/0/18258/coverbig.jpg?v=1f0c615f181385a0878a2ed4b344af81)
Penolakan keras Yura Anindita terhadap perjodohannya, membuat misi 'mungkin tak mungkinnya' spontan tercetus. Dia harus menemukan calon suami terbaik sebelum hari ulang tahunnya, agar perjodohan yang di rencanakan kedua orang tuanya di batalkan. Tentu saja tak mudah menemukan seseorang yang baik yang mau menikahinya hanya dalam waktu sesingkat itu. Tapi Yura tak akan menyerah, dia yakin bisa menemukan calon suami sebelum 27 hari. Persis, sebelum dia berusia 27 tahun. Saat dirinya sibuk memikirkan jalan keluar menyelesaikan misinya, saat itu pula dua orang pria berbeda karakter, beda kehidupan, muncul dalam hidup Yura. Manakah yang akan Yura pilih? Seseorang dari masa lalunya atau orang yang baru dia kenal namun sukses membuatnya jatuh hati dengan begitu mudah. Atau justru tidak keduanya?Ikuti kisah Yura dengan misinya sampe akhir ya...
Akan selalu ada perpisahan dari setiap pertemuan. Dua hal yang saling bertautan namun terkadang dilupakan. Dan aku ... mungkin jadi salah satu orang yang lupa tadi.
--------------
Derap langkah kakinya menuruni anak tangga masih terdengar sayup-sayup di telingaku. Aku masih berdiri mematung di rooftop gedung kantor salah satu stasiun TV swasta tempatku bekerja. Tanpa ada usaha menyusulnya apalagi mengejarnya.
Kejadian yang terjadi beberapa menit sebelum Ia beranjak dari tempat ini layaknya paku ukuran 4 inci yang di tancapkan pada kedua kakiku.
Jangankan untuk melangkah, untuk bergeser beberapa milimeterpun rasanya berat.
Dan ... sakit. Sungguh!!
"Kita udahan ya."
Katanya saat itu hingga membuat keindahan langit malam ini kehilangan poinnya di mataku. Darahku berdesir kencang. Desirnya bahkan sama dengan angin yang berhembus membelai wajahku malam ini.
"Udahan? Tapi kenapa? Bukannya selama setahun ini hubungan kita baik-baik aja."
Cairan hangat dan sebening embun itu mulai menggenangi pelupuk mataku. Ada sesuatu yang retak bahkan nyaris hancur terjadi pada hatiku saat ini.
Arghhh ... kenapa aku harus secengeng ini?
"Iya. Kita memang baik-baik aja. Tapi nggak tahu kenapa, aku ngerasa jenuh. Aku bosan ngejalanin ini sama kamu."
"Bosan? Cuman karena itu kamu mau mengakhiri semuanya?" tanyaku masih dengan rasa tak percaya.
Apa sebegitu kekanak-kanakkannyakah pria yang aku kenal selama ini? Menurutku, rasa bosan adalah alasan paling konyol untuk mengakhiri sebuah hubungan.
"Aku minta maaf. Tapi ini keputusannya. Kita selesai."
Tanpa banyak basa basi lagi Ia beranjak pergi meninggalkanku dan tak mau peduli betapa hancurnya perasaanku sekarang.
Sayangnya, aku tak bisa menemukan penyesalan sedikitpun karena sudah mencintai orang seperti itu. Ah ... akunya yang terlalu lugu atau memang semua orang seperti itu saat jatuh cinta?
Di tempat yang sama, di hari dan bahkan di tanggal yang sama, dia mencoba masuk dalam kehidupanku satu tahun lalu.
Tapi sekarang, dia juga yang memutuskan untuk pergi. Perih dan luka, hanya itu yang Ia tinggalkan untukku sebagai souvenir dari acara perpisahan kami. Rooftop kantor tempatku dan Ia bekerja seolah menjadi saksi bisu atas setiap moment yang terjadi dalam hubungan kami.
Aku ingat, saat pertama kali Ia menemukan keindahan malam dihiasi lampu-lampu perkotaan yang hanya bisa di lihat dari puncak gedung 14 lantai ini. Ia terlihat begitu tak sabar memperlihatkannya padaku. Bahkan Ia rela menungguku, yang pada saat itu sedang lembur di kantor hanya untuk menyuguhkan keindahan itu.
Aku juga ingat, hamparan bintang di langit yang kami lihat pertama kali di rooftop ini. Tentu saja terlihat sangat indah, makin berkilau, dan makin terasa mudah di gapai jika kami di sini.
Dan ya, aku meyakini setelah ini semuanya akan berubah.
Langit yang kami lihat mungkin masih sama, gemerlap bintangnya juga, tapi momennya akan terasa jadi berbeda. Tak akan ada lagi kita berdua yang duduk di sini, menghabiskan waktu hanya untuk menatap langit penuh bintang seperti malam ini.
Yang ada hanya aku. Aku serta langit yang tetap setia menyuguhkan keindahannya. Berbeda sekali dengan Langit yang aku kenal setahun belakangan itu. Dia hanya manis di awal, lantas sekarang dia memilih meninggalkan seolah perasaanku bukan apa-apa baginya.
Huft ... apa kebanyakan laki-laki seperti itu?
"Benarkan dugaanku, kamu pasti ada di sini."
Sebuah suara membuyarkan lamunanku perihal momen perpisahan dengan Langit satu minggu lalu. Yang setiap detailnya masih terekam dengan sangat jelas di memori otakku. Dan ya, aku masih saja suka menangis setiap mengingat hal itu.
"Indy," ucapku saat menyadari kedatangan sahabatku sembari menyeka air mata yang sempat jatuh membasahi pipiku.
Gadis manis berambut ikal ini berjalan mendekat ke arahku sambil geleng-geleng kepala. Dari bahasa tubuhnya, aku meyakini kalau Ia tahu betul apa yang sedang aku lakukan di rooftop saat waktu sudah selarut ini.
"Kamu tahu darimana aku ada di sini?"tanyaku pura-pura bego'.
Indy menghela nafas sejenak, "Pasca kamu sama Langit nggak bareng lagi, emang di mana lagi tongkrongan kamu selain di sini?"
Kata-kata Indy membuatku diam sejenak. Aku tak bisa menyangkal ucapannya.
Memang benar setelah kejadian hari itu, setiap jam kantor selesai atau setelah lembur, aku tak langsung pulang. Aku selalu ke rooftop untuk menenangkan diri, atau lebih tepatnya mengingat kembali kenanganku bersama Langit. Terlihat bodoh memang, tapi untuk saat ini hanya itu yang ingin aku lakukan. Setidaknya, sampai aku ikhlas menerima semuanya.
"Mikirin Langit lagi?" tanya Indy lagi berusaha menerka apa yang sedang aku pikirkan lantaran aku tak kunjung merespon ucapannya.
Alih-alih menjawab, aku justru mengarahkan pandangan lurus ke langit malam ini. Indy pun terlihat melakukan hal yang sama. Suasana kembali hening, hanya ada suara desiran angin yang mengisi rongga telingaku. Waktu yang sudah memasuki pukul 10 malam membuat hawa di sini terasa semakin dingin.
"Udah satu minggu loh kamu sama Langit bubar. Dan udah satu minggu juga kamu sama Langit kayak orang yang nggak saling kenal. Dan ... udah satu minggu juga kamu nggak bisa move on dari dia. Atau seenggaknya jangan lagi datang ke sini dan jangan lagi mengenang semuanya, Yura."
Yups...sekali lagi Indy benar.
Setelah semuanya berakhir, aku dan Langit memang seperti dua orang yang sedang bermusuhan. Sekalipun bertemu, kami tak pernah saling bertegur sapa. Dan sekalipun terlibat obrolan itu pun hanya sebatas urusan kerja. Menurutku itu wajar, apalagi semua berakhir cukup tiba-tiba.
Tapi kalau soal move on aku tak bisa membenarkannya. Aku bukan tidak bisa, hanya ... belum bisa. Aku sudah berusaha keras untuk hal itu, hanya saja belum menemui hasil. Waktu satu minggu, tak mungkin cukup untuk melupakan hubungan yang telah berjalan selama satu tahun. Terlalu banyak kenangan tercipta di sana.
"Kamu benar Ndy. Dan aku rasa itu nggak akan berubah selama aku masih di sini."
"Maksud kamu?" tanya Indy terlihat agak bingung.
Aku menunda memberikan jawaban. Aku berjalan ke ujung rooftop dan memilih duduk di sana. Kubiarkan kedua kakiku menggantung di puncak gedung. Rambut panjangku seolah menari tertiup angin yang dengan lembut membelainya.
"Aku akan keluar dari kantor."
"Keluar? Kamu nggak salah?"
Indy berjalan mendekatiku lalu memilih duduk tepat di sampingku. Ia terus menatap wajahku dengan mata belonya.
Aku tahu, dia pasti kaget dengan keputusanku yang terkesan dadakan baginya. Walau sebenarnya, aku sudah memikirkan hal ini dari jauh-jauh hari. Hanya saja aku menunggu waktu yang tepat untuk memulainya. Dan aku rasa, ini adalah waktunya.
"Yura, ayolah. Jangan kayak anak kecil gini. Mana sosok Yura Anindita yang selalu profesional dalam pekerjaannya? Masa' cuman gara-gara Langit kamu memilih keluar dari kantor?"
"Langit bukan satu-satunya alasan, Ndy," sahutku masih betah memandangi langit sambail tersenyum hambar.
"Lalu apa? Apa alasan kamu? Dan sejak kapan kamu punya pikiran untuk mengambil keputusan keluar dari kantor?" Indy terlihat masih shock mendengar keputusan yang aku ambil.
Yah, Langit bukan satu-satunya alasan hingga aku mengambil keputusan besar seperti ini. Tapi tak bisa aku pungkiri juga, keputusan Langit justru kian menguatkan keputusanku juga.
Patah hati memang sakit, lukanya juga nggak main-main, tapi bukan berarti aku ingin melarikan diri demi melupakan Langit. Hidup selalu punya prioritas, dan Langit bukan lagi prioritas itu.
"Sudah waktunya, Yura yang naif ini berubah menjadi sedikit lebih egois demi kebaikannya sendiri."
***
Aruna, seorang gadis berusia 25 tahun baru saja putus dari kekasihnya tepat tiga tahun usia hubungan mereka. Aruna sudah bisa menebak kalau hal seperti ini akan terjadi setelah dia tahu kalau kekasihnya memiliki wanita lain yang tidak lain adalah teman sekantornya. Tak mau dianggap perempuan lemah yang seolah dunianya akan runtuh pasca putus dari laki-laki buaya itu, Aruna mencoba menanggapi kalimat putus dari kekasihnya dengan sangat santai. Walau pada saat pulang ke rumah dia tetap menangis sesenggukan juga. Nella sang sahabat yang juga baru putus minggu lalu menjadi saksi hidupnya. Bersama Nella. Aruna mencoba mengobati luka hatinya dengan segala cara. Dia juga merasakan domino effect setelah putus. Mulai dari masuknya beberapa nomor tak dikenal yang mengajaknya berkenalan hingga munculnya kembali sang cinta pertama yang belum kelar. Belum lagi tuntutan dari keluarga pihak Ayahnya yang memintanya untuk segera menikah, dan berujung dijodohkan hingga dicomblangi oleh para sepupunya dengan para stranger dengan tabiat yang sangat random. Move on yang nyaris berhasil kembali dikacaukan oleh kemunculan sang mantan. Aruna tentu tak akan goyah semudah itu, di tambah lagi Nella yang selalu mencecarnya dengan ungkapan ‘jangan kembali ke masa lalu jika tak ingin disakiti untuk kedua kalinya.’ Kira-kira jawaban seperti apa yang akan Aruna berikan? Akankah dia mengabaikan ucapan Nella dan kembali pada masa lalunya? Atau memulai hubungan baru dengan orang yang baru juga? Atau mungkin … tidak keduanya?
Kejadian pahit masa lalu mengubah seluruh kehidupan Arista Lucy. Pengalaman pahit itu menyisakan luka yang teramat dalam dihatinya. Arista yang berhati lembut berubah menjadi pribadi yang keras, kasar, dan berhati dingin bagai es. Dendam yang menuntut untuk dibalaskan memaksanya menjadi seorang pembunuh bayaran yang tak punya hati. Bertahun – tahun Ia menjadi manusia berhati batu, tiba-tiba lelaki itu hadir, membawa sejuta teka-teki sekaligus memberinya ketenangan, Kehadiran Evan memberi warna tersendiri pada kehidupan Arista.
Love. Pray. Hope Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini. Dia kembali.
Kisah Cinta bisa bermula darimana saja. Dan hadir pada hati siapa saja dan kadang tanpa aba-aba.
"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.
Seorang gadis SMA bernama Nada dipaksa untuk menyusui pria lumpuh bernama Daffa. Dengan begitu, maka hidup Nada dan neneknya bisa jadi lebih baik. Nada terus menyusui Daffa hingga pria itu sembuh. Namun saat Nada hendak pergi, Daffa tak ingin melepasnya karena ternyata Daffa sudah kecanduan susu Nada. Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Kisah asmara para guru di sekolah tempat ia mengajar, keceriaan dan kekocakan para murid sekolah yang membuat para guru selalu ceria. Dibalik itu semua ternyata para gurunya masih muda dan asmara diantara guru pun makin seru dan hot.
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.