/0/18523/coverbig.jpg?v=d570a0637f187c3966d29727aadb9e06)
Rana, gadis yang hidup sebatang kara, mengandalkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya. Hidupnya hanya diisi dengan belajar dan bekerja. Di awal masa kuliahnya, dia berkenalan dengan Reva, orang pertama yang menjadi temannya. Masalah mulai datang saat dia bertemu dengan Reno, dan kehadiran seseorang dari masa lalunya. Ditambah kedekatannya dengan Dito, membuat hubungan mereka berempat menjadi lebih dekat.
1 PERJALANAN
Bis yang kutumpangi ini terus berjalan dan tahu ke mana arah tujuannya. Aku berada di dalam bis ini, tetapi tidak tahu ke mana tujuan bis ini, tidak tahu di mana pemberhentian terakhir bis ini. Yang kutahu hanyalah aku ingin pergi jauh. Aku benci pada diriku sendiri. Aku terus berjalan, tetapi tidak ada satu tempat pun yang menerimaku dengan layak. Aku merasa seolah dunia memusuhiku.
Di jalan yang kupikir rata, mulus tanpa lubang maupun batu, ternyata aku masih tersandung. Tidak ada yang dapat dijadikan pegangan, dan sekali lagi aku terjatuh!
Mata yang terus melihat ke arah jendela yang berdebu tebal ini seolah menunjukkan bahwa pikiranku sedang melayang jauh. Satu persatu penumpang turun dari bis, dan aku pun ikut turun. Ternyata terminal Kampung Melayu. Aku membeli minuman dingin dan gorengan (yang kuyakin sangat berdebu karena tidak ditutup), sekedar untuk mencari alasan agar bisa tetap berada di sini lebih lama. Rambutku yang sudah berantakan semakin berantakan karena tertiup angin.
Aku menutupi mataku karena debu yang ikut beterbangan oleh angin yang berhembus. Entah seberapa tebal debu itu membedaki wajahku. Aku merasa wajahku lebih berat dari yang sebelumnya.
Aku menimbang-nimbang apakah sebaiknya kembali ke kosan atau kembali melanjutkan petualangan tanpa tujuan. Sudahlah, lebih baik aku kembali saja ke kosan, tidak enak juga rasanya memborong perjalanan sekaligus. Lagi pula mukaku sudah semakin gatal, begitu juga dengan kepalaku. Seolah ada ratusan kutu yang menggerogotinya. Toh, kembali ke kosan tetap harus naik kendaraan juga, kan.
***
Berbaring di kasur kecil sambil menatap langit-langit kamar kosan menjadi rutinitas sebelum tidur. Cat putih yang semakin kusam dan lampu yang mulai redup seperti melukiskan perasaanku saat ini. Seolah kami saling menatap dan mengasihani satu sama lain.
Aku mengangkat kakiku ke tembok , sedikit menghilangkan pegal. Semua benda yang ada di kamar ini menjadi saksi rutinitasku (yang kadang sangat membosankan). Jam berapa aku tidur, jam berapa aku bangun. Apa yang aku lakukan jika aku tidak bisa tidur (bolak-balik kanan kiri, atau bolak-balik mematikan dan menyalakan lampu), bahkan meletakkan buku di sampingku. Seolah buku itu dapat membacakan sendiri dongeng untukku.
Aku sedang bermimpi, aku sadar bahwa saat ini aku sedang tidur dan bermimpi. Mimpi yang menyedihkan, namun membuatku sangat rindu. Aku sadar, saat aku terbangun nanti mimpi ini pun akan segera berakhir. Aku ingin tetap menutup mataku, agar mimpi ini terus berlanjut. Namun aku pun sadar, pada akhirnya tetap aku yang terluka.
Perasaan rindu ini seperti perasaan orang yang sedang patah hati. Aku ingin duduk di ruang-ruang kosong kelas, atau duduk di atas balkon depan kamar memandang langit atau apapun, yang penting aku sendiri. Berjalan di lorong-lorong yang kadang sepi. Aku pun merindukan saat-saat itu. Entah kenapa saat ini aku ingin menangis. Bukan hanya pikiranku, namun juga hatiku melayang pada satu hal. Dapatkah aku menghilangkan semua ini untuk selamanya?
***
Melakukan pekerjaan di depan komputer terus-terusan sangat membosankan. Namun inilah yang harus aku lakukan. Entah kenapa aku dapat terjebak dalam situasi seperti ini.
Aku memalingkan wajahku ke luar jendela. Nampak kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang. Apakah mereka senang dengan pekerjaan yang mereka lakukan, apa mereka sering merasa jenuh? Aku dapat berjam-jam melakukan hal yang kusukai, namun melakukan pekerjaan ini beberapa menit saja sudah membuatku sangat lelah. Lagi-lagi aku berpikir, kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini?
Lalu lintas di luar sana sangat macet, suara klakson mobil-mobil yang tidak sabar menunggu giliran untuk maju semakin membuat suasana terlihat ruwet. Namun adakalanya bagiku begitu menikmati kemacetan di dalam bis. Juga menikmati kesendirian di tengah keramaian tanpa harus berbicara dan mendengar siapapun. Saat itu aku bebas (dan di saat itu pun aku sedih dan kesepian).
Kesendirian membuatku bertekad suatu saat nanti aku akan bangkit meski tanpa dirinya dan mereka. Ada banyak kendaraan menuju tempat yang sama, aku lah yang akan memilih kendaraan itu. Meski aku sendiri pun tak tahu kapan itu akan terjadi.
Ada banyak hinaan yang aku dapat, kesulitan dan hal yang tidak menyenangkan lainnya. Namun aku harus memendamnya seorang diri. Seperti angin kencang yang terus bertiup dan membuat daun-daun berguguran.
Tepukan tangan seseorang di pundakku menyadarkanku dari lamunanku.
"Ayo istirahat!" kata Yuli.
Aku pun tahu sebenarnya dia jenuh dengan pekerjaannya ini. Entah siapa diantara kami yang akan lebih dulu berhenti dari pekerjaan ini.
Aku ingin melakukan banyak hal. Melihat orang bekerja di tempat yang mereka impikan, seperti melihat impianku yang tidak tercapai.
Melihat orang dapat bernyanyi, menari atau memainkan alat musik, aku pun ingin. Namun sayangnya aku tidak memiliki kemampuan untuk itu.
Melihat orang yang dengan gampangnya keluar negeri, membuat aku bertanya seberapa banyak uang mereka. Semua itu adalah hal yang memang sejak dulu sangat aku impikan, namun hingga kini tidak bisa aku dapatkan. Lagi-lagi seperti patah hati. Seperti orang yang merasakan kegagalan hidup karena tidak mendapat dukungan dari siapa pun. Nyamuk itu menyukai tempat-tempat yang gelap. Seperti itulah mereka, mereka menyukai keadaanku yang suram.
Aku mendapat pekerjaan ini pun tidak dengan cepat, walaupun ini bukan pekerjaan yang kusukai. Intinya, hidupku ini membosankan.
Sungguh membosankan hingga membuatku ingin menangis. Sangat membosankan hingga membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Selalu membosankan, hingga aku ingin berkata namun tidak ada yang memedulikan.
Lalu untuk apa aku berada di sisi mereka. Di mana mereka saat aku sedih, saat aku susah, saat aku butuh, saat aku kesepian. Yang mereka pedulikan hanya diri mereka sendiri. Mereka tidak peduli aku senang atau tidak, yang penting mereka senang. Itulah mereka. Mereka tanpa aku, dan aku tanpa mereka. Lebih baik sendiri saja.
Masalah yang ada pada diriku yang kutahu dengan pasti adalah kepercayaan diri. Entah tertular dari siapa semua ini. Krisis kepercayaan diri itu seperti baju yang dibuat dengan bahan yang kusut. Walau disetrika dengan pelicin pun akan tetap kusut.
Aku seperti berkejar-kejaran dengan diriku sendiri. Walau sudah lelah namun belum menemukan garis finish. Aku menantang diriku sendiri, apa aku bisa memperoleh impianku sendiri atau tidak.
Bukankah mengecewakan diri sendiri itu akan lebih menyakitkan. Walau orang meremehkan aku, meski orang menghinaku, tapi aku yakin kalau aku bisa, dan akan aku buktikan bahwa apa yang aku peroleh bukan dari belas kasihan mereka.
Di satu sisi ada kalanya aku menjadi orang yang sangat optimis, namun di sisi lain aku orang yang sangst pesimis. Tentu saja aku tidak memiliki kepribadian ganda atau penyakit bipolar.
Ada hal tertentu yang membaut diriku seperti ini. Dan aku sangat membencinya.
Elphia, seorang perempuan yang pergi dari rumahnya ke desa kecil karena hubungannya dengan keluarganya tidak baik. Di desa itu, dia menghabiskan waktunya dengan melukis. Hingga suatu hari, dia bertemu dengan seorang pria muda yang menemaninya. Namun kebersamaan mereka berakhir karena sang pria meninggalkannya. Apakah mereka akan bertemu lagi?
Chelsea mengabdikan tiga tahun hidupnya untuk pacarnya, tetapi semuanya sia-sia. Dia melihatnya hanya sebagai gadis desa dan meninggalkannya di altar untuk bersama cinta sejatinya. Setelah ditinggalkan, Chelsea mendapatkan kembali identitasnya sebagai cucu dari orang terkaya di kota itu, mewarisi kekayaan triliunan rupiah, dan akhirnya naik ke puncak. Namun kesuksesannya mengundang rasa iri orang lain, dan orang-orang terus-menerus berusaha menjatuhkannya. Saat dia menangani pembuat onar ini satu per satu, Nicholas, yang terkenal karena kekejamannya, berdiri dan menyemangati dia. "Bagus sekali, Sayang!"
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.
“Aduh!!!” Ririn memekik merasakan beban yang amat berat menimpa tubuhnya. Kami berdua ambruk dia dengan posisi terlentang, aku menindihnya dan dada kami saling menempel erat. Sejenak mata kami bertemu, dadanya terasa kenyal mengganjal dadaku, wajahnya memerah nafasnya memburu, aku merasakan adikku mengeras di balik celana panjang ku, tiba-tiba dia mendesah. “Ahhh, Randy masukin aja!” pekik Ririn.
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.