/0/20787/coverbig.jpg?v=7b652a1ab4cf9e590608d3d8f952b614)
Seorang wanita harus memilih antara suami yang selalu mendukungnya dan kekasih lamanya yang kembali hadir dalam hidupnya. Perselingkuhan emosional ini memaksanya mempertanyakan arti cinta dan kesetiaan.
Maya menatap keluar jendela, menikmati sinar matahari yang hangat. Suara riang anak-anak bermain di taman membuatnya tersenyum. Di sisi lain, Rian, suaminya, sedang duduk di meja makan, menikmati secangkir kopi.
"Maya, kau sudah siap untuk pergi? Kita harus berangkat sebelum jalanan macet," Rian berkata sambil mengaduk kopi di cangkirnya.
"Ya, sebentar lagi. Aku hanya ingin menikmati secangkir teh ini," jawab Maya, sambil memandangi secangkir teh hijau yang telah disiapkannya.
Rian mengangguk, senyum manis menghiasi wajahnya. "Kau tahu, kita sudah merencanakan akhir pekan ini sejak lama. Jangan sampai kita terlambat."
Maya tersenyum, tetapi dalam hatinya, ia merasa ada yang hilang. Kehidupan mereka memang stabil-rumah yang nyaman, pekerjaan yang baik, dan cinta yang tampaknya sempurna. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak puas.
"Rian, kau sudah mengingatkan kita untuk pergi ke acara pameran seni di kota?" Maya bertanya, berusaha mengalihkan pikirannya.
"Sudah, sayang. Aku sudah menyiapkan semuanya," jawab Rian, bangkit dari kursi dan mengambil jaketnya. "Ini akan menjadi akhir pekan yang menyenangkan."
Maya mengangguk, tetapi pikirannya melayang. Ia ingat saat-saat berapi-api saat masih muda, ketika ia merasa hidupnya penuh warna. Kini, ia merasa terjebak dalam rutinitas.
"Rian, bagaimana kalau setelah pameran, kita makan malam di tempat baru?" usulnya, berusaha untuk bersemangat.
"Bagus! Aku suka ide itu," Rian menjawab dengan semangat. "Kita harus merayakan setiap momen, kan?"
"Ya, tentu," Maya menjawab, tetapi senyumnya tidak sepenuhnya tulus. Di dalam hatinya, ia merindukan kebebasan dan kegembiraan yang pernah ada.
Saat mereka bersiap-siap, Maya teringat tentang sahabatnya, Tara, yang selalu menyemangatinya. "Aku harus berbicara dengan Tara nanti," pikirnya. Mungkin sahabatnya bisa memberinya perspektif baru tentang hidupnya yang sekarang.
Di mobil, Rian menyalakan radio dan lagu favorit mereka mengalun lembut. Maya terpaksa tersenyum saat Rian mulai menyanyi sambil menyetir. Suara Rian yang serak menambah kehangatan suasana.
"Jangan menghentikan karierku, Maya! Siapa tahu, aku bisa jadi penyanyi terkenal!" Rian bercanda.
"Impian yang bagus, tapi aku rasa suara mu hanya akan membuat burung-burung terbang menjauh," Maya menjawab, tertawa.
Rian tertawa, menepuk pahanya. "Setidaknya aku bisa membuatmu tersenyum."
Tetapi di balik senyuman itu, Maya merasakan kesedihan yang mendalam. Di satu sisi, ia mencintai Rian, tetapi di sisi lain, ia merindukan bagian dari dirinya yang seolah-olah telah hilang. Saat mereka berkendara menuju pameran seni, hatinya berdebar-debar, menginginkan perubahan, tetapi tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya.
"Apakah kau sudah siap untuk melihat seni yang menakjubkan?" Rian bertanya dengan antusias.
"Ya, tentu saja," jawab Maya, berusaha menampilkan semangat. Namun, jauh di dalam hatinya, ada sebuah pertanyaan yang terus mengganggu: Apakah semua ini cukup untuknya?
Ketika mereka sampai di lokasi pameran, Maya tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanan yang lebih rumit. Dan saat Arman, mantan kekasihnya, kembali muncul di hidupnya, segalanya akan berubah.
Pameran seni itu berlangsung di sebuah galeri kecil dengan pencahayaan lembut yang menciptakan suasana intim. Rian terlihat antusias, menggandeng tangan Maya saat mereka melangkah masuk.
"Lihat, itu karya seniman lokal yang terkenal!" seru Rian sambil menunjuk sebuah lukisan besar berwarna cerah. "Kita harus berfoto di depannya!"
Maya tersenyum dan mengangguk. Rian selalu tahu cara untuk membuat momen-momen kecil terasa istimewa. Mereka berpose di depan lukisan tersebut, Rian tersenyum lebar sementara Maya berusaha menampilkan senyumnya yang paling menawan. Namun, di dalam hati, ia merasakan kerinduan akan sesuatu yang lebih dalam.
Setelah berkeliling melihat berbagai karya seni, mereka berhenti di sebuah sudut galeri yang lebih tenang. Maya melihat lukisan yang menggambarkan dua orang yang saling merangkul, dengan latar belakang yang gelap namun dipenuhi dengan bintang-bintang.
"Bagaimana menurutmu, Maya?" Rian bertanya, melihat ke arah lukisan itu.
"Lukisan ini... terasa emosional. Seperti menggambarkan cinta yang berjuang melawan kegelapan," jawab Maya, jujur dengan perasaannya.
Rian mengangguk, "Seni memang bisa mengungkapkan banyak hal. Mungkin kita juga bisa menemukan cara untuk mengatasi masalah kita, jika ada."
Maya terdiam, hatinya bergetar. Rian selalu bersikap positif, tetapi ia tidak bisa mengabaikan rasa kosong yang mengendap di hatinya.
"Apakah kau pernah merasa terjebak, Rian?" Maya bertanya, suara pelan.
Rian menoleh, matanya menyiratkan kekhawatiran. "Terjebak? Dalam arti apa?"
"Seperti, dalam rutinitas hidup. Apakah kau pernah merindukan sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih berarti?"
Rian tampak berpikir sejenak. "Maya, kita semua pasti mengalami masa-masa itu. Tapi aku percaya, kita bisa menciptakan momen berharga dalam hidup kita. Seperti saat ini, bersama-sama."
Maya tersenyum, tetapi keraguannya semakin mendalam. "Kau benar, tetapi kadang-kadang aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang."
"Bagian apa?" tanya Rian, matanya tidak lepas dari wajah Maya.
"Entahlah, mungkin bagian dari diriku yang lebih liar, lebih bebas," jawab Maya, menghindari tatapan Rian.
"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Maya. Kita bisa membuat hidup ini lebih berwarna," Rian berkata, mencoba memberikan semangat.
Maya mengangguk, tetapi hatinya masih merasa berat. Mereka melanjutkan berkeliling galeri, tetapi pikiran Maya terus melayang pada kenangan-kenangan bersama Arman, mantan kekasihnya yang tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya.
Setelah beberapa saat, Rian meminta izin untuk mengambil foto-foto. "Kau tunggu di sini, ya? Aku akan mencari angle yang bagus," katanya sebelum beranjak.
Maya berdiri sendiri di depan lukisan yang sama, merasakan ketegangan di dadanya. Dalam keadaan hening itu, ia mendengar suara seorang pria dari belakangnya.
"Maya?"
Maya menoleh, dan jantungnya berhenti sejenak. Di depannya berdiri Arman, dengan senyum yang familiar dan tatapan yang menggoda. "Sudah lama tidak bertemu," katanya.
Maya merasakan perasaannya campur aduk. "Arman... apa kabar?" suaranya bergetar.
"Baik. Aku baru kembali dari luar negeri. Melihat pameran seni adalah salah satu agenda pertamaku," Arman menjelaskan, matanya bersinar penuh semangat.
"Ya, aku dan Rian datang ke sini juga," jawab Maya, berusaha terdengar santai.
"Rian, ya? Dia sangat beruntung bisa bersamamu," Arman berkata, sedikit mengecilkan jarak di antara mereka.
Maya merasakan ketegangan. "Terima kasih," jawabnya singkat, tetapi hatinya berdebar lebih cepat.
"Bagaimana hidupmu?" tanya Arman, tampak tulus. "Kau terlihat berbeda. Lebih dewasa."
Maya tersenyum tipis, tetapi di dalam hatinya, keraguan kembali muncul. Ia merasa terjebak antara dua dunia-yang satu stabil dan nyaman, yang lainnya berapi-api dan penuh gairah.
"Rian akan kembali sebentar lagi," Maya memberi tahu Arman, berusaha mengalihkan perhatian.
"Dia baik? Aku selalu tahu kau berdua cocok," Arman menjawab, tetapi ada nada penyesalan di suaranya.
Maya ingin berkata sesuatu, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Dalam momen yang singkat itu, ia merasakan kembali ikatan emosional dengan Arman, sesuatu yang selama ini ia cari.
Rian kembali mendekat, membawa kamera dan senyum lebar. "Maya, siap untuk foto lagi?"
Ketika Rian mendekat, Maya merasakan beban di hatinya semakin berat. Dalam sekejap, ia harus memilih: apakah ia akan membiarkan masa lalu kembali mengisi kehidupannya, ataukah ia akan berjuang untuk masa depan yang sudah dibangunnya?
Maya memandangi Rian, kemudian kembali menatap Arman, menyadari bahwa dilema di antara dua hati baru saja dimulai.
Bersambung...
Seorang suami merasa istrinya menyembunyikan sesuatu. Ketika ia menyewa detektif pribadi, ia menemukan bahwa istrinya telah berselingkuh dengan pria yang ia kenal, mengguncang kepercayaan yang ia miliki selama ini.
Seorang istri yang selalu setia mengetahui bahwa suaminya berselingkuh selama bertahun-tahun. Ketika kebenaran terungkap, ia mulai merencanakan pembalasan yang akan mengubah hidup suaminya selamanya.
Seorang pria yang merasa tidak lagi dicintai oleh istrinya menemukan cinta baru di tempat kerja. Saat hubungan itu tumbuh, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia mungkin menghancurkan kehidupan anak-anaknya untuk kebahagiaan pribadinya.
Seorang suami merasa bosan dengan kehidupan pernikahannya dan memulai hubungan dengan rekan kerjanya. Perselingkuhan ini berubah menjadi obsesi, menghancurkan segalanya di sekitar mereka, termasuk rumah tangganya.
Sekelompok teman lama berkumpul kembali di gedung tua yang dulunya merupakan sekolah mereka. Ketika salah satu dari mereka ditemukan tewas, mereka menyadari bahwa ada rahasia gelap yang telah lama tersembunyi, dan seseorang di antara mereka siap untuk mengungkapnya dengan kekerasan.
Seorang pustakawan menemukan buku tua yang penuh dengan petunjuk menuju harta karun kuno. Namun, ketika orang-orang di sekitarnya mulai meninggal dengan cara yang misterius, dia menyadari bahwa buku itu mungkin lebih dari sekadar peta harta karun-mungkin ada kekuatan jahat yang ingin tetap tersembunyi.
Warning! Banyak adegan dewasa 21+++ Khusus untuk orang dewasa, bocil dilarang buka!
Naya Agustin, "aku mencintaimu, tapi cintamu untuknya. Aku istrimu, tapi kenapa yang memberi segalanya ayah mertuaku?" Kendra Darmawan, "kau Istriku, tapi ayahmu musuhku. Aku mencintamu, tapi sayang dosa ayahmu tak bisa kumaafkan." Rendi Darmawan, "Jangan pedulikan suamimu, agar aman dalam dekapanku."
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”