Genggaman tanganku di atas parzel buah semakin mengerat. Aku egois, ya... aku tahu itu. Dengan kejamnya merasa bahagia ketika gadis yang kucinta kehilangan seluruh memori di otaknya. Mau bagaimana lagi? Ini semua karena aku terlalu mencintainya. Cintaku ini bahkan semakin bertambah ketika dia menjadi sosoknya yang baru.
Lihatlah dirinya. Begitu cantik, begitu hangat, begitu cemerlang, sehingga membuat dirinya begitu mudah untuk dicintai. Jauh berbeda dengan dirinya yang dulu. Meski pada kenyataannya, mau seperti apapun sikapnya, cintaku ini hanya akan tetap tertuju padanya. Terpatri begitu dalam hingga aku bahkan sulit untuk sekedar berpaling untuk mengagumi wanita yang lain.
"Kamu sudah datang?" suaranya yang lembut menyentak lamunanku begitu saja. Lihatlah, karena terlalu sibuk mengagumi sosoknya, aku bahkan tak sadar sejak kapan kedua kakiku telah melangkah dan kini aku justru mendapati diriku tengah berdiri membatu di hadapannya.
Mengerdikkan bahu, aku kemudian mendudukkan tubuhku tepat di sebelahnya. Memejamkan mata sejenak, menikmati semilir angin yang sayup membawa serta wangi tubuhnya. "Seperti biasa, tak ada yang spesial." Jawabku kemudian sambil tersenyum lembut kepadanya.
Gadisku itu membalas senyumku sambil menyingkirkan helaian rambut panjangnya yang tertiup angin hingga menghalangi pandangan. Tanganku dengan refleks --yang lebih karena terbiasa, ikut menyelipkan beberapa anak rambutnya ke belakang telinga. Helaian rambutnya itu kini berwarna cokelat keabuan, nyaris hitam. Warna yang tergolong normal.
Sampai sekarangpun aku tak mengerti, kenapa dulu dia begitu suka mewarnai rambutnya dengan warna-warna tak masuk akal. Mulai dari cokelat tua yang diberi sentuhan warna merah disetiap ujungnya, pink cerah yang membuat siapapun yang melihatnya menjadi sakit mata, hingga percampuran tujuh warna yang membuat rambutnya bisa saja dijadikan sebagai icon pelangi.
Namun untung saja ketika insiden itu terjadi, entah bagaimana dia sudah mengubah warna rambutnya menjadi warna yang sedikit normal. Sehingga pertanyaan rumit seperti, 'kenapa warna rambutku seperti ini?' tidak akan keluar dari bibirnya. Aku pasti akan kebingungan setengah mati jika dia bertanya seperti itu. Karena pertanyaan itu, jelas-jelas hanya dirinya sendirilah yang tahu jawabannya. Dirinya yang dulu, sebelum insiden naas itu merenggut seluruh ingatannya.
Amnesia, itulah nama penyakit yang divonis dokter ketika Nessa baru saja siuman di ruang ICU. Sebuah penyakit yang dulu sempat kuragukan keberadaannya. Bagaimana mungkin ada seseorang yang bisa kehilangan seluruh memori otaknya? Apakah itu berarti dia juga lupa bagaimana caranya berjalan? Bagaimana caranya makan dan bagaimana caranya bernafas? Namun keraguan itu langsung sirna begitu saja ketika Nessa sendirilah yang mengalaminya.
Kekasihku itu hanya menatap hampa segala hal yang ada di depannya saat pertama kali siuman. Dia bahkan tak merespon ketika aku menggenggam tangannya dan memanggil namanya berkali-kali. Dan ketika satu pertanyaan keluar dari bibirnya, aku benar-benar tak tahu harus menangis atau tertawa sekencang-kencangnya saat itu juga.
"Siapa?" aku bahkan masih ingat suara lemah dan pandangan kosongnya ketika menanyakan satu kata itu.
Dia tidak mengingatku! Dia tidak mengenal dirinya sendiri, dan bahkan dia sama sekali tak tahu hal apa saja yang sudah terjadi di antara kami. Sejak saat itulah kebohongan demi kebohongan terjadi. Bukan sepenuhnya kebohongan, aku hanya menutupi apa yang seharusnya tidak ia ketahui.
Aku tahu ini salah, aku bahkan sangat tahu jika aku mungkin akan kehilangan dirinya jika kelak tiba-tiba saja ingatannya kembali. Namun salahkah aku jika mempertaruhkan segalanya saat ini? Aku akan melakukan apa saja untuk mengikat hatinya selama kesempatan ini masih ada. Aku akan memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan padanya. Aku akan membuktikan jika cintaku benar-benar begitu dalam padanya. Dan akan kutunjukkan jika aku menempatkannya dalam posisi yang paling penting di atas segala-galanya.
Sehingga ketika dia pada akhirnya mengingat semua masa lalu kami, dia akan sadar. Sedikit kesalahanku di masa lalu, sama sekali tak sebanding dengan seberapa besar cinta dan kasih sayang yang kucurahkan untuknya saat ini. Dia tak akan memiliki alasan untuk pergi dariku. Karena hatinya, sudah berada di dalam rengkuhan kedua tanganku.