Udara dipenuhi asap yang tebal dan saat Delia berjuang untuk bernapas, penglihatannya mulai kabur. Pikiran tentang mati terbakar mulai memenuhi pikirannya.
Namun, ketika harapannya mulai memudar, terlihat ada seseorang muncul dari balik asap.
Lengan yang kuat mengangkatnya dengan mudah dan suara detak jantung sang penyelamat yang menempel di telinganya membawa kedamaian di tengah semua kekacauan itu.
Tiba-tiba terdengar desisan yang memecah suara-suara kehancuran yang teredam.
Dia tiba-tiba mencium bau yang mengerikan, yaitu bau daging yang terbakar.
Dengan jantung yang berdebar kencang karena ketakutan dan bingung, Delia mengumpulkan kekuatan untuk membuka mata, tetapi dia malah disambut oleh kepulan asap yang menyesakkan dan mengaburkan pandangannya, sehingga membuatnya semakin takut.
Saat dia meraba-raba secara buta di tengah kegelapan, jari-jarinya menyentuh sesuatu yang lengket dan meresahkan. Pria yang menggendongnya itu refleks tersentak, tetapi hanya sebentar saja. Kemudian dia kembali membiarkan tangan Delia berkeliaran sesukanya.
Angin dingin menderu di telinga Delia.
Lambat laun, rasa panas menyengat yang terasa membakar wajahnya mulai hilang.
Dia berjuang membuka kelopak matanya untuk melihat penyelamatnya.
Melalui pandangannya yang kabur karena asap, sekilas dia melihat ada tahi lalat yang khas di dekat mata pria itu, tahi lalat yang membuatnya merasa sangat tak asing.
Saat kesadarannya mulai kabur lagi, Delia mendengar suara lembut menembus angin yang menderu. "Tuan Muda, ambulans sudah tiba. Keluarga Harlan juga sudah naik. Kita harus segera pergi. Lengan Anda memerlukan perawatan yang segera, dan terlebih lagi, hari ini adalah hari pernikahan Nona Harlan. Jika orang-orang melihatnya bersama pria lain, itu akan menjadi gosip."
...
Delia terbangun dari tidurnya di bangsal rumah sakit yang dingin dan hampa.
Terlihat bulan besar di luar menyinari segalanya dengan cahayanya yang suram dan menyeramkan. Ruangan itu diselimuti keheningan, tanpa kehadiran suami barunya.
Luka-lukanya cukup parah; tulang rusuknya retak dan pipi kirinya terluka parah. Dokter telah memperingatkan bahwa tanpa perawatan yang teliti, luka itu dapat meninggalkan bekas luka di wajahnya.
Saat fajar menyingsing, dokter kembali datang untuk memeriksa kondisinya.
Sambil melihat sekeliling ruangan yang kosong, dia bertanya, "Di mana keluargamu?"
Delia menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit. Dia telah mencoba menelepon Alex berkali-kali, tetapi tidak diangkat.
Sambil menghela napas, dokter menyarankan, "Cobalah untuk tidak terlalu banyak bergerak karena dapat memperburuk cederamu. Jika tidak ada seorang pun yang bisa membantumu, aku akan mengatur pengasuh untukmu."
Pada saat itu, seorang perawat muda menimpali, "Bukankah kamu pengantin dari insiden kebakaran yang menjadi berita utama? Apakah suamimu tidak ada di sini bersamamu?"
Kepala perawat mendengar percakapan itu dan kemudian terbatuk untuk memberi isyarat agar rekannya diam. Dia berjalan mendekat dan bergumam, "Dia sedang mengurus orang lain di atas."
Mata perawat muda itu terbelalak tak percaya. "Apa? Tangan perempuan itu hanya tergores sedikit!"
Kondisi Delia yang sekarang sangat membutuhkan orang untuk membantunya.
Kepala perawat menggelengkan kepala. "Di atas ada segerombolan orang yang mengurusnya. Sungguh tidak adil, 'kan?"
Pada saat ini, Delia merasa sangat malu dan putus asa. Dia yang duduk di tepi ranjang rumah sakit, merasakan darahnya seolah-olah berubah menjadi es dan tubuhnya menggigil.
Sambil bersandar ke dinding untuk menopang diri, dia berjalan ke lantai atas menuju bangsal pasien yang eksklusif.
Langkahnya terhenti di ambang pintu, dia melihat pria yang telah dicintainya selama sepuluh tahun itu sedang menyuapi adik perempuan tirinya, Jelita. Mereka saling bertatapan dan hubungan di antara mereka terlihat jelas.
Ibu tirinya, Kartika Ramanda, menutup mulut dengan tangan dan matanya berkaca-kaca. "Suamiku, mungkinkah ini karma? Apakah kesalahanku di masa lalu yang menghantui putri kita sekarang?"
Kaden Harlan, ayah kandung Delia yang merupakan suami Kartika, dengan lembut menyentuh bahu Kartika untuk menghiburnya. "Tidak, ini hanya sekadar kecelakaan yang tidak diharapkan. Ini semua bukan salahmu."
"Ayah! Ini bukan kecelakaan, ini pembunuhan! Kak Delia kesal karena Ayah dan Kak Alex lebih menyayangiku daripada dia. Dia sangat kejam. Pada saat kebakaran terjadi, hanya ada kami berdua dan dia mendorongku. Dia ingin aku mati."
Setelah berkata demikian, Jelita membenamkan diri dalam pelukan Alex, air mata mengalir di pipinya dan dia menangis tersedu-sedu.
Kartika menatap tangan putrinya yang tergores, sebelum mencondongkan tubuh ke Kaden dan mencari kenyamanan dalam pelukannya.
"Suamiku, Jelita mungkin bukan darah dagingmu, tapi dia telah menganggapmu sebagai ayah kandungnya. Siapa yang menyangka cintanya kepadamu malah mendatangkan bencana baginya? Aku sudah mengorbankan banyak hal agar Delia merasa puas, aku bahkan bersumpah untuk tidak punya anak lagi setelah menikah denganmu. Tapi tampaknya tidak ada yang dapat memuaskannya. Apa lagi yang diinginkannya dariku? Dia bisa mengambil apa saja dariku, bahkan hidupku, kalau itu yang dia mau! Tapi kenapa Jelita yang harus menderita? Dia tidak melakukan apa pun yang pantas untuk membuatnya mengalami semua ini."
Kartika terisak dengan penuh penderitaan, sampai-sampai orang yang melihat mungkin mengira bahwa Jelita-lah yang mengalami patah tulang rusuk dan terluka di muka.
Delia yang berdiri di luar tanpa sepengetahuan mereka mendengar setiap kata-kata fitnah yang ditujukan padanya.
Hatinya terluka saat menyaksikan kedua pria yang paling dicintainya, ayahnya dan suaminya, mencurahkan perhatian mereka pada Jelita dan tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membelanya.
Hatinya yang sudah rapuh hancur berkeping-keping.
Dengan tubuhnya yang penuh luka, Delia telah bersusah payah berjalan ke sini. Sekarang, dia berjalan kembali ke bangsalnya dengan setiap langkah yang berat dan penuh rasa sakit.
Setelah ibunya meninggal, dia juga telah kehilangan ayahnya.
Suaminya, yang tumbuh besar bersamanya, menyukai orang lain.
Sungguh sebuah pengkhianatan yang kejam.
Ketika hari mulai gelap, Alex akhirnya sampai di bangsal rumah sakit Delia sambil memegang wadah makanan.
Dia berhenti secara tiba-tiba di pintu, raut wajahnya dipenuhi dengan ekspresi jijik, seolah-olah udara di dalam sana membuatnya jijik.
Dia menatap Delia dengan tatapan yang dingin dan jauh.
Delia menegakkan tubuh dengan mengumpulkan seluruh tenaganya, suaranya yang terdengar berat dipenuhi rasa putus asa dan sakit hati. "Aku bersumpah, aku tidak mendorong Jelita. Dia memberitahuku bahwa hadiah pernikahan untukku ada di gudang. Tapi saat kami masuk, api mulai melalap kami dan pintunya terkunci dari luar."
Dengan tatapan dingin dan sedikit ketidaksabaran, Alex bergumam, "Delia, berhentilah berdalih. Tidak ada gunanya berpura-pura lagi. Kamu selalu membenci Jelita karena dia mendapatkan kasih sayang semua orang, tapi kamu tega menyabotase hari pernikahan kita dengan niat jahat seperti itu. Aku tidak pernah menyangka kamu sekejam ini!"