Bagai tersambar petir di siang bolong, hari ini Larasati harus menerima kenyataan bahwa anak semata wayangnya menderita kelainan pada jantungnnya. Namun, kontras dengan suasana hati Larasati yang sedang kelabu, cuaca Jakarta siang itu justru sedang terik-teriknya.
Kini Larasati sedang duduk sambil menyeruput segelas kopi susu di sebuah warung pinggir jalan. Suara klakson yang bersahut-sahutan, asap dari kendaraan dan rokok, juga suara gelak tawa dari orang sekitar yang sedang bercengkrama, turut menemani riuhnya pikiran Larasati. Berkali-kali ia menghela nafas, hingga Amel- perempuan yang sudah menjadi temannya di kantor selama tiga tahun terakhir, menjadi penasaran dengan apa yang mengganggu pikiran Larasati.
"Kenapa sih, Ras? Ada yang ganggu pikiran lo?"
Setelah meletakkan kembali gelas yang tadi ia genggam, Larasati mengalihkan atensinya pada Amel.
"Miko sakit, Mel. Anak gue usianya baru 6 tahun, tapi dia sakit yang bahkan gue aja belum tentu kuat buat ngelawan sakit itu."
Untuk sejenak, Amel terdiam karena begitu terkejut. Namun, alih-alih memberi tanggapan, ia memilih untuk mengusap pelan bahu milik Larasati. Ia cukup tahu, bahwa bukan kata 'sabar' yang ingin Larasati dengar saat ini.
"Miko juga harus cari pendonor buat transplantasi jantung. Gaji gue berapa sih, Mel? Lo tahu sendiri kalau gue sama Dirga selama ini cukup kelimpungan karena harus bayar cicilan rumah dan biaya hidup lainnya. Duit tabungan gue bahkan nggak akan cukup untuk biaya perawatan Miko, apalagi transplantasi."
"Dirga udah tahu?" tanya Amel, yang kemudian mendapat gelengan dari Larasati.
"Gue belum sempet ngobrol sama dia, Mel. Lo tahu sendiri dia sibuk banget." Larasati tertawa hambar. "Bahkan dengan kesibukan dia yang kayak gitu, kita nggak akan mampu untuk bayar biaya rumah sakit Miko."
"Coba lo obrolin sama Dirga deh, Ras. Mau gimana pun sibuknya, dia harus tahu soal kondisi anaknya. Dia juga harus berusaha buat cari jalan keluar. Kalo ngandelin gaji jurnalis kecil kayak kita mah, nggak akan cukup, Ras."
Amel benar. Hal pertama yang harus Larasati lakukan adalah menceritakan kondisi Miko pada Dirga. Bagaimanapun, Dirga juga harus memikirkan jalan keluar untuk kesembuhan anak mereka. Maka tanpa berpikir panjang, Larasati beranjak meninggalkan warung kopi itu untuk menuju ke sebuah halte busway. Ia harus mendatangi Dirga ke kantor tempatnya bekerja.
Dirga merupakan karyawan dari sebuah perusahaan retail yang cukup terkenal di Jakarta. Meski begitu, ia hanyalah staff biasa yang gajinya bahkan tidak sampai dua digit. Namun, pernikahan mereka yang menginjak usia 8 tahun itu cukup menyenangkan bagi Larasati.
Ia tidak pernah menginginkan barang mewah atau mobil keluaran terbaru seperti milik teman-temannya. Cukup dengan Dirga berada di sisinya dan menemaninya sepanjang sisa hidup, Larasti sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi.
Butuh waktu sekitar 30 menit hingga Larasati sampai pada pelataran kantor tempat Dirga bekerja. Ia berjalan dengan pasti untuk memasuki gedung yang memiliki 7 lantai tersebut. Namun alih-alih masuk lebih jauh, Larasati memilih untuk menunggu di area lobi dan menelepon Dirga untuk turun dan menemuinya.
Hingga tak lama kemudian, Dirga berjalan cepat untuk mendatangi Larasati. Seperti biasa, laki-laki itu terlihat tampan dengan lesung pipinya saat tersenyum.
"Kenapa, Ras? Tumben banget dateng ke sini?" tanya Dirga lembut, sambil membawa Larasati untuk duduk di sebuah sofa.
"Aku tadi bawa Miko ke rumah sakit, Ga."
"Terus, apa kata dokter?"
Untuk sejenak, Larasati menghela nafas panjang. Ia cukup tahu, bahwa bukan hanya dirinya yang akan terluka saat mengetahui kondisi Miko, tapi juga Dirga. Laki-laki itu jelas sangat menyayangi Miko.
"Ada kelainan di jantung Miko. Dia harus dirawat dalam minggu ini." Netra legam milik Larasati terasa panas, sebab butiran bening yang akan keluar membasahi pipinya. "Bukan cuma itu, Miko bahkan butuh pendonor untuk jantungnya. Kita harus gimana, Ga? Aku nggak mau Miko kenapa-kenapa."
Dirga tidak bisa mengatakan apapun. Ia hanya menatap kosong ke arah Larasati yang mulai terisak. Dadanya terasa begitu sakit, karena belum pernah ia merasa sehancur ini sebelumnya. Dirga bahkan tidak memiliki cukup tenaga untuk sekedar menenangkan Larasati yang masih terisak di hadapannya.
"Jangan diam aja, Dirga! Aku datang ke sini bukan untuk lihat kamu diam gini," ujar Larasari dengan suara paraunya.
"Kita jual rumah aja, Ras. Nanti aku hubungi pihak bank, biar mereka cari pembeli baru untuk ngelanjutin cicilan rumah kita."
"Jual rumah nggak segampang itu, Ga. Kamu pikir kita bisa dapet pembeli dalam minggu ini? Miko nggak boleh dibiarin nunggu terlalu lama."
"Terus apa lagi yang bisa kita lakuin, Ras? Cuma itu satu-satunya cara. Aku nggak mungkin pinjem duit perusahaan. Mereka nggak akan kasih pinjaman sebesar itu."
'Kecewa' adalah satu kata yang bisa menggambarkan perasaan Larasati saat ini. Di matanya, Dirga hanya tidak mau berusaha. Namun, berbeda dengan Dirga, Larasati menolak untuk berpikir bahwa sudah tidak ada cara lain. Meski pada akhirnya menemui Dirga hanya menemukan jalan buntu, Larasati masih tidak ingin menyerah.
Setelah menghapus jejak air matanya, Larasati beranjak meninggalkan Dirga yang masih mematung di tempatnya. Ia sudah tidak lagi mempedulikan panggilan Dirga yang memintanya untuk berbalik.
Setelah berjalan cukup jauh dari kantor Dirga, Larasati merogoh ponsel yang ia simpan di dalam tas hitamnya. Lalu dengan cepat ia mencari nomor seseorang di daftar kontaknya. Untuk sesaat, Larasati terdiam. Ia tampak ragu untuk menekan tombol panggilan pada nomor telepon tersebut. Berkali-kali ia menggigit bibir bawahnya dan mengacak rambutnya frustasi. Lalu setelah beberapa saat, Larasati akhirnya memutuskan untuk menelepon nomor tersebut.
Pada nada sambung ke lima, seseorang dari seberang telepon menjawab panggilannya.
"Tawaran yang lo kasih ke gue tiga hari lalu, boleh gue ambil sekarang? Apa tawarannya masih berlaku?" tanya Larasati tanpa basa-basi.
Benar. Jika Dirga tidak bisa memberikan jalan keluar atas masalah kesehatan Miko, maka Larasati akan mencarinya sendiri. Apa pun akan ia lakukan, agar anak semata wayangnya bisa kembali sehat dan hidup normal seperti anak-anak yang lain.
Untuk saat ini, Larasati tidak peduli pada resiko yang akan ia hadapi di masa depan. Sekali lagi, yang paling penting untuknya adalah kesehatan Miko. Hingga Larasati lupa, bahwa hidupnya bukan hanya soal Miko, tapi juga soal Dirga dan rumah tangga mereka....