/0/19544/coverbig.jpg?v=35c997e86f9a5ecedaa53a92ceb930c8)
Wira menemui pacarnya yang ia kenal secara online, ia berpikir jika pacarnya itu amat menyayanginya, tetapi ternyata...
[Bang, turunnya di mana nih?]
[Di pasar dek, bilang aja gitu sama sopirnya]
[Oke bang]
"Bang, turun di pasar ya." Katanya seorang gadis kepada sopir travel itu.
"Pasar udah lewat dek."
"Serius bang?"
"Iya dek, pasar udah lewat dari tadi."
"Yaudah, kalau gitu di sini aja deh bang."
Gadis itu segera turun dengan membawa barang-barangnya, kembali menghubungi sang pacar.
[Bang, aku udah turun, tetapi pasarya udah lewat kata abang itu]
Ia mulai merasa cemas karena tak mengenal daerah itu sama sekali, apalagi ini kali pertamanya ia datang ke daerah ini.
[Kamu di mana sekarang?]
[Aku nggak tau bang, pokoknya udah lewat pasar]
Ia kembali merengek, takut tersesat di kampung orang dan tak jadi bertemu dengan sang kekasih.
[Sekarang kamu lihat sekeliling kamu, apa yang ada di sana?]
Gadis itu lansung melihat ke kiri dan ke kanan untuk mencari petunjuk.
[Aku ada di sebelah toko serb 35, yang ada di dekat tower tiga buah itu]
[Oke, kamu tunggu aja di sana, abang jemput kamu ke sana sekarang]
Panggilan wa itu terputus, dan tak lama setelah itu ada langgilan masuk lagi.
[Hallo]
[Wira, kamu udah sampai?] Tanya sang ayah yang sudah sanagt cemas sekali di rumah karena putrinya pergi sendirian ke daerah yang belum pernah ia datangi sebelumnya.
[Udah yah]
[Terus mana Amri? Ayah mau bicara]
[Dia masih di jalan menuju ke sini untuk jemput aku, karena tadi dia nunggunya di pasar, tadi mobilnya kelewat dari pasar itu]
Wira lansung saja menjelaskan karena ia yakin jika orang tuanya pasti akan sangat khawatir sekali dengannya.
[Yaudah kalau gitu, nanti telvon ayah lagi kalau udah sampai]
[Oke yah]
Panggilan kembali terputus, gadis itu lansung meletakkan hp nya kembali ke dalam tas.
"Aku buang di sini ajalah muntahnya." Ia lansung saja membuang kantong kresek yang berisi muntahnya itu.
Ia berusaha untuk menghilangkan rasa sakit yang ada di kepalanya itu akibat terlalu lama dalam mobil.
'Akhirnya.'
Gadis yang baru berusia sekitar 24 tahun itu nampak sangat bersemangat sekali, meski masih ada sedikit rasa mual yang tak kunjung pergi darinya.
Ini kali pertamanya ia akan bertemu dengan pacarnya setelah mereka pacaran selama dua tahun secara online saja.
Gadis itu tak lain adalah Wira, ia kenal dengan sanga pacar melalui fb, dan hubungan mereka berlanjut tetapi pacarnya itu selalu tak bisa menemuinya dengan banyak alasan.
Karena ia sudah sangat mencintai sang pacar dan keinginan yang besar untuk menikah, maka ia memberanikan diri untuk datang menemui sang kekasih ke kampung halamannya meski ia belum pernah ke sana sekalipun.
Pacarnya berjanji, jika ia berani untuk datang ke sana, maka pacarnya itu akan menikahinya tahun itu juga dan takkan mempermasalahkan kekurangan apapun juga yang ada pada Wira.
"Aku udah cantik belum ya?" Wira mulai mengeluarkan cermin kecil yang ada di dalam tasnya, dan mulai berdandan di pinggir jalan itu.
Perjalanan yang ia tempuh sekitar 15 jam naik mobil, dan ia berusah meyakinkan orang tuanya untuk pergi ke sana.
Selama perjalanan ia selalu muntah, tetapi demi bertemu dengan sang kekasih, ia berusaha untuk kuat.
Setelah merasa rapi, ia kembali duduk sembari memandangi orang-orang yang terus lalu lalang di jalanan itu.
"Aku udah nggak sabar pengen ketemu sama kamu bang." Ia kembali senyum-senyum sendiri sembari melihat foto pacarnya itu.
Ia sudah tak tahan lagi jika hanya pacaran secara online saja, apalagi sekarang ia sudah malas bekerja dan ingin ada orang yang bisa menafkahinya.
"Wira?" Sapa seorang pemuda yang menghentikan motornya tepat di hadapan Wira.
Wira pun menoleh dan nampak kaget saat melihat orang yang sudah berada di depannya itu.
"Abang?"
"Iya, ini abang." Pemuda itu lansung menghampirinya.
Wira lansung saja bersalaman dengannya, dan tersenyum bahagia sekali.
"Akhirnya kita ketemu juga bang." Ia sangat terharu sekali.
"Iya calon istriku."
Wira tak bisa berhenti memandangi wajah kekasihnya itu yang begitu tampan sekali, bahkan lebih tampan dari yang biasa ia lihat di foto dan juga video.
"Kenapa?" Tanya sang pacar.
"Kamu ganteng bangat."
"Apaan sih kamu ini, kita lansung aja ke rumahku yuk."
"Ayok bang."
Mereka berdua lansung pergi, selama di perjalanan, Wira tak bisa berhenti tersenyum.
"Rumah kamu jauh bang?"
"Lumayanlah." Jawabnya sembari terus melajukan motornya.
Selama perjalanan, Wira tak bisa fokus, ia hanya fokus kepada Hendri yang merupakan pacarnya itu.
Hendri terus mengendarai motornya melewati kebun sawit yang banyak itu.
Tak ada rumah penduduk yang terlihat di sekitar kebun sawit itu.
Hari juga sudah hampir magrib, burung-burungpun sudah kembali ke sarangnya.
Ia terus melajukan motornya, hingga sampai di sebuah rumah yang berada di dalam kebun sawit itu.
"Kita sudah sampai."
Wirapun segera turun dan melihat sekelilingnya yang sudah dipenuhi oleh sawit saja.
"Itu rumah kamu?" Tanya Wira nampak tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat itu.
"Iya dek, itu rumah abang." Jawabnya meyakinkan.
"Abang kok nggak pernah bilang kalau rumah abang itu di kebun sawit?" Wira mulai nampak curiga.
"Abang takut kalau nanti kamu nggak akan mau ke sini kalau rumah abang di dalam kebun sawit."
"Ya ampun bang, aku nggak pernah mempermasalahkan di manapun rumah abang, yang penting kamu jujur sama aku." Wira kembali merasa lega.
"Iya sayang, maafin aku ya."
"Iya."
Mereka berduapun segera masuk ke dalam rumah itu.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Jawab orang-orang yang ada di dalam.
"Masuk aja."
"Iya bang."
Wira pun segera masuk ke dalam rumah itu, dan Hendri lansung mengunci pintu rumah itu rapat-rapat.
Hanya ada beberapa orang pemuda yang ada di sana, Wira nampak kaget sekali.
"Bang, ibu kamu mana?" Tanyanya yang mulai merasa tak nyaman.
"Ibu lagi pergi, kita tunggu aja ya." Hendri kembali berusaha untuk meyakinkan.
Wira percaya begitu saja kepada Hendri meski ia juga merasa sedikit takut karena tak ada orang tuanya Hendri di sana.
"Kamu mau minum?" Tanya Hendri kepada sang kekasihnya itu.
"Nggak usah bang."
"Yaudah kalau gitu." Hendri mulai menggenggam tangannya Wira di hadapan para pemuda itu.
"Bang, jangan gitu, aku malu dilihatin sama mereka." Bisik Wira yang merasa tak enak dipandangi terus sama para pemuda itu.
"Kamu nggak usah malu, nanti mereka juga akan lihat kamu lebih dari itu."
"Maksud kamu?" Wira lansung menarik tangannya dari genggaman Hnedri.
"Kamu itu cantik sayang, mereka jugq udah tau kok kalau kamu itu pacar aku, jadi santai aja ya." Hendri kembali menggenggam tangannya Wira.
"Semua pintu udah ditutupkan?" Tanya Hendri kepada para pemuda yang ada di sana.
"Udah kok, aman bos." Jawab mereka dengan dengan senyuman penuh misteri.
"Baguslah kalau gitu." Hendri pun membalas senyuman mereka.
"Sayang, aku anterin kamu ke kamar ya, kamu istirahat dulu sambil nunggu ibu di dalam."
"Iya bang."
Hendri pun lansung mengantarkan Wira ke dalam kamar dan mengunci kamar itu.
"Bang, mereka itu siapa?" Tanya Wira yang masih merasa sedikit cemas.
"Mereka itu teman-teman abang dek."
"Ooh." Wira hanya mengangguk-angguk saja.
"Kamu pakao baju ini ya dek." Hendri lansung memberikan sebuah baju kepada Wira.
Wira lansung menerima baju itu dan kaget saat melihat baju yag kurang bahan itu.
"Baju ini bang?" Tanyanya sedikit ragu.
"Iya baju itu, kamu ganti ya."
"Tapi baju ini kurang bahan bang, nggak mungkin juga aku pakai baju ini menemui orang tua kamu nanti."
"Sayang, kamu mau jadi istri aku kan?"
"Iya."
"Kalau gitu kamu pakai bajunya sekarang ya, dan istirahat, nanti aku bangunin kalau ibu udah pulang."
"Iya sayang." Hendri pun lansung keluar dan mengunci pintu kamar itu.
Semua harapan yang pernah ada dihancurkan oleh kebodohannya sendiri, penghianatan dari pacarnya membuat gadis yang bernama Maria harus menahan derita. Ia hamil tanpa seorang suami dan hal itu membuat kedua orang tuanya meninggal karena tak sanggup lagi mendengarkan perkataan orang lain.
Pernahkah kalian berpikir jika yang kita lihat di dalam cermin pada saat kita bercermin itu bukanlah kita, melainkan mereka dari dimensi lain yang ingin menipu kita? Benarkah wajah yang kita lihat di cermin itu wajah kita sendiri? Bukankah kita tak pernah sekalipun melihat wajah kita sendiri secara lansung tanpa media apapun? Inilah yang selalu aku pikirkan pada saat hendak bercermin, bagiku menatap cermin itu adalah sesuatu hal yang amat menakutkan. Lebih tepatnya, semenjak kejadian yang menakutkan yang pernah aku alami maka saat itu juga aku tak pernah lagi menatap cermin. Semuanya mengubah sudut pandangku tentang cermin.
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
Livia ditinggalkan oleh calon suaminya yang kabur dengan wanita lain. Marah, dia menarik orang asing dan berkata, "Ayo menikah!" Dia bertindak berdasarkan dorongan hati, terlambat menyadari bahwa suami barunya adalah si bajingan terkenal, Kiran. Publik menertawakannya, dan bahkan mantannya yang melarikan diri menawarkan untuk berbaikan. Namun Livia mengejeknya. "Suamiku dan aku saling mencintai!" Semua orang mengira dia sedang berkhayal. Kemudian Kiran terungkap sebagai orang terkaya di dunia.Di depan semua orang, dia berlutut dan mengangkat cincin berlian yang menakjubkan. "Aku menantikan kehidupan kita selamanya, Sayang."
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Pernikahan tiga tahun tidak meninggalkan apa pun selain keputusasaan. Dia dipaksa untuk menandatangani perjanjian perceraian saat dia hamil. Penyesalan memenuhi hatinya saat dia menyaksikan betapa kejamnya pria itu. Tidak sampai dia pergi, barulah pria itu menyadari bahwa sang wanita adalah orang yang benar-benar dia cintai. Tidak ada cara mudah untuk menyembuhkan patah hati, jadi dia memutuskan untuk menghujaninya dengan cinta tanpa batas.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.