Sally Esteban adalah putri tertua dari Caesar. Dia sendiri memiliki saudara tiri bernama Helena Bonham yang kini berganti nama Esteban. Semua yang dimiliki Sally kini diambil paksa oleh saudara tirinya. Hingga memutuskan mengambil tunangan saudaranya sebagai bentuk balas dendam.
Saat itu terlihat awan mendung menyelimuti kota Batavia, sebuah kota yang terkenal indah namun menyakitkan untuk wanita cantik seperti Sally. Dengan dress merah seperti darah dengan rambut terurai, membuatnya tampak cantik nan anggun.
Setelah menaiki taksi beberapa menit, dia pun sampai di sebuah bar. Lalu mencari pria yang akan menjadi mangsanya. Tidak berselang lama, indra penglihatannya menangkap seorang laki-laki dengan kaos oblong hitam sedang duduk di sebelah mejanya.
Pria tersebut hanya duduk sendiri tanpa seseorang di sisinya, Sally melancarkan aksinya untuk menggoda pria tersebut. Dengan berjalan berlenggak lenggok bak seperti model di atas karpet merah, dia pun mendekati pria itu dengan rayuan.
"Minum?" tanya Sally menyodorkan gelas berisi wine pada pria itu.
Pria tersebut sempat menolak, karena dia baru saja tiba dari Inggris ke kota Batavia.
"Baiklah, sekali tegukan," ucapnya. Membuat Sally mengulas senyum hingga lesung pipinya tampak terlihat.
Setelah berbicara banyak hal, Kenyaman di antara mereka mulai tercipta. Pria yang memiliki julukan pintu kulkas kini mencair seperti api di rawa, oleh kelembutan dan keanggunan wanita bernama Sally yang telah mencuri hatinya.
Beberapa kali dia terbuai ingin menyentuhnya, tetapi tidak segampang yang dipikirkan.
"Lebih bagus jika kamu menggodaku di ranjang," bisik pria itu kepada Sally. Sejenak indra penglihatannya terfokus pada kartu identitas pria yang digoda. Namun siapa sangka dia justru salah sasaran.
Pria itu tak lain adalah Glenn Albert Ston anak termuda dari keluarga Ston. Sally terkejut pria itu bukan David, tentu membuat dirinya kecewa.
Mempersiapkan diri untuk hal-hal memalukan, justru berakhir gagal dengan orang yang salah.
"Permisi, aku ke toilet dulu," ucap Sally mencoba mencari alasan untuk segera meninggalkan pria tersebut.
Glenn mengangguk cepat, tanpa menyadari wanita yang memberi kenyaman padanya akan pergi begitu saja.
Setelah Sally berhasil kabur dari tempat itu, dia kembali menjinjing sepatu hak tingginya. Perlahan nafasnya berhembus pelan, menandakan kelegaan dari balik wajah cantiknya.
Perasaan kacau tentu membuatnya ingin berteriak melepas emosi yang tertahan. Sejak ayahnya membawa seorang wanita simpanan dari rumah yang dimiliki almarhum ibunya. Membuatnya menderita seperti neraka.
"Aaaaah ... dunia memang tidak adil," gumannya menatap jalan sepi yang dia lewati. Teriakan tersebut disambut baik oleh langit, perlahan-lahan rintik hujan mulai terdengar. Membuatnya lekas mencari tempat berteduh. Dress yang dia kenakan terlihat lusuh akibat percikan hujan yang mengenainya.
Dalam kesendiriannya sembari menatap visual hujan. Hingga desiran angin malam bercampur hujan, membuatnya menangis. Entah kerinduan apa yang membuatnya meneteskan air mata.
"Hari ini benar-benar sial! Jika aku tahu akan hujan, seharusnya aku membawa payung atau jaket," celetuknya mengelus kulitnya. Dress yang dia kenakan cukup terbuka, sehingga dingin pun terasa menyakitkan.
Bruk
Lemparan jaket dari belakang membuatnya tersentak kaget. "Mau meninggalkan ku begitu saja, setelah berhasil menarik perhatianku." Glen memberikan jaket miliknya pada wanita yang membuat dia terpesona.
"Ka-kamu? Ngapain disini?" tanya Sally heran dengan wajah pucat pasi.
"Tentu saja mencari seseorang yang menawarkan wine, lalu pergi meninggalkan ku," goda Glenn dengan senyum jahil.
Wanita itu tak menanggapinya, dia terlalu lama terkena angin disertai hujan, membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Samar-samar suara familiar menyapa indra pendengarannya yang hampir menutup mata.
Keesokan harinya, dia terbangun menatap langit-langit kamar dengan dekorasi jaman dulu.
"Di mana aku?" batinnya, sehingga fragmen-fragmen ingatan kemarin malam mulai terlintas.
Setelah mengingat kejadian malam sampai dia pingsan, dia pun turun dari ranjang. Lalu mengambil tas miliknya di atas nakas. Tak lama kemudian dia tersadar saat dirinya menunduk melihat plester kecil menghiasi kakinya.
Akibat berjalan tanpa sepatu hak, membuat kakinya tergores karena batu kerikil tanpa dia sadari.
Kini penciumannya mulai menangkap bau harum dari balik pintu kamar, hingga membuat cacing-cacing kecil di perutnya memberontak ingin di isi.
Aroma yang menggugah selera menuntunnya pada pria yang dia temui kemarin malam.
"Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak?" tanya pria itu dengan sapaan hangat.
"Umm ...." gumam Sally menatap heran pria yang mengenakan kain apron. Pasalnya dia tidak pernah melihat laki-laki di kehidupan nyata menggunakan kain apron kalau bukan di serial drama.
"Duduklah, aku sudah mempersiapkan ini untukmu," ucap Glenn mempersilahkannya duduk. Tanpa ragu dia pun duduk, karena cacing-cacing di perutnya mulai tak sabar.
Sally memakan semua yang telah di persiapkan untuknya tanpa keraguan apa pun. Glenn hanya menatap tanpa menyentuh makanannya, sehingga membuat Sally tersedak.
"Uhuk ... uhuk."
Dengan cepat Glenn menuangkan air putih pada gelas bening di depannya.
"Makanlah pelan-pelan," ucap Glenn terkekeh-kekeh.
Setelah selesai makan, Sally kembali melihat jam yang tergantung di atas dinding.
Jam menunjukkan pukul 11:45 dan itu artinya, dia sudah melewatkan hari di mana peresmian pertunangan antara adiknya dan mantan tunangannya.
"Oh sial?!" umpat Sally bergegas meninggalkan rumah tersebut, karena ingin menghentikan pertunangan antara adiknya dengan David.
Glenn sedari tadi berada di ruang kerja, kembali menyadari bahwa wanita tersebut meninggalkannya tanpa mengatakan apapun padanya.
"Jadi begini caramu. Pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun," gumam Glenn menahan kesal. Pada wanita yang berani meninggalkannya dua kali.
Setelah keluar dari rumah pria yang merawatnya dengan baik, dia kembali menyadari bahwa dirinya pergi tanpa sepatah kata.
"Agh ... seharusnya aku mengucapkan terima kasih padanya," gumamnya di dalam taksi yang dia tumpangi.
Taksi tersebut kembali berhenti di sebuah rumah mewah. Sally mengeluarkan selembar kertas berwarna biru lalu memberikannya pada sopir tersebut.
Dia menghela nafas panjang, seolah menyiapkan keberaniannya untuk memasuki rumah mewah itu. Perlahan-lahan dia pun membuka pintu, mendapati dua kepala keluarga sedang berkumpul.
Terlihat senyum bahagia tanpa dirinya. Tak lama kemudian dua tangan kembali berjabat, seolah-olah kesempatan sudah terjalin.
Sally melihat Helena menggandeng mesra mantan tunangannya. Membuat dadanya terasa sesak. Hingga seorang wanita tua dengan tatapan tak suka menariknya menjauh.
"Untuk apa kamu pulang. Apalagi dengan pakaian seperti pelacur?!" hardiknya sambil menghina Sally.
"Kenapa?! Apa salah aku menginjakkan kaki di sini." Wanita tua itu pun diam membisu.