itu. Tak sekalipun. Karena itu, aku hanya bisa menangis sendiri di lobi hotel yang dinginnya menusuki kulit.
Sementara pandangan dan tatapan baik dari mereka yang hidup ataupun benda mati menilaiku, 'sungguh-sungguh menilai diriku.'
Kupikir, setelah menangis rasaku akan menjadi ringan. Rasa burukku akan menghilang. Tapi, saat tangisku berhenti aku malah seperti orang yang kehilangan tujuan. Meski, setelah sadar suamiku tidak akan pernah kulihat di dalam pintu lift yang terbuka, aku memilih keluar lalu pulang ke rumah. Rumah kami.
Aku masuk ke dalam rumah sepi yang kupandangi dalam bisu.
Tiap sisi yang sudutnya kuhafal terasa asing seketika.
Dan potret itu, potret pernikahan kami seolah mengejekku.
Senyum lelaki yang merangkulku mesra jadi terlihat palsu.
Tanganku yang meraba potret kami rasanya ingin membanting potret yang kupegangi.
Namun, tanganku yang sudah terangkat tinggi turun dengan sendirinya. Dan, aku berjalan masuk ke dalam kamar yang penuh dengan aroma suamiku.
Kuharap saat esok hari datang, apa yang kurasakan ini hanya mimpi buruk yang akan kutertawakan saat bangun.
Namun, aku tak bisa memejamkan mataku sama sekali sampai kuambil obat tidur yang kutelan tanpa rasa.
Tidak butuh waktu lama, aku jatuh dalam buaian mimpi buruk yang membuatku gelisah. Tapi, aku tak bisa bangun.
'Aku tak pernah bangun lagi dari mimpi burukku lalu hidup di dalamnya.'***
Hari masih begitu gelap saat lelaki yang terbangun dengan tangan melingkar di tubuh seorang wanita tanpa busana memilih turun dari ranjang.
Pakaiannya yang tergeletak di sofa ia pakai cepat, tanpa menyadari wanita yang bangun tanpa sehelai benang pun memperhatikan.
"Apa kamu harus pulang secepat ini?"
Suara yang terdengar manja itu membuat lelaki yang sedang mengancingkan kemejanya menoleh.
"Ya."
Jawaban singkat itu membuat wajah cantik nan menggoda sang wanita berubah, "apa kamu akan terus seperti ini. Pergi setelah kamu puas memakaiku lalu meninggalkanku sendiri?"
"Jangan berkata seperti itu, Nggit, aku sudah merasa cukup bersalah karena tak bisa berhenti menginginkanmu dan kita berakhir seperti ini."
"Kalau begitu ceraikan istrimu. Semua orang tau kau mencintaiku, Ken."
"Tapi istriku tidak tau, dan akan selamanya seperti itu."
"Selamanya!? kau bilang selamanya kita akan terjebak seperti ini? jika kau berpikir aku mau, maka kau sudah kehilangan akal sehatmu, Ken!"
"Kau yang memulai semua ini Anggita dan aku yang kalah dengan nafsuku."
"Apa kau menyesal?"
Ken tidak menjawab, ia menarik nafasnya dalam lalu mendekat pada Anggita yang wajahnya siap menangis.
"Jika rasa bersalahku lebih besar dari nafsuku. Aku tak akan berahir di sini semalaman menyentuhmu, Nggit."
"Kau curang, Ken, curang sekali," ucap Anggita memeluk tubuh Ken.
"Ken, katakan padaku dengan jujur, apa kau pernah mencintai istrimu?"
Ken diam beberapa lama lalu memeluk erat wanita yang tubuhnya dipenuhi dengan kissmark yang ia tinggalkan, "aku selalu berusaha mencintainya, Nggit. Setiap hari. Setiap waktu. Aku selalu berusaha."
Anggita menatap wajah Ken, tidak ada kebohongan di sana, "kalau begitu tetaplah seperti itu, karena hatimu hanya boleh untukku. Hanya untuk aku."
Ding!
Lelaki yang akhirnya muncul saat lift terbuka itu menatap sofa di lobi ketika ia melakukan check out. Aroma parfum yang rasanya samar tercium di hidung, membuat manik hitamnya berkeliling. Matanya mengawasi tiap sudut ruangan dengan dada berdetak kencang.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?"
Ramah resepsionis bertanya pada Ken yang akhirnya fokus kembali. Mulutnya yang terbuka tertutup lagi, ia menelan tanya pada wajah terlatih yang meski terjadi sesuatu akan bersikap tenang.
"Tidak mungkin."
"Maaf, Pak?"
Ken menatap resepsionis yang heran, "bukan apa-apa, tolong kirim paket breakfast untuk kamar saya. Tidak perlu mengetuk pintu, teman saya pasti masih tidur."
"Baik, Pak." Jawab resepsionis yang menunduk saat Ken berjalan meninggalkan lobi, lelaki yang meninggalkan temannya dalam keadaan telanjang dan di penuhi kissmark. Sedang di jari manisnya sendiri melingkar cincin pernikahan yang berkilau setiap terkena cahaya lampu.
Pintu lobi yang terbuka, tidak hanya untuk Ken.
Di saat yang sama, lelaki berperawakan tinggi dengan barisan gigi rapi memberinya senyum ramah juga anggukan. Sementara Ken hanya mengangguk tanpa senyum.
"Apa kau kira lelaki itu yang ditangisi wanita tadi?"
"Yang mana?"
"Huh, jangan pura-pura lupa. Kau ingatkan, wanita yang di gosipkan anak-anak sejak siang tadi."
"Aku hanya bersyukur wanita itu keluar tanpa membuat masalah untuk kita."
"Kau juga berpikir ia akan mengamuk dan mencari suaminya?"
"Siapa yang tidak? Ia selalu melihat pintu lift yang berbunyi, tapi ujung-ujungnya menangis lalu pergi dengan wajah kalah."
"Hush!"
"Apa sih?"
"Saya tidak tahu kalian terlihat begitu hidup saat bergosip ria. Tapi, bisakah lakukan itu setelah jam kerja kalian usai?"
"Pa--Pak Arga!?"
"Ma--maaf, Pak."
Yang di panggil pak hanya mengangkat tangan dengan senyum yang menunjukan barisan gigi rapi.
Sementara Arga tidak perduli pada pipi-pipi bersemu setelah melihat pesonanya. Dan, ditatapnya sofa dingin yang membisu.
"Apa gadis itu sudah pulang?" ucap Arga begitu pelan lalu berjalan memasuki lift yang tertutup rapat di dini hari yang melelahkan.*
Bab awal, lanjut ya ❤️
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Rubby sudah merasakan berbagai jenis cinta, sekaligus berbagai jenis ranjang dan desahan, namun akhirnya dia tersudut pada sebuah cinta buta dan tuli yang menjungkir balikkan kewarasan dia, meski itu artinya... TABU, karena seseorang yang dia cintai, adalah sesorang yang tidak seharusnya dia kejar. Ruby hanyalah gadis di pertengahan tiga puluh tahun. Meski begitu, tubuhnya masih terawat dengan baik. Pinggangnya masih ramping tersambung oleh lengkungan indah pinggul yang tidak berlebihan meski kentara jelas.
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
Kaluna Evelyn sudah menikah Dengan Eric Alexander Bramastyo selama kurang lebih 10 tahun. Namun, Eric sama sekali tidak mencintai Luna. Ia memiliki kebiasaan yang sering bergonta-ganti wanita. Itulah yang menyebabkan Luna semakin sakit hati, namun ia tidak bisa bercerai dengan Eric karena perjanjian kedua keluarga. Ditengah keterpurukannya, ia mengalihkan rasa sakit hatinya kepada minuman keras. Dan disaat, ia mabuk, ia melakukan kesalahan dengan tidur bersama ayah mertuanya sendiri. Seorang pria dewasa bernama Brian Edison Bramastyo. Yang tidak lain dan tidak bukan, adalah ayah dari Eric sendiri. Brian yang berstatus duda, tidak bisa berkutik ketika Luna mulai menggodanya karena pengaruh minuman keras. Dan setelah kesalahan di malam itu, Luna dan sang papa mertua saling mengulangi kesalahan nikmat yang sama. Brian yang mampu memberikan nafkah batin pada Luna, harus menahan rasa perih karena mengkhianati putranya sendiri, dan menjadi tidak bermoral karena bermain gila dengan sang menantu. Namun apa boleh buat, semua sudah terlanjur dan mereka berdua sama-sama kesepian. Hubungan mereka tetap berlanjut, hingga akhirnya Eric mengetahui hubungan mereka dan menceraikan Luna. Namun, beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa alasan Eric menceraikan Luna adalah dia sudah menghamili kekasihnya, yang bernama Bianca. Mereka menjalani hidup masing-masing. Eric pergi jauh dari kehidupan Brian dan Luna. Brian dan Luna pun memilih untuk bersama.
Pernikahan tiga tahun tidak meninggalkan apa pun selain keputusasaan. Dia dipaksa untuk menandatangani perjanjian perceraian saat dia hamil. Penyesalan memenuhi hatinya saat dia menyaksikan betapa kejamnya pria itu. Tidak sampai dia pergi, barulah pria itu menyadari bahwa sang wanita adalah orang yang benar-benar dia cintai. Tidak ada cara mudah untuk menyembuhkan patah hati, jadi dia memutuskan untuk menghujaninya dengan cinta tanpa batas.