/0/19195/coverbig.jpg?v=6be49551d226965e56eb7a0d461bd16b)
Cinta yang diperjuangkan selama ini pun akhirnya kandas juga!
"Mas, apakah kamu mencintaiku?"
Pertanyaan itu kembali terucap dari bibirku. Menerobos begitu saja, sehingga membuat tatapan Mas Angga seakan menghujam ulu hati.
"Kamu menanyakan itu lagi? Apakah itu penting, Rum? Harusnya kamu lihat bagaimana aku berjuang mencari nafkah."
Aku hanya bisa menelan saliva, menunduk dalam-dalam. Seketika itu juga, kakiku bergetar merasa takut. Salah aku juga sudah memancing jengkel Mas Angga kembali.
Belum sempat aku pergi, Mas Anggara justru lebih dulu meninggalkanku. Huft! Ku hembuskan nafas yang sejak tadi mendesak. Agak plong, tetapi hatiku menjadi ngilu.
Memutar bola mata, agar genangan air bening yang mulai menggenang, tak jatuh mengotori wajah.
Tatapan pun aku alihkan pada Bilqis–putri kecil kami. Aku melangkah mendekati bayi enam bulan itu. Kuusap lembut kepalanya yang ditumbuhi rambut hitam yang indah. Untuk sesaat kesedihan pergi begitu saja.
Aku harus kuat! Meskipun Mas Angga tak pernah mengatakan kalimat yang aku rindukan itu. Setidaknya di depan mataku ada bukti. Ya, Bilqis adalah buah cinta kami.
Pernikahanku dengan Mas Angga bisa dikatakan masih seumur jagung. Bahkan, baru memasuki tahun kedua. Aku juga tidak pernah mengira, Allah justru menjodohkan aku pada pasangan yang dingin sepertinya.
Tidak ada kata ungkapan cinta. Tidak ada kata romantis, apalagi rayuan sekedar penarik bibir agar melengkung dengan senyuman yang manis. Kami memang dijodohkan, sehingga tidak pernah ada yang namanya pacaran. Jalan berdua seperti yang anak-anak muda lakukan. Jadi wajar bukan, jika aku tidak tahu bagaimana karakter dan tindak tanduknya.
Aku yang hanya anak yatim piatu pun, tidak mampu menolak tawaran dari Bu Yanti–pengurus panti. Semuanya berlangsung begitu cepat. Hanya lewat pertemuan yang tidak banyak, aku pun tidak banyak berontak. Aku yakin dengan pilihan Bu Yanti. Wanita itu sudah banyak berjasa padaku. Jadi, aku juga tidak mampu untuk menolak pilihannya.
Mas Angga hanyalah seorang teknisi listrik.
Namun, kala itu aku yakin sepenuhnya. Aku bisa bahagia hidup dengannya, dan dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Pernikahan kami berlangsung dengan sangat sederhana. Dilaksanakan di panti asuhan, tempat aku dibesarkan. Setelah aku halal menjadi istrinya, Mas Angga pun memboyong aku untuk tinggal seatap dengannya.
Walaupun hanya tinggal di rumah kontrakan sederhana. Setidaknya Mas Angga membuktikan dia sangat bertanggung jawab. Memberiku rumah untuk berteduh, dan memenuhi nafkah lahir dan juga batinku. Meskipun, tanpa kata ungkapan cinta yang selalu aku rindukan.
Tahun pertama pernikahan kami, semua terasa berat aku lalui. Impian memiliki pangeran yang bucin pada diriku, semua rontok oleh sikap Mas Angga. Aku terlalu obsesi atas cerita Bu Yanti semasa aku kecil dulu. Impian itu pun masih abu-abu. Apakah akan terwujud atau tidak akan pernah sama sekali.
Apa yang hendak aku katakan, ketika dia hendak memulai ritual bercinta pun, tak ada kata-kata indah yang membuat jantungku berdebar. Semua berlalu dan terjadi begitu saja.
Saat itu, aku pikir mungkin Mas Anggara masih malu-malu, atau mungkin belum terbiasa. Namun, setelah sekian bulan usai ijab kabul, tidak ada perubahan sedikitpun.
Aku masih terus berharap sikap cueknya sedikit demi sedikit terkikis oleh waktu. Ternyata tidak semudah itu. Sampai aku hamil anak pertama kami, bahkan sampai aku melahirkan.
Ketika tubuh bermandikan keringat, berjuang bertaruh nyawa, Mas Angga tak juga menyatakan rasa cintanya padaku. Dia hanya tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Setelah itu dia fokus pada Bilqis.
Aku hanya mengelus dada, seraya terus berdoa suatu saat Mas Angga mau berubah jadi pangeran impianku, seperti keinginan sewaktu aku kecil dulu.
Semoga saja.
*****
Pagi yang cerah menyambut hatiku yang hampa. Mempersiapkan bekal untuk Mas Angga, kemudian memandikan si kecil Bilqis.
Mas Angga tidak suka, apabila aku bangun terlambat, dan Bilqis belum wangi sebelum dia berangkat kerja.
"Mas, semuanya sudah siap. Mas mau sarapan dulu?"
Aku bertanya, seraya tersenyum semanis mungkin. Tentu saja aku tidak lupa memoles bibir dengan lipstik, dan membedaki wajah tipis-tipis. Wangi semerbak pun tidak ketinggalan. Aku selalu memakai parfum usai membereskan semuanya.
Itu aku lakukan untuk memikat hati sang pangeran.
"Tidak usah, Rum. Terima kasih."
Angga langsung mengambil tas kerjanya, tidak lupa dia menggendong Bilqis sebentar. Kemudian, dia segera pergi setelah memakai sepatu.
Aku hantarkan Mas Angga ke depan pintu, sambil menggendong Bilqis. Melambaikan tangan melepas kepergiannya.
Tidak ada kecupan di dahi. Tidak ada senyuman sebelum pergi. Tidak ada juga pelukan atau usapan lembut di ubun-ubun.
Aku masih bertahan menunggu saat indah itu tiba.
Tidak ingin berlama-lama di ambang pintu, aku segera masuk ke dalam kontrakan. Menyiapkan makan Bilqis yang sudah siap untuk disajikan, karena sudah siap aku masak.
Menyuapi Bilqis sambil terus memikirkan Mas Angga. Hati terus bertanya-tanya, kenapa dan kenapa. Aku rasa, aku tidak jelek untuk standar kecantikan wanita Indonesia. Aku ingin tahu sebabnya, niat untuk bicara hati ke hati pun terlintas.
"Hmmm mmmm ammm."
Celoteh Bilqis menyadarkan lamunan. Aku kembali memusatkan perhatian pada Bilqis. Saat ini, pasti Bilqis sangat membutuhkanku. Tidak ingin, kebucinan justru mencelakakan sang buah hati.
*****
Ketukan pintu yang terdengar nyaring membuatku bergegas keluar kamar. Acara ngelonin Bilqis segera aku akhiri. Lagipula bayi enam bulan itu sudah tertidur dengan sangat pulas.
Pintu terbuka, Mas Angga masuk setelah membuka sepatunya. Aku menyambut tas kerjanya dengan suka cita, dan kembali menutup pintu.
Semerbak bau keringat bukti perjuangannya untuk aku dan Bilqis, menguar begitu saja. Itu tidak pernah menjadi masalah untukku.
"Mas mau mandi dulu apa gimana?"
"Hmm, Bilqis sudah tidur?" tanya Mas Angga.
Bukannya menjawab pertanyaan yang diutarakan, Mas Angga malah balik melemparkan pertanyaan.
"Bilqis sudah tidur Mas."
"Baguslah," ucap Mas Angga melangkah ke kamar.
Ketika aku membereskan sepatu dan tas kerjanya, panggilan dari Mas Angga membuatku bergegas melangkah. Memasuki kamar dengan senyuman yang merekah.
"Ada apa, Mas?"
"Mumpung Bilqis sedang tidur, Rum."
Mas Angga berdialog dengan tatapan datar. Tak ada senyuman dari bibirnya yang seksi.
"Mas nggak mandi dulu? Biar lebih segar."
Aku berusaha mengingatkannya, bahwa dia baru pulang kerja dan masih bau keringat.
"Memangnya kenapa kalau belum mandi, Rum? Kamu keberatan?"
Aku memilih diam. Kalau sudah begitu, mengalah akan menjadi pilihan.
Aku sudah sangat paham apa yang diinginkan Mas Angga. Segera mengangguk untuk memenuhi ajakannya. Kalau bukan karena aku mencintainya, tentu saja aku akan menolak ajakannya. Bagaimanapun bau keringatnya membuatku tak nyaman. Namun, aku tidak ingin mempermasalahkan semua itu.
Suasana kamar berubah menjadi gelap. Itulah yang akan terjadi di setiap ritual ibadah kami. Mas Angga sudah membuka baju dan celana jeansnya. Aku segera membuka pakaian yang menempel di tubuh. Kemudian, segera mengambil posisi.
Aku terima semua sentuhan Mas Angga dengan perasaan yang bercampur aduk. Rasa tak enak bercampur dengan rasa ingin membuatnya bahagia. Aku tidak ingin Mas Angga kecewa.
Mas Angga sudah bersiap di posisinya, setelah melakukan pemanasan yang singkat. Sebenarnya aku belum siap, tetapi memilih mengalah agar Mas Angga tak kecewa.
Rasa perih dan tak nyaman sedikit aku rasakan, karena tubuh intim belum sepenuhnya siap untuk dimasuki. Namun, milik Mas Angga sudah terlanjur bersarang di dalam sana.
Tidak ada yang bisa aku lakukan, selain hanya berpura-pura menikmati permainan. Lagi, aku tidak ingin membuatnya kecewa. Beberapa saat berlalu, aku pun berpura-pura klimaks. Setelah itu disusul oleh erangan Mas Angga. Dia pun menindih tubuhku begitu saja.
Jari pun memilih untuk mengusap lembut, punggungnya yang basah oleh keringat. Setelah itu Mas Angga berguling ke samping.
Hening! Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Mas Angga. Begitu juga aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya mencoba mengobati luka hatiku. Berperang dengan perasaan dan logika.
Apakah hubungan kami ini masih wajar? Mas Angga seakan tidak peduli akan apa yang aku rasakan. Di buku-buku novel yang aku baca, seharusnya setelah berhubungan Intim, pasangan suami istri akan mengobrol dan saling berpelukan. Sementara Mas Angga?
Sejurus kemudian, dengkuran Mas Angga membuatku semakin terusik. Pertanyaan yang sama pun kembali muncul.
"Apakah Mas Angga mencintaiku?" aku bertanya di dalam hati.
Percuma bertanya pada diri sendiri, aku pun hendak bangkit dari sisi Mas Angga. Namun, belum sempat aku bangun, Mas Angga mengucapkan kalimat yang membuatku terkejut. Aku tertegun.
"Mas Angga, apa yang kamu ucapkan?"
Bersambung ....
Warning! Bijaklah dalam memilih bacaan. Cerita ini mengandung unsur kenikmatan yang membuat ketagihan.
Setelah menjadi yatim, Inayah harus ikut andil menjadi tulang punggung keluarga. Hal itulah yang membuatnya nekat merantau di usia 17 tahun. Inayah menjadi asisten rumah tangga muda di rumah keluarga Edric Dawson. Keluarga kaya raya, tetapi jauh dari kata harmonis. Malapetaka besar itu muncul, ketika Edric memaksa Inayah melayani hasrat seksualnya. Hubungan yang berawal dari ancaman dan paksaan itu, akhirnya terpaksa Inayah jalani. Kelembutan sikap Edric pada Inayah, membuat wanita belia itu mulai terbiasa. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu Inayah mulai tak nyaman. Tiba-tiba dia terlambat datang bulan. Sejak saat itulah rasa waswas dan takut kembali mengahantui Inayah. Bagaimana kelanjutan hidup Inayah? Apakah dia akan mengandung anak majikannya? Bagaimana Inayah bisa lepas dari permainan nasib itu? Kehidupan yang jelas-jelas bertentangan dengan aturan agama yang dia anut.
Setelah resmi menjadi janda, Rahma harus berjuang seorang diri untuk menghidupi anak semata wayangnya. Rahma rela melakukan kerja apa saja, yang penting halal. Suatu malam, musibah datang menghampirinya. Rahma kecelakaan, tetapi musibah itu justru mempertemukannya dengan Rian--pemuda tampan yang baik hati. Pertemuan itu, lambat laun menghadirkan kenyamanan di antara mereka. Namun, ternyata status sosial, dan perbedaan agama membuat hubungan mereka ditentang. Omah--nenek Rian memberikan sebuah syarat pada keduanya. Jika mereka bisa melewati syarat itu, maka barulah mereka bisa menjalin hubungan. Bagimanakah perjuangan Rahma dan Rian dalam menyatukan cinta mereka? Simak kelanjutannya di cerita ini. Jangan lupa rate bintang 5 dan komentar yang bagus, ya. Terima kasih.
Kisah istri yang berjuang membalas sakit hatinya, setelah dikhianati sang suami.
Tampan dan rupawan, tetapi miskin. Membuat Ikhsan harus menggadaikan cintanya. Cinta dari wanita pertama yang mengisi separuh hatinya. Ambisi ingin segera punya uang banyak, membuatnya melangkahkan kaki ke kota besar. Namun, ternyata langkahnya itu justru awal dari berakhirnya kisah cintanya. Ikhsan terpaksa menikahi anak bosnya, dan memutuskan hubungan sebelah pihak. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Apakah dia akan bertemu kembali dengan cintanya yang dulu? Simak kisah lanjutannya di sini.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.