/0/16962/coverbig.jpg?v=20240211151509)
Aku gemuk, gak cantik dan doyan makan. Mau bagaimana pun orang menilai, aku ya aku. Aku percaya diri denga keadaanku. Sampai aku mengenal jatuh cinta.
Aku gemuk, gak cantik dan doyan makan. Mau bagaimana pun orang menilai, aku ya aku. Aku percaya diri denga keadaanku. Sampai aku mengenal jatuh cinta.
Jilbab? cek! Baju? Cek! Semua? Cek! Aku memang gak punya banyak pakaian buat ganti setiap hari, tapi, apa itu penting?
Yang penting aku bisa pergi kuliah dan main setelahnya. Plis. Gak ada yang lebih bagus dari itu.
By the way. Namaku Rima. Gak tahu apa arti namaku itu. Yang jelas, aku tahu kalau aku ditakdirkan gak bisa kurus, tapi punya tingkat percaya diri yang wahidun.
Sekarang umurku delapan belas. Baru aja aku memasuki dunia perkuliahan dan ya Allah, semua terasa kaya main-main.
Baju warna-warni, tangan pegang laptop, padahal punya tas segede Bagong dan sepatu pun yang aestetic punya. Ya walau aku tahu sepatu ini gak akan aku ganti sebelum rusak.
"Hai, Gendut?" Emh emh. Pagi-pagi, ada aja yang manggil sembarangan. Padahal jelas banget namaku Rima. Rima aja. Gak pake embel-embel kata lain sepanjang tembok besar Cina. Eh, dia malah milih manggil gendut.
Siapa lagi kalau bukan Bagaskara. Cowok terkece tapi gak tahu kenapa bikin aku males deket ama dia.
Dia emang gak bau, sebau-baunya dia, masih bau ketek aku yang mandi pake bilas tiga kali. Mukanya juga gak jelek. Mirip banget sama Bang Chan Stray Kids malah. Tapi ya gitu, gak suka aja dia ada di deketku, apa lagi pake manggil gendut.
Duh. Buruan lari, deh sebelum dia mendekat. Dia tuh seneng banget ngintilin aku ke mana-mana. Udah kaya lintah, woy.
"Sombong amat!" Nah, kan. Ngedeket dia. "Lagian buru-buru banget, sih. Kan jam pertama masih setengah jam lagi."
Aku berbalik dan menggembungkan pipiku yang emang dasarnya udah gembung. Eh dia malah jerit kaya banci dan bikin aku keki.
"Gemes banget pipinya. Pipinya siapa ini? Ututututu!"
"Aaaah! Tolong! Aku dilecehkan!" Jerit dong aku. Abis risi banget. Pipiku sampe dicubit-cubit. Emang dia pikir aku apa? Lap pel kena najis, sampe dicubitin?
Eh dia malah ketawa. "Yuk masuk kelas!" Nah, nah, nah! Tanganku dibawa, dong. Ngapain, sih?
Singkat kata, kita berdua masuk deh di kelas, dan ....
"Happy birthday to you ... Happy birthday to you ... Happy birthday dear Rima ...."
Gua bengong. "Tunggu! Tunggu! Tunggu!" Gerakan tangan aku mencoba menghentikan segala ucapan dan nyanyian di sekitarku. "Yang ulang tahun siapa?"
Semua saling tatap. "Ya elu, Rim. Siapa lagi?" tanya balik si Yoga, anak Betawi asli.
"Ya Allah!" Gua menengok dan melihat Bagaskara sudah berjingkat mencoba melarikan diri. "Bagas! Kamu nih pasti yang bikin prank!"
Bagas lari aja ngiterin ruangan. Ini kekanakan banget gak sih? Atau inerchild Bagas emang jenis yang suka prank gak jelas macam ini, ya?
Untungnya aku gak kuat lari. Bagas udah sampai sudut ruangan, aku udah basah ama keringat.
"Gas?"
"Apa?"
"Sim salabim. Kamu aku kutuk jadi tomat!" Nah kan. Error otakku kalau udah capek.
Bagas terus ketawa. Dia ngedeketin aku dan kasih tisu buat aku seka keringet. "Duduk dulu, Rim. Duduk dulu." Terus dia duduk berlutut di kaki aku. Emang aneh anak ini. Kelakuannya itu loh, bikin semua manusia di ruang kelas kami pada histeris. Terus dia ngambil tisu di tanganku, dia kepel-kepel terus dia tiup dan ....
Ilang.
Tapi aku gak terkejut. Terakhir kali dia kaya gitu, tisunya emang dia telen biar ilang beneran. Aneh gak sih ni anak?
"Cabut, ah!"
"Loh, kok? Loh, kok?"
"Berhenti ikutin aku, Bagas!"
Situasi jadi tegang dan Bagas seperti salah tingkah sendiri. "Rim, jangan marah, dong!"
Terus langkah aku berhenti, badan berputar dan berkata, "Gas?"
"Ya?"
"Cari kursi, dosennya masuk!"
Buru-buru kami lari. Gara-gara Bagas, kami sampai lupa kalau jam pertama bakal dimulai dan dosen kami ini yang paling killer di antara seluruh dosen.
Namanya Pak Amir. Dari awal perkuliahan, dia udah bikin tiga peraturannya. Gak boleh absen, gak boleh ribut dan gak boleh nyontek waktu ujian mata kuliah dia. Kalau salah satu atau semuanya dilanggar, ya udah, D nilainya. Mana ini mata kuliah penting.
Tapi, aku sih gak ada masalah, tuh. Pak Amir ini dosen muda yang ciamik. Pinter ngejelasin, punya rangkuman berbagai buku yang menurutku paling masuk akal dan juga dia ngajar hukum kesehatan. Mata kuliah yang bikin melek hukum apa lagi di jurusanku.
Yang jelas dia cakep.
"Rima!" Pak Amir melirik ke mata aku yang masih seger banget pagi itu. "Coba terangkan, bagian mana dari proses menuju operasi yang akan menyelamatkan petugas medis saat operasi gagal?"
Wah. Gak ada di buku, nih. Aku harus memutat otak yang jelas bikin aku kelihatan cengok.
Berpikir, Rim. Berpikir. Lalu ....
"Kalau tak salah, ada yang namanya hitam di atas putih yang harus ditanda tangani pasien."
Pak Amir menyipitkan mata dan mendekatiku. "Hitam di atas putih? Maksudnya?"
Aku yang grogi sama tatapan itu mulai keringat dingin. "Maksudnya, seperti surat pernyataan bahwa pasien dan keluarga pasien bersedia menerima segala proses operasi. Seperti membiarkan petugas medis melakukan proses medis apa pun yang akan dijalani pasien."
"Cukup." Pak Amir menghentikan ucapanku dan berbalik menatap semua muridnya. "Beri tepuk tangan pada Rima."
Deuh. Kagak penting amat, yak? Tapi gak apa, lah. Itung-itung cari muka.
Lalu waktu berlalu. Seluruh perkuliahan selesai di jam tiga sore. Jadi, ya. Yang belum pernah tahu rasanya kuliah. Kuliah dilakukan gak harus dua belas jam nonstop. Tapi mata kuliah itu disesuaikan dengan ketetapan pihak jurusan dan dosen. Jadi kadang ada yang sehari cuma tiga mata kuliah, ada yang cuma satu. Paling padet ya kuliah semester pertama. Katanya.
Terus, pas aku pulang, lagi enak-enaknya jalan, eh dari belakang ada motor ngebut banget sampe pas ngerem harus ada adegan ngejungkel. Aku loh sport jantung sampai bertanya-tanya siapa yang seedan itu kalau naik motor?
Belum lagi si pengendara pake bangun. Dia ngedeketin aku dengan jalan terpincang dan buka helemnya.
"Astagfirullah! Bagas? Kamu ngapain slebor gitu naek motornya?"
Bagas menyeringai. Udah sarap agaknya dia.
"Aku nyari kamu ke mana-mana. Aku udah duga kamu pulang lewat jalan ini."
Aku mengela napas. "Kan gak harus seslebor itu naek motornya."
Tiba-tiba Bagas berlutut. Dia memberikan sekuntum bunga yang tangkainya patah dan berkata. "Rim, pacaran, yuk!"
Udah gila!
"Apaan, si Gas? Aku itu gak mau pacaran dulu. Aku mau sekolah yang bener, Gas."
Bagas gak peduli. "Kan kita udah kuliah, Rim. Gak sekolah lagi." Tuh, bego kan dia? Abis ngejungkel, sih.
Aku tinggal aja, lah. Dari pada ikutan stres. Dan langkahku pun terayun sampai ....
"Cewek gendut sok cantik! Kamu pikir ada yang suka sama kamu kecuali aku? Rim! Kamu tuh harusnya nerima aku. Kamu tuh gak seharusnya bersikap sesombong itu dengan ngacuhin aku!"
Aku syok banget. Kok dia jadi maki-maki? Kan yang gak mau juga aku. Lagian, emang kenapa kalau aku gendut? Apa aku gak punya hak buat mutusin siapa yang bakal aku cintai?
"Rima gendut! Mencret kamu di jalan!"
Gak tahu kenapa, rasanya gak enak banget disumpahin gitu. Aku meneteskan air mata dan mencoba mempercepat langkah, sampai aku gak lagi bisa mendengar teriakan Bagas.
Dua tahun lalu, Nina menikah dengan pria yang belum pernah ditemuinya. Dia tidak tahu namanya atau usianya; dia tidak tahu apa-apa tentang orang yang dinikahinya ini. Pernikahan mereka tidak lebih dari sebuah kontrak dengan kondisi, dan salah satu klausulnya adalah bahwa dia tidak boleh tidur dengan pria lain. Namun, Nina kehilangan keperawanannya kepada orang asing ketika dia mengetuk pintu yang salah pada suatu malam. Dengan kompensasi yang harus dia bayar membebaninya, dia memutuskan untuk membuat perjanjian perceraian sendiri. Ketika dia akhirnya bertemu suaminya untuk menyerahkan surat-surat itu, dia terkejut menemukan bahwa suaminya tidak lain adalah pria yang telah "selingkuh" dengannya!
Bagi yang belum cukup umur, DILARANG KERAS Membaca Cerita ini, karena banyak sekali adegan Dewasa. Mohon Bijak Dalam Membaca.⚠️ Menceritakan seorang anak muda, yang terjerumus kedalam lubang hitam, hingga akhirnya, pemuda tampan kecanduan seks dengan Guru dan keluarganya sendiri.
"Bagaimana mungkin seorang dokter spesialis kesuburan justru mandul?!" Felicia Hera adalah seorang dokter yang sudah berhenti bekerja semenjak menikah dan fokus mengabdi kepada suaminya. Namun, Felicia tidak kunjung dapat memberikan anak hingga suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Dia bahkan menceraikan Felicia. Pada saat yang sama, Felicia kembali meniti karir kedokterannya dan pasien pertamanya justru mengajak Felicia untuk berhubungan demi membuktikan kesuburan Felicia. Hingga tepat setelah melakukannya, Felicia menghilang. Lima tahun kemudian, Felicia kembali ke tanah air membawa seorang anak perempuan yang cantik jelita. Hingga masalah datang saat ternyata direktur di rumah sakit barunya adalah ayah dari anaknya! Bagaimana Felicia menyembunyikan identitasnya? Tahukah dia, bahwa pria dingin itu telah memburu Felicia selama lima tahun terakhir?
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Evelin menikahi Sandi, seorang dokter kandungan, pada usia 24 tahun. Dua tahun kemudian, ketika dia hamil lima bulan, Sandi menggugurkan bayinya dan menceraikannya. Selama masa-masa kelam inilah Evelin bertemu Dhani. Dia memperlakukannya dengan lembut dan memberinya kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pria itu juga menyebabkan rasa sakit terhebat yang pernah dia alami. Evelin hanya tumbuh lebih kuat setelah semua yang dialaminya, tetapi apakah dia dapat menanggung kebenaran ketika akhirnya terungkap? Siapa Dhani di balik topeng karismatiknya? Dan apa yang akan dilakukan Evelin begitu dia menemukan jawabannya?
© 2018-now Bakisah
TOP