/0/20332/coverbig.jpg?v=d522c823f482dfd3dc2dd121ccf04273)
Berawal ketika Elmi dan Damar menjadi teman satu kampus, mereka adalah pasangan yang awalnya tampak sempurna. Keduanya memutuskan menikah setelah beberapa waktu menjalani hubungan serius, yakin bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi segala rintangan. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan dan impian mereka mulai terkikis oleh kenyataan yang pahit. Pernikahan mereka berjalan hampir lima tahun. Mereka tinggal di rumah yang dibeli dengan uang warisan keluarga Elmi, tetapi Damar membohongi ibunya dan mengklaim bahwa rumah itu hasil kerja kerasnya sendiri. Kenyataan pahit bahwa Damar telah menganggur selama hampir tiga tahun sejak pandemi berakhir semakin memperparah hubungan mereka. Elmi yang semula mendukung suaminya kini merasa tertekan, terperangkap dalam peran sebagai istri yang harus menanggung beban keuangan dan kebohongan yang menumpuk. Masalah semakin rumit ketika Damar, di tahun ketiga pernikahan mereka, akhirnya mengakui bahwa dia tidak pernah ingin memiliki anak. Bagi Damar, anak hanyalah sumber masalah, dan dia merasa belum siap untuk mengorbankan kebebasannya. Elmi yang semula setuju untuk menunda kehamilan demi menabung, merasa dikhianati dan kecewa. Mimpi memiliki keluarga kecil yang bahagia kini tampak mustahil. Elmi mencoba mencari cara untuk memperbaiki pernikahan mereka. Namun, semakin keras dia berusaha, semakin Damar menjauh. Hanya karena hal sepele bisa memancing kekesalan Damar. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari-hari mereka, membuat Elmi bertanya-tanya apakah cinta yang dulu mereka miliki masih ada atau hanya menjadi bayangan masa lalu yang perlahan memudar. Di saat Damar kembali mendapatkan pekerjaan, Elmi merasa ada sedikit harapan baru. Namun, lagi-lagi Elmi tertipu. Bukan menjadi lebih baik, Damar justru berselingkuh dengan rekan kerjanya. Di tengah kebimbangan dan patah hatinya, Elmi bertemu dengan seorang kolega di kantornya, yang menunjukkan kepadanya arti sesungguhnya dari cinta dan dukungan. Perlahan, Elmi mulai meragukan keputusannya untuk terus bertahan dalam pernikahan yang penuh kebohongan. Dia dihadapkan pada pilihan sulit: tetap bertahan demi janji yang pernah dia buat, atau berani melangkah keluar untuk mencari kebahagiaan yang sejati? Sementara itu, Damar harus menghadapi kenyataan pahit bahwa semua kebohongannya mulai terungkap. Bisakah Damar mengubah dirinya dan memperbaiki semuanya? Ataukah dia akan kehilangan Elmi untuk selamanya?
"Buka lebih lebar!" Damar memerintah sambil menggeser kasar, melebarkan kaki putih Elmi yang jenjang. Pusakanya menegang, sudah siap menerjang.
Sementara Elmi, istrinya, terbaring di atas tempat tidur dengan tubuh yang kaku. Bola mata Elmi menyipit, menatap langit-langit kamar yang gelap, sementara desah napas Damar terdengar berat di telinganya. Tangan Damar mencengkeram bahunya, terlalu kuat, dan ia menggigit bibir untuk menahan erangan yang hampir keluar.
"Ehmm. Damar, tolong ... Pelan-pelan," suaranya lirih bergetar, hampir tidak terdengar.
Namun, Damar tidak mendengar atau lebih tepatnya tidak peduli. Gerakannya tetap kasar, seakan tidak menyadari bahwa tiap sentuhannya membuat tubuh Elmi semakin meringkuk. Air mata Elmi mulai menggenang di sudut matanya, menyesakkan dada yang sudah penuh dengan rasa sakit dan perih. Tidak ada kelembutan, tidak ada rasa kasih sayang. Semua terasa seperti hukuman yang tak berkesudahan.
Elmi berusaha menutup mata, berharap bisa melarikan diri dari kenyataan ini, tapi rasa sakit itu nyata, terus menghantamnya berulang kali tanpa ampun. "Damar, pelan sedikit ... kumohon..." bisiknya lagi, tapi suaminya hanya merespons dengan geraman tidak sabar.
Dia tahu, dalam hati kecilnya, bahwa Damar tak akan berhenti sampai ia puas. Dan Elmi hanya bisa pasrah, menahan segala perasaan yang ingin ia muntahkan keluar. Rasa perih di hatinya jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. Elmi ingin berteriak, menangis, atau mungkin melawan, tapi tubuhnya lemas, dan suaminya jauh lebih kuat.
Ketika semuanya akhirnya berakhir, Damar menarik diri tanpa sepatah kata pun. Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil handuk, dan berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Elmi yang masih tergeletak kaku. Elmi menarik selimut, menutupi tubuhnya yang gemetar. Dia menggigit bibirnya lebih keras, berharap rasa sakit di bibirnya bisa menumpulkan perih di hatinya.
Sambil menahan isak, Elmi bergumam pada dirinya sendiri, "apa memang rasanya sesakit ini?" Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban, seperti harapan yang sudah lama hilang entah ke mana.
**
Walaupun hari ini Elmi libur, bukan berarti dia bisa bersantai dan bangun siang sesuka hatinya.
Elmi meletakkan piring terakhir di atas meja, mengusap keringat yang mulai membasahi dahinya. Matahari baru saja terbit, tapi dapur sudah ramai dengan aroma masakan. Dia telah bangun sejak subuh, memastikan semua siap sebelum Damar dan ibu mertuanya turun dari kamar.
"Selamat pagi, Bu." Elmi menyapa dengan senyum tipis saat Ibu Damar memasuki ruang makan.
Ibu mertuanya itu hanya mengangguk singkat tanpa membalas senyuman Elmi. Wanita paruh baya itu duduk di kursi sambil mencebik pelan, lalu menatap piring-piring yang tersaji di depannya dengan pandangan kritis. "Masak apa?"
"Elmi bikin nasi goreng ayam, Bu. Saya tambahkan sayuran seperti yang Ibu minta kemarin. Dan ada omelet keju untuk Damar," jawab Elmi hati-hati. Tangannya mengeratkan pegangannya pada serbet di pangkuannya.
Ibu mertuanya mengernyit. "Kamu pikir ini enak? Nasi gorengnya terlalu berminyak. Sayurannya pasti layu karena dimasak terlalu lama. Dan omelet keju ini-" Wanita itu mengambil potongan kecil dengan garpu, lalu memasukkannya ke mulut, "- ck! Ya ampun, ini terlalu asin."
Elmi merasakan dadanya mencelos. Dia sudah bangun sejak pukul empat pagi, mencoba segala cara untuk membuat sarapan yang terbaik. Tapi, lagi-lagi, semua usahanya seolah tak ada artinya di mata ibu mertuanya.
"Maaf, Bu, saya akan coba lebih baik lagi besok," ucap Elmi pelan. Kata-katanya terselip rasa kecewa yang dalam.
"Nggak usah repot-repot kalau hasilnya cuma seperti ini. Kamu sebaiknya belajar dari pembantu rumah tangga kami yang dulu. Dia bahkan lebih tahu selera keluarga ini dibanding kamu," kata Ibu Damar tanpa basa-basi. Dia mendorong piring nasi goreng menjauh seolah makanan itu beracun.
Elmi menunduk, menahan air mata yang menggenang di sudut matanya. Bukan hanya rasa sakit karena lelahnya yang tak dihargai, tapi juga kata-kata ibu mertuanya yang menusuk hati. "Baik, Bu," sahutnya lemah.
Saat itu, Damar turun dari lantai atas. Pandangannya terarah ke meja makan, lalu ke wajah Elmi yang pucat. Tanpa berkata apa-apa, dia duduk dan langsung menyendok omelet ke piringnya.
"Damar, omelet ini terlalu asin, bukan?" tanya ibunya, menatap putranya dengan harapan pembenaran.
Damar hanya mengangkat bahu. "Biasa saja, Bu. Lagi pula aku suka asin. Elmi, tolong buatkan kopi," katanya tanpa ekspresi, seolah situasi itu tidak ada artinya.
Elmi mengangguk, buru-buru melangkah ke dapur untuk menyembunyikan kesedihan yang mulai tak tertahankan.
Saat ia sedang merebus air untuk membuat kopi, ia masih bisa mendengar ibu mertuanya masih mengomel tentang betapa tidak becusnya Elmi sebagai seorang istri. Kata-kata itu seolah meresap ke dalam setiap pori-porinya, membuatnya merasa semakin kecil dan tak berarti. Tangannya gemetar saat ia menuangkan air panas ke dalam cangkir, mencampurnya dengan kopi dan gula. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri.
"Elmi!" panggil Damar lagi, mengejutkannya. "Nanti bawakan kopinya ke ruang tengah." Ucap Damar lebih seperti perintah ketimbang permintaan tolong.
Ibu mertuanya menghela napas, lalu melirik Elmi. "Kamu benar-benar harus belajar lebih keras, Elmi. Menjadi istri yang baik itu bukan sekadar bisa memasak. Kamu bahkan gagal dalam hal yang paling sederhana ini."
Elmi hanya bisa diam, mengangguk lemah. Tubuhnya terasa berat, seolah beban yang tak terlihat menindihnya semakin dalam. Setelah ibu mertuanya juga meninggalkan meja, Elmi tetap berdiri di sana, memandangi piring-piring kotor bekas sarapan. Usahanya lagi-lagi tak ada artinya.
Elmi memandangi rumah mereka yang luas dengan perasaan campur aduk. Ini adalah rumah yang dibeli dari uang warisan orang tuanya, hasil jerih payah keluarganya selama bertahun-tahun.
Namun, semua itu disembunyikan dari Ibu Damar. Sejak rumah orang tua Damar disita oleh bank, ibu mertuanya itu ikut tinggal dengan Damar dan Elmi. Sebenarnya Elmi tidak keberatan, masalah utamanya adalah Damar berdusta bahwa rumah ini hasil kerja keras Damar, dan Elmi hanya bisa diam, menelan ketidaknyamanan yang semakin hari semakin menyakitkan.
"El! Kopi! Mana kopi!" Suara Damar membuyarkan lamunan Elmi.
"Iya, ini, sebentar lagi," jawab Elmi, mencoba tetap tenang. Dia tahu Damar sedang dalam suasana hati yang buruk. Hari-hari seperti ini semakin sering terjadi, terutama sejak Damar kehilangan pekerjaannya dua tahun lalu. Sejak saat itu, Damar hanya bergantung pada tabungan serta uang gaji hasil kerja keras yang masih Elmi miliki.
Dengan cepat, Elmi meletakkan cangkir di depan Damar. "Maaf, ini kopinya."Saat dia menyerahkan kopi itu, Damar mengambilnya tanpa mengucapkan terima kasih.
Damar menyesap kopi itu tanpa berkata apa-apa lagi. Elmi berdiri di sampingnya, merasa seperti seorang pelayan yang menunggu instruksi lebih lanjut. Ibu Damar masih menatapnya dengan sorot merendahkan, seolah kehadiran Elmi saja sudah merupakan kesalahan besar.
"Ibu mau ke kamar dulu," Ibu mertua Elmi itu bicara datar lalu berbalik cepat menuju ke arah kamarnya yang ada di ujung rumah.
Elmi diam mematung menatap suaminya yang duduk manis di sofa, menghidupkan televisi tanpa benar-benar menonton. Tatapannya kosong, seakan sedang memikirkan sesuatu yang jauh dari jangkauan Elmi.
"Damar," Elmi memulai dengan hati-hati, "aku ingin kita bicara."
Damar mendesah, lalu mematikan suara televisi. "Mau bicara apa lagi?"
"Kapan kamu akan memberitahu Ibu tentang kondisimu yang sebenarnya?" Elmi memberanikan diri menatap suaminya. "Ibumu masih berpikir kalau rumah ini hasil kerja kerasmu. Padahal semua ini dari uang orang tuaku. Bahkan sampai sekarang kita masih menggunakan uang tabungan dan uang gajiku untuk keperluan sehari-hari."
Damar meletakkan cangkir kopinya dengan kasar. "Kamu mau mulai berdebat lagi? Aku sudah bilang, aku akan cari pekerjaan baru. Ini kan nggak selamanya, hanya sementara."
Elmi menggeleng pelan, merasakan kepahitan yang menyelip di hatinya. "Tapi ... Sudah hampir tiga tahun, Damar. Kita tidak bisa terus begini. Aku juga yang harus menanggung semua ini, bukan hanya masalah keuangan, tapi juga semua kebohongan yang kamu ciptakan."
Damar berdiri, ekspresinya marah. "Kamu pikir aku tidak berusaha? Aku sudah mencoba segalanya! Ini bukan salahku kalau cari kerja masih sulit setelah pandemi! Ck! Kamu ini perhitungan sekali sama suami sendiri!"
"Tapi bukan berarti kamu harus terus berbohong, apalagi pada keluargamu sendiri." Elmi berusaha menahan getaran di suaranya. "Aku tidak ingin kita hidup dengan kebohongan, Damar."
Damar tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam suaranya. "Oh, jadi kamu ingin bilang sama Ibuku kalau aku ini pengangguran yang hanya mengandalkan uang istrinya? Kamu pikir itu akan membuat semuanya lebih baik?" Damar melotot.
Elmi terdiam. Dia tahu ini bukan saat yang tepat, tapi kebohongan ini semakin memberatkan hati dan pikirannya. "Aku hanya ingin kita jujur satu sama lain, dan pada keluargamu. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal bagaimana kita bisa saling mendukung sebagai pasangan."
Damar menatap Elmi dengan dingin. "Kamu tahu apa? Mungkin kamu benar. Mungkin aku ini tidak berguna. Tapi jangan pikir aku akan membiarkan kamu menghina harga diriku di depan Ibuku.
"Damar, aku nggak pernah bermaksud begitu..."
"Sudah cukup, Elmi!" Damar memotongnya. "Aku mau keluar sebentar. Pusing dengar yang ngomel!"
Sebelum Elmi bisa mengatakan apa-apa lagi, Damar sudah meraih jaketnya dan pergi, membanting pintu dengan keras. Elmi berdiri kaku di ruang tengah yang hening, matanya terpejam menahan air mata yang ingin tumpah. Rasa muak ini semakin menghancurkan mereka, perlahan tapi pasti. Elmi hanya bisa berharap, suatu saat nanti, Damar akan menyadari bahwa kebohongan bukanlah jalan keluar.
Dia menghela napas panjang, kemudian berbalik menuju dapur. Piring-piring yang belum dicuci menantinya, seperti tumpukan masalah yang belum terselesaikan. Dengan tangan gemetar, dia mulai membersihkan, mencoba menghilangkan beban di hatinya dengan setiap gesekan spons dan air sabun. Tapi tetap saja, rasa sesak itu tidak hilang.
***
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”