Kak Mirna menatapku lekat, tampak ia tersenyum sinis ke arahku. Dia memang sudah memperingatkan untuk tidak melanjutkan hubungan dengan Bang Dion yang kukenal di kampung kami, ketika lelaki berwajah manis tersebut bersama teman-temannya melakukan kegiatan KKN enam bulan yang lalu. Hanya saja Bang Dion selalu menyemangati dan menguatkan, ia berkata akan memperjuangkan hubungan kami. Aku percaya padanya.
"Tapi, Pa ... Dion cinta sama Mila. Dion berniat serius dengannya!" tegas suara Bang Dion.
"Sudah kakak bilang, 'kan? Kamu gak mau denger, sih!" bisik Kak Mirna dengan suara gemas.
Mataku terasa panas. Begitu juga dada ini, terasa bergemuruh kencang.
"Cinta ... cinta! Tahu apa kamu soal cinta, heh? Selama ini gak pernah bawa perempuan jalan! Balik KKN malah minta kawin! Kuliah kamu aja belum selesai!"
Suara berat yang tadinya datar itu berubah jadi bentakan keras.
"Pa ... sabar, Pa ...." Itu suara Bu Rosa, mamanya Bang Dion.
"Mama lihat anak kesayangan Mama ini! Kenapa jadi pembangkang begini?"
"Pa, please ... selama ini Dion selalu menuruti keinginan Papa dan Mama. Kali ini Dion hanya minta Papa sama Mama ngertiin perasaan Dion. Dion mau menikah dengan Mila segera. Dan Dion sudah melamarnya." Lelakiku masih terus membujuk orang tuanya.
"Gini aja, Nak. Selesaikan dulu kuliah kamu. Soal nikah nanti kita bicarakan lagi," kata Bu Rosa lembut.
"Gak bisa, Ma. Dion harus nikahin Mila bulan ini!" bantah lelakiku.
Tentu saja. Kamu sudah janji sama ayah, Bang. Debaran jantungku semakin kencang.
"Kamu ini kenapa, hah?! Kebelet kawin banget!" sergah Pak Herlan.
Hening ....
"Mmm ... Mila ... Mila hamil ...," lirih suara Bang Dion di sana.
Mataku yang sudah terasa basah membulat sempurna. Begitu juga Kak Mirna. Dia menatapku tajam. "Yang bener, Mila?!" desisnya.
Bulir air yang dari tadi menggantung di pelupuk mata pun mengalir.
"Mi–la ...?" Kak Mirna kembali melafalkan namaku dengan tatapan tajam penuh tanda tanya.
Dengan refleks kepalaku pun menggeleng ... pelan.
Di dalam sana kembali hening.
Plak!
Tiba-tiba terdengar suara tamparan keras.
"Anak kurang ajar!"
Bunyi derap langkah mendekat.
"Perempuan murahan!" Suara Pak Herlan menggelegar, beliau kini telah berdiri di hadapan kami sambil menatap nanar. Wajah itu tampak memerah karena emosi.
Aku dan Kak Mirna spontan bangkit dari duduk. Lututku terasa gemetar, lemas.
"Pa, ini salah Dion. Bukan Mila." Bang Dion menyusul papanya. Begitu juga Bu Rosa yang langsung menahan lengan sang suami yang ingin melangkah maju mendekatiku.
"Kamu sengaja 'kan, menggoda anak saya? Berjilbab hanya kedok saja! Padahal murahan!" cerca bapak tua itu. Hatiku perih mendengarnya.
"Sa–saya ... ti–tidak ...." Lidahku terasa kelu, bingung mau menjawab apa.
"Kamu mau apa? Uang?" cecar Pak Herlan, "jawab!" bentaknya.
Aku berjenggit, terkejut.
"Oooh ... cukup ... cukup ... kita pulang, Mila!" Kak Mirna menyentak lenganku dan langsung menyeretku keluar dari ruangan itu.
"Mila! Tunggu!" teriak Bang Dion.
Aku dan Kak Mirna menghentikan langkah yang hampir melewati teras rumah besar tersebut. Lelaki itu lalu melangkah hendak menyusul kami.
"Dion!"
Kulihat Bang Dion menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
"Selangkah kamu keluar dari rumah ini ... jangan pernah kamu kembali lagi dan jangan anggap papa sebagai orang tua kamu lagi." Suara itu terdengar datar, tapi jelas ada tekanan ketegasan di sana.
Tampak Bang Dion menunduk dan terdiam. Dia terlihat rapuh.
"Yuk!" Kak Mirna kembali menarik tanganku, kami pun semakin menjauh.
Air mataku mengalir deras. Kaki ini tersaruk-saruk diseret Kak Mirna. Tak terasa aku sudah di dalam sebuah angkot. Tak kupedulikan pandangan orang-orang yang mungkin heran menatap.
.
.
____________________