/0/17584/coverbig.jpg?v=dbce98d919021e493b25fcde002165a2)
Halimah tiba- tiba bisa melihat tempat yang aneh dan calon tumbalnya. Apa yang terjadi pada Halimah? Apakah Haimah harus mencari tumbalnya? Apakah Halimah bisa diselamatkan?
Halimah tiba- tiba bisa melihat tempat yang aneh dan calon tumbalnya. Apa yang terjadi pada Halimah? Apakah Haimah harus mencari tumbalnya? Apakah Halimah bisa diselamatkan?
"Jadi mengapa kamu ke sini? Bukankah aku sudah bilang kalau tidak boleh ke sini?" teriak wanita tua itu dengan marah dan wajah memerah.
Halimah menundukkan pandangannya dan mulai menangis. Tangannya memilin-milin ujung bajunya.
"Tidak usah menangis! Hentikan tangismu itu! Apa maumu?" teriak wanita tua itu. Halimah semakin menundukkan pandangannya. Wanita tua itu mendecakkan lidahnya kesal, dia mendekati gadis bertubuh kecil itu. Wanita tua memegang dagu Halimah dengan tangannya yang berkuku panjang dan kotor itu.
"Kamu cari mati, ya, datang ke sini? Apa sajennya kurang kemarin?" bisik wanita tua itu dengan geram. Halimah mendongak dan melihat ke arah wanita tua itu dengan pandangan takut, dia segera menunduk lagi. Halimah mundur sedikit, berusaha menghindari wanita tua itu.
"Jawa, Limah! Mengapa kamu diam aja?" teriak wanita tua itu dengan kemarahan yang menggelora, dia mencengekeram dagu Halimah. Halimah menjerti kesakitan.
"Abdi kambuh lagi, Nyai. Aku di suruh memanggil nyai ke rumah Pak Slamet," jawab Halimah pelan. Wanita tua itu terkejut dan perlahan melepaskan cengkeramannya pada dagu Halimah, dia mundur perlahan.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?" bisik wanita tua itu. Halimah menunduk lagi.
"Aku takut karena Nyai Barinah sudah berteriak-teriak seperti tadi," jawab Halimah dengan melirik kesal pada wanita tua bertubuh bungkuk dan berwajah bocel-bocel itu.
"Ya, sudah, aku akan segera ke sana. Pulanglah dulu. Maafkan aku, ya, Limah," kata Nyai Barinah. Halimah mengangguk dan segera melesat meninggalkan rumah Nyai Barinah. Halimah lupa jalan yang dilaluinya tadi licin dan berbatu terjal, sehingga dia beberapa kali jatuh dan membuat bajunya kotor penuh lumpur. Tubuhnya sakit sekali dan ada beberapa bagian tubuhnya yang berdarah dan membuatnya menangis tersedu.
***
Halimah sampai di rumah Pak Slamet setengah jam kemudian. Badannya kotor dan sakit semua. Dia mengetuk pintu dapur dengan keras dan terburu-buru.
"Mbok Nem, bukakan pintunya!" teriak Halimah. Sunyi, tidak ada yang membukakan pintu, "MBok Nem! Pak Tatang!" teriak Halimah lagi. Setelah beberapa waktu akhirnya ada suara langkah kaki membukakan pintu dapur.
"Limah?"
"Iya, Mbok! Bukakan pintu, Mbok!" teriak Halimah lagi.
"Iya! Iya! Sabar, Mah!" gerutu Mbok Nem. Dan tak lama kemudian pintu dapur itu terbuka. Mbok Nem sangat terkejut melihat kondisi Halimah yang agak memrihatinkan.
"Kamu kenapa, Mah? Apa Nyai Barinah ngamuk lagi?" tanya Mbok Nem dan buru-buru meminta Halimah masuk ke dalam rumah Pak Slamet, "kok, ya, nyuruh surup-surup (senja) begini, ya? Kan bahaya! Nanti kalau Buto Ijonya itu keluar gimana coba? Kamu nggak papa, Mah?" tanya Mbok Nem sambil berusaha membersihkan wajah dan rambut Halimah yang kusut masai. Halimah hanya bisa menangis kesakitan.
"Mandi dulu saja, ya? Nanti setelah itu kuobati semuanya," kata Mbok Nem. Halimah mengangguk, dia berjalan tertatih menuju kamarnya. Di dalam kamar dia segera mandi, berganti baju dan kemudian melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh pak Slamet selama Halimah tinggal di rumah itu, yaitu salat. Dengan buru-buru Halimah salat Magrib dengan sprei yang dijadikannya mukena dan setelah selesai dia segera melipat spreinya lagi dan memasukkannya ke dalam lemari.
"Limah! Sudah belum ganti bajunya? Lama sekali!" teriak Mbok Nem sambil menggedor kamar Halimah. Halimah buru-buru menyembunyikan sajadah di dalam lemarinya dan membukakan pintu kamarnya.
"Kebiasaan kalau mandi lama banget! Mbok, ya kalau mandi itu yang cepet, sat set gitu lo!" gerutu Mbok Nem lagi. Dia mencebik sambil memeriksa tubuh Halimah yang memar, lebam dan berdarah. Halimah mengaduh kesakitan ketika Mbok Nem menotol-notol luka di tubuhnya dengan minyak ramuan kunyit dan daun sirih yang bisa digunakan sebagai antibiotika dan sekaligus juga penghilang rasa sakit.
"Kalau ini sudah selesai, langsung mbantu aku menyiapkan makan malam, ya? Katanya Nyai Barinah akan datang selepas maghrib," kata Mbok Nem. Halimah mengangguk.
"Matur nuwun wis gelem nggon omahe Nyai Barinah, ya? (Terima kasih sudah mau ke rumah Nyai Barinah, ya?)" kata Mbok Nem sambil mengelus rambut Halimah. Halimah mengangguk sambil tersenyum haru karena melihat bulir-bulir air mata yang hendak menetes di pipi Mbok Nem, yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri.
"Ayo, sekarang bantu aku, ya?" kata Mbok Nem memecah kesunyin dan keharuan itu. Halimah mengangguk dan buru-buru mengikuti Mbok Nem menuju ke dapur.
***
Halimah selalu terpesona dengan menu makanan keluarga Pak Slamet. Mbok Nem selalu disuruh masak makanan dalam jumlah yang banyak dan menunya juga selalu enak sekali menurut Halimah. Seperti malam itu, dia membantu menyiapkan makan malam yang sangat 'wah', ada rendang daging, ada pecel, ada sayur asem, ada tempe bacem, tahu bacem, ayam goreng, dan sayur sop daging. Hmm ... Halimah hampir saja mengambil sebuah tahu bacem yang nampak sangat enak, berwarna kecoklatan dan berkilauan tertimpa cahaya lampu dan perut Halimah berkeriut menahan lapar. Dia hanya bisa menelan ludah membayangkan betapa lezatnya makanan yang disajikan malam itu.
Tetapi tetap saja rasa heran menyeruak dalam hati Halimah. Bukankah keluarga Pak Slamet hanya empat orang? Ada Pak Slamet, Bu Slamet, Abdi dan kakak perempuannya yang bernama Siti Hayati, mungkin hari ini ada Nyai Barinah, yang pastinya akan makan malam di rumah Pak Slamet. Tetapi sebanyak apapun makanan dan lauk yang dimasak dan disajikan di meja makan, tetap saja semuanya habis tuntas tak tersisa.
Kadang Halimah ikut membereskan meja makan setiap selesai makan malam dan selalu saja tidak ada setetespun kuah, sebutirpun nasi atau secuilpun lauk yang tersisa. Aneh sekali!
"Nggak usah mikir aneh-aneh!" desis seseorang di belakang Halimah. Halimah terlonjak kaget, dia menoleh ke belakang dan melihat Bu Slamet berdiri sambil tersenyum di belakangnya. Halimah langsung menunduk dan Bu Slamet meninggalkan Halimah begitu saja, membuat Halimah semakin ketakutan, karena menyadari bahwa langkah Bu Slamet tak berbunyi sama sekali, begitu mengerikan.
***
Dari dapur Halimah mendengar suara denting sendok dan piring yang beradu di ruang makan, dan anehnya, dia juga mendengar suara dengus-dengus aneh dari ruang itu, seperti suara orang yang kelelahan setelah berlari. Halimah sangat tidak nyaman mendengar dengusan itu. Dia juga sangat penasaran. Akhirnya Halimah mengintip melalui sebuah lubang kecil yang terdapat di bagian atas tengah pintu yang memisahkan antara dapur dengan ruang makan dan ... dan Halimah melihat pemandangan yang sangat mengerikan itu ....
Halimah membeliak tak percaya. Dia mundur dan segera berlari ke kamarnya. Napasnya memburu, jantungnya berdetak kencang. Halimah mencoba menenangkan diri ketika mendengar teriakan Abdi.
"Halimah salat di rumah kita, Pak! Halimah salat di rumah kita!
****
Kisah sebuah lukisan misterius yang ternyata memiliki sejarah yang sangat panjang Dan berliku
Impian seorang ibuuntuk membahagiakan anak-anaknya ternyata tidak selamanya berakhir dengan baik.
Sinta butuh tiga tahun penuh untuk menyadari bahwa suaminya, Trisna, tidak punya hati. Dia adalah pria terdingin dan paling acuh tak acuh yang pernah dia temui. Pria itu tidak pernah tersenyum padanya, apalagi memperlakukannya seperti istrinya. Lebih buruk lagi, kembalinya wanita yang menjadi cinta pertamanya tidak membawa apa-apa bagi Sinta selain surat cerai. Hati Sinta hancur. Berharap bahwa masih ada kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki pernikahan mereka, dia bertanya, "Pertanyaan cepat, Trisna. Apakah kamu masih akan menceraikanku jika aku memberitahumu bahwa aku hamil?" "Tentu saja!" jawabnya. Menyadari bahwa dia tidak bermaksud jahat padanya, Sinta memutuskan untuk melepaskannya. Dia menandatangani perjanjian perceraian sambil berbaring di tempat tidur sakitnya dengan hati yang hancur. Anehnya, itu bukan akhir bagi pasangan itu. Seolah-olah ada penghalang jatuh dari mata Trisna setelah dia menandatangani perjanjian perceraian. Pria yang dulu begitu tidak berperasaan itu merendahkan diri di samping tempat tidurnya dan memohon, "Sinta, aku membuat kesalahan besar. Tolong jangan ceraikan aku. Aku berjanji untuk berubah." Sinta tersenyum lemah, tidak tahu harus berbuat apa ....
Ketenangan rumah tangga Yanto dan Viana mulai terusik dengan kehadiran Runi, adik Yanto yang memutuskan tinggal bersama mereka setelah bercerai dari suaminya. Berbagai masalah dan pertengkaran mulai timbul sejak Runi tinggal bersama mereka, membuat Viana merasa tidak adanya lagi kenyamanan dalam rumah tangganya bersama Yanto. Sedangkan Runi yang memang tidak menyukai Viana selalu berusaha untuk memisahkan Yanto dan Viana. Usaha Runi kian dipermudah dengan kehadiran Feyla, temannya yang diam-diam menyukai Yanto. Dengan berbagai cara, Runi berusaha mendekatkan Yanto dan Feyla. Usaha mereka berhasil. Yanto menikahi Feyla sebagai istri kedua karena dia tidak mau bercerai dengan Viana. Namun, Viana yang tak mau dimadu memutuskan untuk bercerai dan mencari jalan kebahagiaannya sendiri meskipun dia harus menanggung sakit atas keputusannya itu. Di kemudian hari, Viana berhasil bangkit dari keterpurukannya. Sebaliknya orang-orang yang menyakitinya mulai menemui karmanya satu persatu.
Ketika Nadia mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu Raul tentang kehamilannya, dia tiba-tiba mendapati pria itu dengan gagah membantu wanita lain dari mobilnya. Hatinya tenggelam ketika tiga tahun upaya untuk mengamankan cintanya hancur di depan matanya, memaksanya untuk meninggalkannya. Tiga tahun kemudian, kehidupan telah membawa Nadia ke jalan baru dengan orang lain, sementara Raul dibiarkan bergulat dengan penyesalan. Memanfaatkan momen kerentanan, dia memohon, "Nadia, mari kita menikah." Sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, Nadia dengan lembut menjawab, "Maaf, aku sudah bertunangan."
Selama sepuluh tahun, Delia menghujani mantan suaminya dengan pengabdian yang tak tergoyahkan, hanya untuk mengetahui bahwa dia hanyalah lelucon terbesarnya. Merasa terhina tetapi bertekad, dia akhirnya menceraikan pria itu. Tiga bulan kemudian, Delia kembali dengan gaya megah. Dia sekarang adalah CEO tersembunyi dari sebuah merek terkemuka, seorang desainer yang banyak dicari, dan seorang bos pertambangan yang kaya raya, kesuksesannya terungkap saat kembalinya dia dengan penuh kemenangan. Seluruh keluarga mantan suaminya bergegas datang, sangat ingin memohon pengampunan dan kesempatan lagi. Namun Delia, yang sekarang disayangi oleh Caius yang terkenal, memandang mereka dengan sangat meremehkan. "Aku di luar jangkauanmu."
Anne mengikuti kontrak tertentu: dia akan menikah dengan Kevin dan melahirkan anaknya pada akhir tahun. Kalau tidak, dia akan kehilangan semuanya. Namun, itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Menghadapi penghinaan hari demi hari, dia sudah kehabisan kesabaran. Kali ini, dia tidak mau menyerah. Pada hari kecelakaan Kevil, Anne mengorbankan dirinya untuk menyelamatkannya. Meskipun dia hidup, dia akan segera menghilang di hadapan dunia. Nasib mereka terikat sekali lagi setelah bayi mereka tumbuh. Anne mungkin telah kembali kepadanya, tetapi dia bukan lagi wanita yang sedang mengejar cinta Kevin. Sekarang, Anne siap berjuang untuk putranya.
© 2018-now Bakisah
TOP