Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Asmara Cinta Dan Benci
Asmara Cinta Dan Benci

Asmara Cinta Dan Benci

5.0
20 Bab
16 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Cinta Adelia dan Edwin diuji oleh takdir. Adelia berjuang mempertahankan Edwin, sementara ayahnya berusaha memisahkan mereka. Di tengah perjuangan, pengkhianatan dan kesalahpahaman menghancurkan segalanya, mengubah cinta menjadi dendam. "Terlalu cinta membuat kita buta dan bodoh." Edwin Saat Adelia mengira Edwin telah tiada, ia kembali, bukan sebagai pria yang dulu ia kenal, tetapi sebagai sosok yang penuh dendam. Mampukah Adelia menghadapi konsekuensi dari cinta yang telah berubah menjadi benci?

Bab 1 Hadiah Perpisahan

"Wajahku bisa habis kalau kamu terus menatapku begitu," ujar Edwin Tomato, pria tampan berusia 24 tahun, sambil menatap gadis yang berbaring di sampingnya.

Gadis itu terkikik jahil sebelum menyembunyikan wajahnya di dada bidang Edwin, pria yang telah menemaninya selama setahun terakhir. "Hahaha, mana mungkin wajah idola kampus bisa habis hanya karena ditatap?" balasnya, tertawa kecil saat melihat mata cokelat Edwin yang kini memeluknya dengan manja.

"Oh iya, ngomong-ngomong, hari ini adalah hari terakhir ujian kelulusan kita. Apa yang kamu ingin dariku sebagai hadiah perpisahan? Tapi jangan yang mahal ya, aku belum sekaya itu," ucapnya sambil bangun dari tempat tidur.

Hubungan mereka bermula dari rasa penasaran, lalu berujung pada cinta. Layaknya musim gugur yang selalu menghadirkan debaran di hati.

"Kapan aku pernah meminta sesuatu yang mahal? Aku bukan gadis matre, tahu!" protes Adelia Van Odelius, yang seusia dengan Edwin.

Edwin membungkukkan tubuhnya, menatap lembut gadis cantik di hadapannya, lalu berkata, "Aku tidak bilang kamu matre. Aku hanya ingin hadiah kelulusan ini menjadi kenangan terindah bagi kita, tanpa harus mengeluarkan banyak uang."

Sebagai seseorang yang memahami betapa mahalnya biaya hidup di Venezia, Edwin harus bekerja siang dan malam demi mendapatkan ratusan dolar. Berbeda dengan Adelia, yang lahir di tengah kemewahan dan belum sepenuhnya memahami nilai uang yang diperjuangkan Edwin.

"Iya, iya. Kamu selalu berbicara seolah aku tidak pernah merasakan hidup di jalanan," gumam Adelia. "Daripada membahas hadiah, aku lebih ingin kita menghabiskan sisa liburan dengan berkencan."

Edwin melirik ponselnya, memeriksa agendanya hari itu, sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Hmm, baiklah. Kita akan pergi ke mana?"

Senyum Adelia merekah, matanya berbinar penuh antusias. Ia sudah menyiapkan kejutan kecil untuk hari ini.

Beberapa jam setelah mereka bersiap-siap, Adelia masih belum memberi tahu Edwin ke mana mereka akan pergi.

"Adel, kamu masih belum menjawab pertanyaanku. Sebenarnya kita akan pergi ke mana?" tanya Edwin berkali-kali saat mereka berada di dalam mobil sewaan.

"Bawel banget, deh. Toh, nanti kamu juga akan tahu begitu kita sampai. Jadi, cukup duduk diam dan kenakan sabuk pengaman," jawab Adelia dengan senyum jahil, sebelum tiba-tiba menekan pedal gas dengan kuat.

Cara mengemudi Adelia terlihat amatir, membuat Edwin pusing dan mual. Meskipun ia berasal dari keluarga kaya, Adelia tidak memiliki banyak kesempatan untuk belajar menyetir seperti gadis lainnya.

"Ugh... Adel, kamu benar-benar berniat membunuhku?" keluh Edwin sambil memuntahkan isi perutnya begitu mereka berhenti di sebuah pantai.

"Tahu begini, aku tidak akan membiarkanmu menyetir. Bisa-bisa banyak korban nanti," gerutunya masih merasa pusing, sementara Adelia justru terdiam, mengalihkan pandangannya ke hamparan pasir putih di hadapannya.

Melihat tatapan Adelia yang begitu terpukau oleh pemandangan pantai, Edwin menyadari sesuatu. Di balik matanya yang jernih, ada kesedihan yang begitu dalam.

Meskipun mereka telah bersama cukup lama sebagai sepasang kekasih, Edwin merasa masih belum sepenuhnya memahami kehidupan Adelia. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya. Mungkin Adelia tak ingin menceritakan semuanya, sama seperti dirinya yang tak pernah mengungkapkan bahwa ia hanyalah seorang anak haram yang ditinggalkan.

Setelah lama terdiam, akhirnya Adelia membuka suara. "Edwin..."

"Iya, Adel?" jawab Edwin, sedikit bingung mendengar nada lirih di suara kekasihnya.

"Andai suatu hari nanti kita berpisah, dan akulah yang memulainya, apa yang akan kamu lakukan? Aku hanya berharap saat itu tiba, kamu tidak akan membenciku," ucap Adelia tiba-tiba, membahas tentang perpisahan.

Jantung Edwin berdegup kencang. Tanpa sadar, ia membalik tubuh Adelia hingga mereka saling bertatapan. "Memangnya kamu ingin berpisah dariku?" tanyanya serius.

Adelia menggeleng cepat, lalu tertawa kecil. "Aku hanya bercanda, Edwin."

Namun, bagi Edwin, kata-kata itu terlalu nyata untuk dianggap lelucon. "Kamu tidak terdengar seperti sedang bercanda, Adel. Jika suatu hari kamu benar-benar meninggalkanku, aku akan mencarimu, bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun."

Adelia tersenyum jahil. "Memangnya kamu punya cukup uang untuk melakukan itu?" tanyanya dengan nada menggoda.

Edwin terdiam. Suasana di antara mereka mendadak terasa dingin karena pembicaraan tentang perpisahan. Namun, sebelum Edwin sempat menjawab, Adelia tiba-tiba mengecup bibirnya singkat, lalu berlari ke tengah ombak sambil tertawa.

"Saat hari itu tiba, aku akan mengabulkan semua keinginanmu," serunya riang.

Edwin masih terkejut merasakan sentuhan lembut bibir Adelia di bibirnya. Namun, melihat gadis itu berlarian di tepian air, ia segera mengejarnya. "Adel, tunggu saja. Aku tidak akan membiarkanmu pergi!"

Dalam satu tarikan tangan, Edwin berhasil menangkapnya, namun keduanya justru terpeleset dan jatuh ke air. Kaos putih dan celana jeans mereka basah terkena ombak, tetapi di antara suara deburan air, tawa mereka terdengar begitu indah.

Setelah puas bermain air, Edwin membeli dua es krim-stroberi untuk Adelia, rasa favoritnya, dan cokelat untuk dirinya sendiri. Mereka duduk di tepi pantai, menikmati es krim sambil sesekali saling melempar candaan. Setelah es krim mereka habis, keduanya kembali ke mobil untuk beristirahat sejenak.

Di dalam mobil, suasana terasa lebih tenang. Edwin menatap Adelia dengan intens sebelum akhirnya mengecup bibirnya dengan lembut. Kecupan itu berubah menjadi lebih dalam, penuh rasa, membuat keduanya hanyut dalam momen tersebut.

"Lihat, kita masih basah kuyup," gumam Edwin sambil tersenyum usil.

Adelia tertawa kecil. "Air asin ini masih terasa lengket di tubuhku. Kamu yakin ingin melanjutkan ini sekarang?" tanyanya dengan nada menggoda.

Edwin menatapnya lekat, jemarinya dengan lembut menyibak helai rambut basah Adelia yang menempel di wajahnya. "Aku hanya ingin lebih dekat denganmu, Adel. Seolah waktu berhenti di sini, hanya ada kita berdua."

Namun sebelum momen itu semakin larut, ponsel Adelia bergetar di dalam tasnya. Edwin menghela napas, sementara Adelia melirik layar ponselnya yang terus berdering.

"Mungkin penting..." gumamnya ragu.

Edwin tersenyum kecil, menyentuh pipinya dengan lembut. "Angkatlah. Aku tidak akan ke mana-mana."

Meskipun enggan mengakhiri momen itu, Adelia akhirnya meraih ponselnya, sementara Edwin kembali menyandarkan kepala di kursi, menunggu gadis yang dicintainya menyelesaikan panggilan tersebut.

Adelia menatap layar ponselnya yang menyala, nama "Ayah" tertera di sana. Ia mengerutkan kening, hatinya dipenuhi tanda tanya. "Kenapa Ayah meneleponku?" batinnya.

"Halo?" ucapnya setelah menggeser tombol hijau.

Dari seberang, terdengar suara berat dan tegas. "Ke mana saja kamu? Orang tuamu sedang sakit, tapi kamu malah asyik keluyuran! Cepat pulang, jangan buat aku menunggu!"

Adelia mengepalkan tangan. Amarahnya membuncah. "Aku tidak akan pulang sebelum Ayah membatalkan perjanjian itu!" serunya lantang, membuat Edwin yang duduk di sampingnya terkejut.

Belum sempat Edwin bertanya, suara ketukan keras terdengar dari luar jendela mobil. Sejumlah pria berbadan tegap, utusan ayah Adelia, telah berdiri di sana.

"Sebaiknya kau menurut, kalau tidak ingin dipaksa," ujar suara dingin dari telepon sebelum sambungan terputus.

Edwin yang tidak mengenal mereka segera turun dari mobil, namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, para pria itu menyeret Adelia keluar. Edwin mencoba melawan, tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Ia terdesak, merasakan perih dari pukulan yang mendarat di tubuhnya.

"Edwin, lebih baik kamu pergi! Aku mengenal mereka!" seru Adelia dengan mata penuh ketegasan, sebelum ia didorong masuk ke dalam mobil mewah yang menunggunya.

Edwin hanya bisa terpaku, dadanya sesak melihat kekasihnya dibawa pergi. Saat itu, ia belum menyadari bahwa kepergian Adelia adalah awal dari perpisahan yang tak terhindarkan.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY