/0/19596/coverbig.jpg?v=20241030112344)
Apakah sebuah jaji itu bisa mempertemukan dua hati yang saling dan pernah tersakiti? Dan apakah sebuah janji bisa merubah semuanya yang semula bermula dari cerita kisah yang sama? Serta mungkinkah dua hati bisa menyatu untuk saling memiliki meskipun tidak pernah ada janji dari sebuah kisah cinta yang berbeda? Entahlah . . . "Kita menikah karena sebuah perjodohan, benar begitu?" "Ya dan apa yang perlu di permasalahkan? Cinta? Lagian aku juga gak akan pernah mencintaimu juga." Rain Octaviani, seorang gadis yang masih belia dan di usia yang hampir dua puluh tahun itu telah menikah dengan seorang yang selalu bertemu dengannya dan bahkan dia tak mengetahui perjodohan yang telah dilakukan oleh kedua orangtuanya tersebut dengan seorang laki-laki yang umurnya hampir menyetuh umur tiga puluh tahun dan tentunya terlahir dari keluarga kaya raya , Dion Langit Anggara. Mereka berdua telah dijodohkan sejak kedua orangtua mereka yang telah bersahabat lama tetapi kini Rain harus menerima semua keputusan keluarganya untuk menikah dengan Dion. Padahal mereka berdua tidak saling mencintai karena beberapa kenangan dan sebuah luka lama . . . "Yaela, siapa juga yang mau jatuh cinta dengan cowok kulkas macam dirimu, kita menikah hanya sebuah syarat juga bukan dan setelah itu kita akhiri semuanya," ucap Rain sembari membersihkan make up nya. Sebelumnya mereka berdua adalah dua orang yang tak mungkin akan bersatu dalam sebuah pernikahan tetapi karena adanya perjodohan dari ke-dua keluarga besar mereka, tetapi bukan hanya perjodohan. Rain Octaviani yang dulu memiliki kekasih dengan seorang laki-laki yang begitu membuatnya jatuh hati, Dewa Geofani. Dia dengan tiba-tiba harus menikah dengan wanita lain yang Rain tidak pernah tahu jika wanita itu adalah mantan kekasih orang terdekatnya. Sementara Dion Langit Anggara, seorang dosen yang dulunya juga memiliki tambatan hati untuk nantinya akan bersatu dengannya dalam sebuah ikatan pernikahan. Tetapi, keluarganya sangat tidak menyukai dengan wanita yang tengah menjalin kisah cinta dengannya. Mampukah Rain maupun Dion menyatu dalam sebuah kisah cinta yang indah dan saling menyembuhkan? Atau mereka berdua harus bersama tanpa sebuah rasa cinta nantinya?
"Jika pertemuan itu harus datang dengan bahagia, bagaimana jika pertemuan itu harus berawal dengan sebuah tangis dan derita? Apakah kamu sanggup untuk merasakan itu?"
Apakah salah jika kita berharap pada sebuah rasa untuk menemukan arti memiliki kembali? Ataukah kita bisa membelah indah untuk meneladani kalnbu kita dalam sebuah penantian? Dan apakah kita pantas membahas untuk tetap saling berpeluk agar saling meneladani kalbumu dan kalbuku? Entahlah, tetapi aku yakin jika semua penantian panjang akan terbayar lunas dengan sebuah pertemuan nantinya, meskipun pertemuan untuk terakhir kalinya.
Seperti saat ini, lorong kampus terlihat berlalu-lalang mahasiswa dan mahasiswi serta beberapa dosen untuk menikmati makan siang yang telah menunggu mereka di kantin. Dion Langit Anggara, salah seorang dosen yang mengampu mata kuliah Sastra Indonesia di sebuah fakultas bahasa dan seni itu kini berjalan kearah kantin untuk berharap bisa menikmati secangkir kopi dan tentunya sebatang nikotin untuk mengembalikan semua mood mengajarnya kembali.
"Bu, kopi hitam satu cangkir tanpa gula ya, berapa?" Dion mengeluarkan dompet untuk membayar kopi yang dia pesan.
"Lima ribu saja pak Dion, kelihatan sangat kusut hari ini bapak," balas ibu kantin itu sembari menyiapkan kopi hitam miliknya.
Dion hanya tersenyum dan segera memberikan uang untuk pesanannya tersebut, "Ambil kembaliannya bu. Saya duduk di sebelah sana ya, terimakasih."
Dengan segera dia berjalan kearah meja dan tempat duduk yang berada tepat di sudut kantin yang terlihat kosong dan sunyi, mungkin sesunyi hatinya saat ini. Bagaimana tidak? Umurnya yang hampir menginjak tiga puluh tahun itu masih belum memiliki tambatan kekasih untuk hatinya.
Sebatang rokok telah dibakarnya, asap tipis telah dinikmatinya tanpa beban meskipun ada sedikit sebuah rasa yang telah mengganjal di hatinya. Tatapannya lurus tepat kedepan kursi yang kosong tetapi sesaat kemudian dia tersenyum simpul.
"Andaikan kamu masih mau menunggu saat itu, mungkin kita sudah saling menyatu saat ini dan selamanya. Tapi . . .,"
Ucapannya terputus karena ibu kantin telah meletakkan secangkir kopi dan kemudian deringan ponselnya memberikan notifikasi jika ada sebuah pesan.
"Dia lagi, kenapa mahasiswi macam dia selalu menggangu waktuku untuk bersantai," ucapnya sambil membalas pesan di ponselnya.
Kemudian dia kembali menikmati rokoknya dan tak lupa dia menuangkan kopinya di tempat khusus untuk mendinginkan cairan hitam itu untuk dinikmati hangat-hangat. "Kopi tanpa gula sangat nikmat, senikmat kamu yang dulu pernah berjanji untuk saling bersama,"
Lima menit kemudian, seorang mahasiswi telah berdiri di belakangnya, "Permisi pak, mohon maaf menggangu waktunya, saya . . ."
"Rain Octavia, mahasiswi akhir yang ingin revisi skripsi dengan saya. Silahkan duduk dan segera selesaikan apa yang perlu diselesaikan," ucap Deny datar.
Rain, mahasiswi akhir itu memutar bola matanya malas mendengar ucapan dosen pembimbingnya itu. Jika tidak karena tugas skripsi yang dia selesaikan, maka dia tak perlu repot-repot berurusan dengan dosen dingin macam, Dion Langit Anggara.
"Iya pak, ini yang kemarin bapak minta revisi dan sudah saya revisi semuanya. Bapak mau minum apa?" tanya Rain seramah mungkin.
Dion hanya diam dan mengoreksi berkas skripsi milik Rain, tawarannya yang seolah tak dianggap kini membuatnya untuk memonyongkan bibirnya tepat di depan Dion.
"Jangan tersingung jika aku tak menjawab tawaran dari anda, bisa lihat bukan? Sudah ada kopi hitam dan ini kenapa harus ada tanda titik dua kali dalam satu kalimat? Ini juga, kenapa teori sastra yang kemarin sudah saya berikan tidak anda jabarkan? Mau lulus cepat atau tidak anda, Rain Octavia!!" suara tegas terdengar membunuh untuk Rain.
"Tapi pak? Kemarin bukankah bapak membenarkan teori tersebut? Dan . . ." suara Rain terputus karena sorot mata tajam Deny terlihat sangat membunuhnya.
"Perbaiki lagi dan saya tunggu sampai nanti sore di cafe senja tengah kota, permisi."
Dion kini berjalan meninggalkan Rain seorang diri, entah kenapa hatinya sakit ketika melihat wajah Rain. Wajah yang selalu dia kagumi dulu, pada sosok perempuan yang berhasil mengisi hatinya tetapi dia segera menepis semua wajah yang telah menyita semua waktunya saat itu.
Rain yang melihat skripsinya dicoret begitu banyaknya hanya bisa menghela nafas berat, dia menatap punggung dosennya itu dengan tatapan benci, "Kok bisa dosen sepertia masih hidup, harusnya masuk ke museum. Dasar dosen killer."
Kini dia kembali menuju perpustakaan kampus untuk menyelesaikan skripsinya yang nanti sore dan mungkin hari ini harus mendapatkan tanda tangan dosennya tersebut untuk bisa sidang skripsi secepat mungkin. Dengan langkah yang sedikit malas kini dia memasuki perpustakaan yang terlihat hanya ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi seperti dirinya yang menyelesaikan skripsi atau hanya sekedar menikmati udara dingin di perpustakaan.
Langkahnya terhenti ketika seorang mahasiswa tengah tersenyum kearahnya, rasa lelah dan kesal yang menerjangnya tadi berubah menjadi senyuman yang begitu manis, "Bubub di sini? Sejak kapan?"
"Sejak lihat kamu duduk dengan Pak Dion tadi, gimana bae? Sudah dapat tandatangan untuk sidang skripsi?" laki-laki itu mengelus kepala Rain dengan begitu lembutnya.
"Belum, bantuin ya untuk revisi semua ini ya bububku sayangku Dewa Geofani," ujar Rain dengan begitu lembutnya.
Dewa Geofani, mahasiswa yang tengah menempuh strata dua itu hanya menggeleng dan tersenyum mendengar suara Rain yang begitu manja. Mereka berdua telah menjalin hubungan semenjak pertemuan tiga tahun silam, tiga tahun Dewa telah mampu menaklukkan hati Rain. Meskipun, banyak masalah yang selalu hadir di antara keduanya. Tetapi, Dewa yang sangat begitu sabar itu selalu mengalah dengan sifat dan sikap yang hadir di diri Rain, kekasihnya itu.
Kini mereka berdua tenggelam dalam lautan materi untuk tugas akhir yang harus Rain serahkan sore ini. Tiga jam telah mereka lewati dan habiskan untuk skirpsi dan kini waktunya Rain untuk segera menuju café yang sudah ditentukan oleh Dion, Dosen Pembimbing Skripsinya tersebut.
"Mau aku antar sayang?" tanya Dewa lembut sembari membenarkan anak rambut Rain yang terjatuh.
"Yakin? Nanti nunggu lama lho bubub, belum lagi bubub juga kan pernah ada masalah dengan pak Dion juga, malah runyam nantinya jika dia tahu aku kesayangan bubub," balas Rain bergelayut manja ke lengan Dewa.
Dewa mengangguk faham, dia tersenyum simpul mendengar jawaban kekasihnya tersebut. "Yasudah kalau gitu, hati-hati dan jangan lupa makan terus banyakin minum air putihnya juga. aku antar sampai parkiran motor ya." Dewa menggenggam jemari manis Rain.
Rain tersenyum ke arah kekasihnya tersebut dengan segera dia segera melajukan motornya ke arah café yang akan menentukan nasibnya yang berada di tangan dosen pembimbingnya itu. Setelah tiga puluh menit menempuh perjalanan kini dia tengah mengedarkan pandangan keseluruh sudut café yang terlihat sangat sunyi itu.
"Tumben sekali tuh orang belum datang, mending aku siap-siap terlebih dahulu aja deh tapi pesan satu gelas es coklat panas juga segar juga sih." Rain bermonolog sendiri sembari berjalan ke arah kasir untuk memesan satu gelas es coklat.
Setelah memesan es coklat, pandangan Rain menatap dua orang yang tengah berdebat dengan begitu hebatnya. Dua orang lawan jenis yang salah satu darinya sangat dikenal oleh Rain, "Bukankah itu . . ."
Rain segera berjalan ke arah mereka berdua. Tetapi sial bagi Rain, karena sebuah tatapan mata yang mengarah ke dirinya membuat kembali ke arah tempat duduknya. Dengan segera Rain berjalan kembali ke tempat duduknya dan bersiap untuk menerima apapun resiko yang telah dilakukannya barusan.
Hatinya merasakan ketakutan yang luar biasa mengingat tatapan yang barusan dilihatnya. Tatapan yang selalu membuatnya selalu tak ingin untuk melihatnya, mungkin untuk selamanya. Tiba-tiba, seorang pria duduk tepat di depannya tanpa permisi.
"Tadi lihat dan dengar semuanya?"
Rain yang mendengar suara tersebut langsung mendongak ke arah asal suara kemudian menggeleng serta meringis untuk melarikan diri dari masalah yang tak ingin dia jalani nantinya. "Ehm tidak pak Dion, mau pesan es atau . . ."
"Tidak perlu, mana skripsimu." Pinta Dewa datar.
"B . . . baik pak." Jawab Rain gemeteran sambil memberikan tumpukan skripsinya ke Dewa.
Setelah hampir setengah jam menunggu Dion mengoreksi skripsi miliknya, hati Rain terus berdoa dan berharap untuk segera menjalani satu penantian panjang dan penantian akhir di kuliahnya tersebut, sidang skripsi. Tetapi, terlihat mimik wajah Dion yang tetap datar saat mengoreksi seluruh skripsinya tersebut, hingga . . .
"Okey sudah bagus semua dan tiga hari lagi sidang." Ucap Dion sambil membubuhkan tandatangannya sebagai konfirmasi ke skripsi Rain.
Mendengar ucapan dosennya itu yang terkenal killer dan selalu tidak meloloskan mahasiswa mahasiswi akhir untuk sidang skripsi berbanding terbalik dengan yang dialaminya saat ini membuat hati Rain berteriak senang hingga hampir memeluk tubuh Dion. Tetapi Dion langsung menepisnya . . .
"Tetapi sebelumnya ada satu hal yang aku tanyakan ke kamu ini terkait . . ." suara Dion terputus dengan tatapan ke arah mata Rain.
"Terkait apa pak? Apa ada yang salah terhadap skripsi saya atau ada yang perlu saya ganti segera? Saya siap jika harus . . ."
Jari telunjuk Dion memberikan isyarat ke arahnya untuk berhenti, "Semuanya tidak ada masalah, tetapi aku mau tanya satu hal. Apakah bisa dan boleh?"
Rain mengganguk dan segera duduk untuk bersiap menerima pertanyaan dosenya yang kali ini terlihat sangat kalem dan menggoda di matanya itu.
"Kamu percaya cinta itu ada, Rain?" tanya Dion datar.
Rubby sudah merasakan berbagai jenis cinta, sekaligus berbagai jenis ranjang dan desahan, namun akhirnya dia tersudut pada sebuah cinta buta dan tuli yang menjungkir balikkan kewarasan dia, meski itu artinya... TABU, karena seseorang yang dia cintai, adalah sesorang yang tidak seharusnya dia kejar. Ruby hanyalah gadis di pertengahan tiga puluh tahun. Meski begitu, tubuhnya masih terawat dengan baik. Pinggangnya masih ramping tersambung oleh lengkungan indah pinggul yang tidak berlebihan meski kentara jelas.
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Kurnia, yang buta karena kecelakaan ditolak oleh semua sosialita-kecuali Elara, yang menikah dengannya tanpa ragu. Tiga tahun kemudian, dia mendapatkan penglihatan kembali dan pernikahan mereka pun berakhir. "Kami sudah kehilangan banyak tahun. Aku tidak akan membiarkan dia menyia-nyiakan tahun itu lagi untukku." Elara menandatangani surat perjanjian perceraian tanpa sepatah kata pun. Semua orang mengejek kejatuhannya-sampai mereka menemukan bahwa dokter ajaib, maestro perhiasan, genius saham, peretas ulung, dan putri sejati Presiden ... semuanya adalah dirinya. Ketika Kurnia merangkak kembali, seorang miliarder kejam mengusirnya. "Dia istriku sekarang. Pergilah."