/0/19195/coverbig.jpg?v=6be49551d226965e56eb7a0d461bd16b)
Cinta yang diperjuangkan selama ini pun akhirnya kandas juga!
Cinta yang diperjuangkan selama ini pun akhirnya kandas juga!
"Mas, apakah kamu mencintaiku?"
Pertanyaan itu kembali terucap dari bibirku. Menerobos begitu saja, sehingga membuat tatapan Mas Angga seakan menghujam ulu hati.
"Kamu menanyakan itu lagi? Apakah itu penting, Rum? Harusnya kamu lihat bagaimana aku berjuang mencari nafkah."
Aku hanya bisa menelan saliva, menunduk dalam-dalam. Seketika itu juga, kakiku bergetar merasa takut. Salah aku juga sudah memancing jengkel Mas Angga kembali.
Belum sempat aku pergi, Mas Anggara justru lebih dulu meninggalkanku. Huft! Ku hembuskan nafas yang sejak tadi mendesak. Agak plong, tetapi hatiku menjadi ngilu.
Memutar bola mata, agar genangan air bening yang mulai menggenang, tak jatuh mengotori wajah.
Tatapan pun aku alihkan pada Bilqis–putri kecil kami. Aku melangkah mendekati bayi enam bulan itu. Kuusap lembut kepalanya yang ditumbuhi rambut hitam yang indah. Untuk sesaat kesedihan pergi begitu saja.
Aku harus kuat! Meskipun Mas Angga tak pernah mengatakan kalimat yang aku rindukan itu. Setidaknya di depan mataku ada bukti. Ya, Bilqis adalah buah cinta kami.
Pernikahanku dengan Mas Angga bisa dikatakan masih seumur jagung. Bahkan, baru memasuki tahun kedua. Aku juga tidak pernah mengira, Allah justru menjodohkan aku pada pasangan yang dingin sepertinya.
Tidak ada kata ungkapan cinta. Tidak ada kata romantis, apalagi rayuan sekedar penarik bibir agar melengkung dengan senyuman yang manis. Kami memang dijodohkan, sehingga tidak pernah ada yang namanya pacaran. Jalan berdua seperti yang anak-anak muda lakukan. Jadi wajar bukan, jika aku tidak tahu bagaimana karakter dan tindak tanduknya.
Aku yang hanya anak yatim piatu pun, tidak mampu menolak tawaran dari Bu Yanti–pengurus panti. Semuanya berlangsung begitu cepat. Hanya lewat pertemuan yang tidak banyak, aku pun tidak banyak berontak. Aku yakin dengan pilihan Bu Yanti. Wanita itu sudah banyak berjasa padaku. Jadi, aku juga tidak mampu untuk menolak pilihannya.
Mas Angga hanyalah seorang teknisi listrik.
Namun, kala itu aku yakin sepenuhnya. Aku bisa bahagia hidup dengannya, dan dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Pernikahan kami berlangsung dengan sangat sederhana. Dilaksanakan di panti asuhan, tempat aku dibesarkan. Setelah aku halal menjadi istrinya, Mas Angga pun memboyong aku untuk tinggal seatap dengannya.
Walaupun hanya tinggal di rumah kontrakan sederhana. Setidaknya Mas Angga membuktikan dia sangat bertanggung jawab. Memberiku rumah untuk berteduh, dan memenuhi nafkah lahir dan juga batinku. Meskipun, tanpa kata ungkapan cinta yang selalu aku rindukan.
Tahun pertama pernikahan kami, semua terasa berat aku lalui. Impian memiliki pangeran yang bucin pada diriku, semua rontok oleh sikap Mas Angga. Aku terlalu obsesi atas cerita Bu Yanti semasa aku kecil dulu. Impian itu pun masih abu-abu. Apakah akan terwujud atau tidak akan pernah sama sekali.
Apa yang hendak aku katakan, ketika dia hendak memulai ritual bercinta pun, tak ada kata-kata indah yang membuat jantungku berdebar. Semua berlalu dan terjadi begitu saja.
Saat itu, aku pikir mungkin Mas Anggara masih malu-malu, atau mungkin belum terbiasa. Namun, setelah sekian bulan usai ijab kabul, tidak ada perubahan sedikitpun.
Aku masih terus berharap sikap cueknya sedikit demi sedikit terkikis oleh waktu. Ternyata tidak semudah itu. Sampai aku hamil anak pertama kami, bahkan sampai aku melahirkan.
Ketika tubuh bermandikan keringat, berjuang bertaruh nyawa, Mas Angga tak juga menyatakan rasa cintanya padaku. Dia hanya tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Setelah itu dia fokus pada Bilqis.
Aku hanya mengelus dada, seraya terus berdoa suatu saat Mas Angga mau berubah jadi pangeran impianku, seperti keinginan sewaktu aku kecil dulu.
Semoga saja.
*****
Pagi yang cerah menyambut hatiku yang hampa. Mempersiapkan bekal untuk Mas Angga, kemudian memandikan si kecil Bilqis.
Mas Angga tidak suka, apabila aku bangun terlambat, dan Bilqis belum wangi sebelum dia berangkat kerja.
"Mas, semuanya sudah siap. Mas mau sarapan dulu?"
Aku bertanya, seraya tersenyum semanis mungkin. Tentu saja aku tidak lupa memoles bibir dengan lipstik, dan membedaki wajah tipis-tipis. Wangi semerbak pun tidak ketinggalan. Aku selalu memakai parfum usai membereskan semuanya.
Itu aku lakukan untuk memikat hati sang pangeran.
"Tidak usah, Rum. Terima kasih."
Angga langsung mengambil tas kerjanya, tidak lupa dia menggendong Bilqis sebentar. Kemudian, dia segera pergi setelah memakai sepatu.
Aku hantarkan Mas Angga ke depan pintu, sambil menggendong Bilqis. Melambaikan tangan melepas kepergiannya.
Tidak ada kecupan di dahi. Tidak ada senyuman sebelum pergi. Tidak ada juga pelukan atau usapan lembut di ubun-ubun.
Aku masih bertahan menunggu saat indah itu tiba.
Tidak ingin berlama-lama di ambang pintu, aku segera masuk ke dalam kontrakan. Menyiapkan makan Bilqis yang sudah siap untuk disajikan, karena sudah siap aku masak.
Menyuapi Bilqis sambil terus memikirkan Mas Angga. Hati terus bertanya-tanya, kenapa dan kenapa. Aku rasa, aku tidak jelek untuk standar kecantikan wanita Indonesia. Aku ingin tahu sebabnya, niat untuk bicara hati ke hati pun terlintas.
"Hmmm mmmm ammm."
Celoteh Bilqis menyadarkan lamunan. Aku kembali memusatkan perhatian pada Bilqis. Saat ini, pasti Bilqis sangat membutuhkanku. Tidak ingin, kebucinan justru mencelakakan sang buah hati.
*****
Ketukan pintu yang terdengar nyaring membuatku bergegas keluar kamar. Acara ngelonin Bilqis segera aku akhiri. Lagipula bayi enam bulan itu sudah tertidur dengan sangat pulas.
Pintu terbuka, Mas Angga masuk setelah membuka sepatunya. Aku menyambut tas kerjanya dengan suka cita, dan kembali menutup pintu.
Semerbak bau keringat bukti perjuangannya untuk aku dan Bilqis, menguar begitu saja. Itu tidak pernah menjadi masalah untukku.
"Mas mau mandi dulu apa gimana?"
"Hmm, Bilqis sudah tidur?" tanya Mas Angga.
Bukannya menjawab pertanyaan yang diutarakan, Mas Angga malah balik melemparkan pertanyaan.
"Bilqis sudah tidur Mas."
"Baguslah," ucap Mas Angga melangkah ke kamar.
Ketika aku membereskan sepatu dan tas kerjanya, panggilan dari Mas Angga membuatku bergegas melangkah. Memasuki kamar dengan senyuman yang merekah.
"Ada apa, Mas?"
"Mumpung Bilqis sedang tidur, Rum."
Mas Angga berdialog dengan tatapan datar. Tak ada senyuman dari bibirnya yang seksi.
"Mas nggak mandi dulu? Biar lebih segar."
Aku berusaha mengingatkannya, bahwa dia baru pulang kerja dan masih bau keringat.
"Memangnya kenapa kalau belum mandi, Rum? Kamu keberatan?"
Aku memilih diam. Kalau sudah begitu, mengalah akan menjadi pilihan.
Aku sudah sangat paham apa yang diinginkan Mas Angga. Segera mengangguk untuk memenuhi ajakannya. Kalau bukan karena aku mencintainya, tentu saja aku akan menolak ajakannya. Bagaimanapun bau keringatnya membuatku tak nyaman. Namun, aku tidak ingin mempermasalahkan semua itu.
Suasana kamar berubah menjadi gelap. Itulah yang akan terjadi di setiap ritual ibadah kami. Mas Angga sudah membuka baju dan celana jeansnya. Aku segera membuka pakaian yang menempel di tubuh. Kemudian, segera mengambil posisi.
Aku terima semua sentuhan Mas Angga dengan perasaan yang bercampur aduk. Rasa tak enak bercampur dengan rasa ingin membuatnya bahagia. Aku tidak ingin Mas Angga kecewa.
Mas Angga sudah bersiap di posisinya, setelah melakukan pemanasan yang singkat. Sebenarnya aku belum siap, tetapi memilih mengalah agar Mas Angga tak kecewa.
Rasa perih dan tak nyaman sedikit aku rasakan, karena tubuh intim belum sepenuhnya siap untuk dimasuki. Namun, milik Mas Angga sudah terlanjur bersarang di dalam sana.
Tidak ada yang bisa aku lakukan, selain hanya berpura-pura menikmati permainan. Lagi, aku tidak ingin membuatnya kecewa. Beberapa saat berlalu, aku pun berpura-pura klimaks. Setelah itu disusul oleh erangan Mas Angga. Dia pun menindih tubuhku begitu saja.
Jari pun memilih untuk mengusap lembut, punggungnya yang basah oleh keringat. Setelah itu Mas Angga berguling ke samping.
Hening! Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Mas Angga. Begitu juga aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya mencoba mengobati luka hatiku. Berperang dengan perasaan dan logika.
Apakah hubungan kami ini masih wajar? Mas Angga seakan tidak peduli akan apa yang aku rasakan. Di buku-buku novel yang aku baca, seharusnya setelah berhubungan Intim, pasangan suami istri akan mengobrol dan saling berpelukan. Sementara Mas Angga?
Sejurus kemudian, dengkuran Mas Angga membuatku semakin terusik. Pertanyaan yang sama pun kembali muncul.
"Apakah Mas Angga mencintaiku?" aku bertanya di dalam hati.
Percuma bertanya pada diri sendiri, aku pun hendak bangkit dari sisi Mas Angga. Namun, belum sempat aku bangun, Mas Angga mengucapkan kalimat yang membuatku terkejut. Aku tertegun.
"Mas Angga, apa yang kamu ucapkan?"
Bersambung ....
Setelah resmi menjadi janda, Rahma harus berjuang seorang diri untuk menghidupi anak semata wayangnya. Rahma rela melakukan kerja apa saja, yang penting halal. Suatu malam, musibah datang menghampirinya. Rahma kecelakaan, tetapi musibah itu justru mempertemukannya dengan Rian--pemuda tampan yang baik hati. Pertemuan itu, lambat laun menghadirkan kenyamanan di antara mereka. Namun, ternyata status sosial, dan perbedaan agama membuat hubungan mereka ditentang. Omah--nenek Rian memberikan sebuah syarat pada keduanya. Jika mereka bisa melewati syarat itu, maka barulah mereka bisa menjalin hubungan. Bagimanakah perjuangan Rahma dan Rian dalam menyatukan cinta mereka? Simak kelanjutannya di cerita ini. Jangan lupa rate bintang 5 dan komentar yang bagus, ya. Terima kasih.
Kisah istri yang berjuang membalas sakit hatinya, setelah dikhianati sang suami.
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
Kirani dipaksa menikah dengan Devon, seorang preman terkenal. Adik perempuannya mengejeknya, "Kamu hanya anak angkat. Nasibmu benar-benar sial karena menikah dengannya!" Dunia mengantisipasi kesengsaraan Kirani, tetapi kehidupan pernikahannya ternyata disambut dengan ketenangan yang tak terduga. Dia bahkan menyambar rumah mewah dalam undian! Kirani melompat ke pelukan Devon, memujinya sebagai jimat keberuntungannya. "Tidak, Kirani, kamulah yang memberiku semua keberuntungan ini," jawab Devon. Kemudian, suatu hari yang menentukan, teman masa kecil Devon mendatanginya. "Kamu tidak layak untuknya. Ambil seratus miliar ini dan tinggalkan dia!" Kirani akhirnya memahami perawakan sejati Devon, orang terkaya di planet ini. Malam harinya, gemetar karena gentar, dia membicarakan masalah perceraian dengan Devon. Namun, dengan pelukan yang mendominasi, pria itu mengatakan kepadanya, "Aku akan memberikan semua yang kumiliki. Perceraian tidak bisa dilakukan!"
Ketika Nadia mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu Raul tentang kehamilannya, dia tiba-tiba mendapati pria itu dengan gagah membantu wanita lain dari mobilnya. Hatinya tenggelam ketika tiga tahun upaya untuk mengamankan cintanya hancur di depan matanya, memaksanya untuk meninggalkannya. Tiga tahun kemudian, kehidupan telah membawa Nadia ke jalan baru dengan orang lain, sementara Raul dibiarkan bergulat dengan penyesalan. Memanfaatkan momen kerentanan, dia memohon, "Nadia, mari kita menikah." Sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, Nadia dengan lembut menjawab, "Maaf, aku sudah bertunangan."
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
© 2018-now Bakisah
TOP