/0/4406/coverbig.jpg?v=58c06b9e512d4cbaa7ff6f716c071fa7)
Evelin menikahi Sandi, seorang dokter kandungan, pada usia 24 tahun. Dua tahun kemudian, ketika dia hamil lima bulan, Sandi menggugurkan bayinya dan menceraikannya. Selama masa-masa kelam inilah Evelin bertemu Dhani. Dia memperlakukannya dengan lembut dan memberinya kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pria itu juga menyebabkan rasa sakit terhebat yang pernah dia alami. Evelin hanya tumbuh lebih kuat setelah semua yang dialaminya, tetapi apakah dia dapat menanggung kebenaran ketika akhirnya terungkap? Siapa Dhani di balik topeng karismatiknya? Dan apa yang akan dilakukan Evelin begitu dia menemukan jawabannya?
Aku menatap diriku di cermin, memutar bola mataku. Tak bisa dipercaya bahwa aku akan berpakaian terbuka seperti ini, tapi aku tidak punya pilihan lain.
Sandi Harahap dan aku telah menikah selama dua tahun. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Pria itu jarang sekali mengajakku berhubungan intim. Jika aku tidak berinisiatif merayunya duluan, aku khawatir akan kehilangan dirinya. Jadi, aku memutuskan untuk tampil habis-habisan malam ini.
Beberapa detik kemudian, aku mendengar suara di luar pintu.
Aku melepas mantelku dan berjalan keluar dari ruangan memakai sebuah gaun slip berwarna merah.
"Sayang, aku sangat merindukanmu!" Aku merangkulkan tanganku di lehernya dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirnya.
Sandi mendorongku, memerhatikanku dari ujung rambut sampai kaki. Aku bisa melihat bahwa dia terpana selama beberapa saat.
Sejujurnya, aku merasa senang, berpikir bahwa dia menyukaiku memakai pakaian seperti ini.
"Kenapa kamu berpakaian seperti itu?" tanyanya, sambil berjalan menghampiri sofa.
"Apa kamu ingat ini hari apa?" tanyaku, duduk di sebelahnya, berharap bahwa dia tahu jawabannya.
Sandi terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, "Memangnya, hari apa ini?"
Kekecewaan menusuk hatiku, tapi aku tetap berusaha untuk tersenyum.
"Tidak ada yang spesial. Aku hanya bercanda." Aku melemparkan diriku ke dalam pelukannya, menyelipkan tanganku di bawah kemejanya dan mengelus-elus dadanya. "Apakah kamu mau mandi, sayang? Aku akan menyiapkan airnya."
"Tidak perlu. Jika tak ada hal lain yang ingin kamu katakan, aku akan kembali ke ruang kerja dan beristirahat sebentar."
Dia mendorongku menjauh dan berjalan kembali ke ruang kerjanya.
Aku masih duduk di sofa, mengepalkan tinju sampai ujung-ujung kuku jariku terasa menusuk telapak tanganku.
Sejak aku hamil, dia pindah dan tinggal di ruang kerjanya, mengatakan alasan karena tidak ingin melukai bayi ini atau semacamnya.
Umurku baru dua puluh enam tahun. Aku sudah menikah dan sedang hamil, tapi aku harus tidur sendiri setiap malam. Akhir-akhir ini, aku merasa sangat kesepian dan hidupku terasa menderita.
Aku pernah bertanya secara daring di forum-forum tertentu. Ada salah satu komentar yang menarik perhatianku. Seseorang mengatakan bahwa suamiku tak bernafsu lagi mungkin karena dirinya sudah terlalu banyak melihat tubuh wanita lain.
Ini masuk akal, karena Sandi adalah seorang dokter kandungan.
Tapi ada satu detail kecil yang terus mengganggu pikiranku.
Setiap kali berada di dalam ruang kerjanya, dia selalu mengunci pintunya. Tidak ada orang lain di rumah ini, jadi tidak perlu mengunci pintu seperti itu. Semua ini sungguh tak masuk akal! Dan membuatku bertanya-tanya apakah dia menyembunyikan sesuatu.
Aku sudah berpikir keras tentang hal ini selama beberapa hari, dan justru membuatku semakin khawatir. Aku merasa sangat terganggu sehingga mulai memengaruhi kehidupan sehari-hariku.
Tak ingin menebak-nebak lagi, akhirnya tadi sore aku memasang penyadap di bawah tempat tidurnya.
Setelah kembali ke kamar, aku memasang alat pendengar di telingaku.
Setelah mendapatkan akses ke alat penyadapnya, aku mendengar dengan jelas suara erangan dan napas yang terengah-engah. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku, mataku mulai berkaca-kaca.
Dia lebih suka melakukannya sendiri dibandingkan berhubungan langsung denganku?
Tapi, yang aku dengar berikutnya membuatku lebih hancur dan putus asa.
"Apakah itu terasa enak?"
"Hm... belum. Belum."
"Kamu bilang belum, sayang, tapi kamu sudah sangat basah."
"Kamu... Jika kamu tahu jawabannya selama ini, jadi untuk apa... kamu bertanya? Hentikan. Jangan. Rasanya tidak enak. Ah! Aku ingin kamu di dalam diriku, sayang!"
"Lepaskan celana dalamku. Cepatlah! Lepaskan dan aku akan memberimu sesuatu yang enak untuk dimakan."
Aku hanya terdiam saat mendengarnya.
Kata-kata yang mereka ucapkan terus bergema di telingaku. Aku merasa seseorang telah menyiramkan seember air es di atas kepalaku. Semua anggota badan dan tulangku mati rasa dan membeku.
"Ah! Pelan sedikit, Sandi. Pelan-pelan!"
"Kamu memelukku terlalu erat. Kecilkan suaramu. Seseorang bisa mendengar kita dari luar," jawabnya.
"Apakah kamu khawatir istrimu akan mendengar kita, Sandi?"
"Tidak. Aku tidak takut padanya. Dia seperti ikan mati di tempat tidur. Tidur dengannya sangat membosankan. Aku hanya ingin dia tahu betapa bahagianya aku saat ini. Mengeranglah lebih keras, agar dia bisa mendengar betapa nikmatnya berhubungan denganku!" Sandi mengerang.
Ternyata dia memang selalu membenciku.
"Tidak! Kamu sangat menyebalkan. Dia sedang hamil sekarang. Apa kamu tidak khawatir dia marah dan stres jika mengetahui bahwa kamu berselingkuh lalu akhirnya keguguran?"
"Keguguran, ya? Hmm... Kedengarannya seperti ide yang bagus," jawab Sandi.
"Kamu jahat sekali, Sandi! Tunggu sebentar! Pelan-pelan sedikit."
Mereka saling menikmati tubuh masing-masing, sama sekali tidak berusaha untuk menyembunyikan emosi mereka. Aku bisa membayangkan betapa liarnya mereka.
Aku menutup mulutku, cukup keras untuk mencegah diriku menangis sekencang-kencangnya. Tapi tetap tidak berhasil menghentikanku agar tak menangis.
Setiap kata dan desahan suamiku terasa seperti belati, yang menusuk ke dalam jantungku. Aku merasa sangat sakit dan menderita, sampai tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain menangis diam-diam. Beberapa saat kemudian, bantalku sudah penuh dengan air mata.
Aku tak sanggup lagi mendengarkan pengkhianatan mereka, kulepaskan alat pendengar itu, memeluk kakiku, dan meringkuk seperti sebuah bola.
Malam itu, aku meneteskan air mata yang tak terhitung jumlahnya. Itu adalah malam paling meresahkan yang pernah kualami seumur hidup.
Aku merasa gelisah sepanjang malam, dan hanya berputar-putar di atas tempat tidur.
Tapi meskipun semua bukti mengarah pada kebenaran ini, aku masih tak percaya bahwa ada seorang wanita di dalam ruang kerja, karena tidak ada tempat untuk menyembunyikan seseorang di sana. Satu-satunya kemungkinan yang terpikirkan olehku hanyalah mungkin dia melakukannya melalui panggilan video dengan wanita lain.
Aku menyesal hanya memasang penyadap, bukan sebuah kamera kecil. Seharusnya, aku memasang kamera di sana.
Setelah semalaman berpikir keras dan penuh dendam, perlahan-lahan, aku mulai merasa lebih tenang. Kemudian, aku memutuskan untuk masuk ke dalam ruang kerja itu, mencari lebih banyak petunjuk.
“Aduh!!!” Ririn memekik merasakan beban yang amat berat menimpa tubuhnya. Kami berdua ambruk dia dengan posisi terlentang, aku menindihnya dan dada kami saling menempel erat. Sejenak mata kami bertemu, dadanya terasa kenyal mengganjal dadaku, wajahnya memerah nafasnya memburu, aku merasakan adikku mengeras di balik celana panjang ku, tiba-tiba dia mendesah. “Ahhh, Randy masukin aja!” pekik Ririn.
"Usir wanita ini keluar!" "Lempar wanita ini ke laut!" Saat dia tidak mengetahui identitas Dewi Nayaka yang sebenarnya, Kusuma Hadi mengabaikan wanita tersebut. Sekretaris Kusuma mengingatkan"Tuan Hadi, wanita itu adalah istri Anda,". Mendengar hal itu, Kusuma memberinya tatapan dingin dan mengeluh, "Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?" Sejak saat itu, Kusuma sangat memanjakannya. Semua orang tidak menyangka bahwa mereka akan bercerai.
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
Maya dan Adrian, serta sahabat mereka Sinta dan Rizky, tampaknya memiliki segalanya: karier yang sukses, rumah yang nyaman, dan kehidupan sosial yang aktif. Namun, di balik fasad kebahagiaan mereka, hubungan mereka masing-masing mengalami ketegangan dan kekosongan yang menyedihkan. Suatu malam, dalam upaya untuk menyegarkan hubungan mereka yang hambar, Maya dan Sinta memutuskan untuk mengusulkan sesuatu yang ekstrem: "fantasi tukar pasangan ranjang." Awalnya, ide ini tampak gila dan di luar batas kenyamanan mereka. Namun, dengan dorongan dan desakan dari pasangan mereka, Maya dan Adrian, serta Sinta dan Rizky, setuju untuk mencoba. Ketika fantasi tersebut menjadi kenyataan, keempatnya merasakan perasaan canggung, kebingungan, dan kecemasan yang tak terduga. Namun, dalam perjalanan mereka melalui pengalaman ini, mereka mulai menggali lebih dalam tentang hubungan mereka, mengungkapkan kebutuhan dan keinginan yang mungkin terlupakan, serta menyembuhkan luka-luka yang telah terbuka dalam pernikahan mereka. Dalam prosesnya, mereka menghadapi konflik, kecemburuan, dan ketidakpastian yang tidak terelakkan. Namun, mereka juga menemukan keintiman yang lebih dalam, pemahaman yang lebih besar tentang satu sama lain, dan kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang hampir putus asa. Novel "Fantasi Tukar Pasangan Ranjang" menawarkan pandangan yang tajam tentang kompleksitas hubungan manusia, dengan sentuhan humor, kehangatan, dan kisah cinta yang penuh dengan emosi. Di tengah fantasi yang menggoda, mereka menemukan keberanian untuk menghadapi kenyataan, menerima kekurangan masing-masing, dan membangun kembali fondasi cinta mereka dengan cara yang lebih kuat dan lebih tulus.