/0/20121/coverbig.jpg?v=0caaa2e70b90e9dd8741594dc291bbad)
Sekelompok teman lama berkumpul kembali di gedung tua yang dulunya merupakan sekolah mereka. Ketika salah satu dari mereka ditemukan tewas, mereka menyadari bahwa ada rahasia gelap yang telah lama tersembunyi, dan seseorang di antara mereka siap untuk mengungkapnya dengan kekerasan.
Malam itu terasa dingin dan sunyi ketika sekelompok orang tiba satu per satu di depan gerbang besar yang berkarat. Gedung tua itu, yang dulunya adalah sekolah mereka, berdiri menjulang dengan keangkeran yang memancarkan aura masa lalu. Cahaya bulan yang samar memantulkan bayangan menyeramkan dari jendela-jendela yang pecah dan dinding-dinding yang ditumbuhi lumut. Gedung itu, yang dulu penuh dengan canda tawa mereka, kini hanya tinggal bayangan usang dari kejayaannya.
Raka, pria tinggi dengan rambut beruban di pelipisnya, adalah yang pertama tiba. Ia berdiri di depan gerbang, menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, tempat itu menyimpan kenangan masa muda yang penuh kebahagiaan. Namun, di sisi lain, gedung tua itu juga menyimpan rahasia yang telah lama ia coba lupakan.
Tak lama, satu per satu teman lamanya tiba. Ada Dina, wanita dengan mata tajam dan senyum yang selalu menenangkan; Rudi, yang dulu selalu menjadi pusat perhatian dengan leluconnya; Sinta, yang pendiam namun penuh misteri; dan Arman, yang dulu adalah ketua geng mereka, selalu penuh semangat dan energi.
"Masih ingat tempat ini?" tanya Raka, suaranya terdengar serak saat memecah keheningan.
Dina mengangguk pelan. "Sulit dilupakan. Tempat ini penuh dengan kenangan... dan beberapa di antaranya mungkin lebih baik tetap terkubur."
Rudi tertawa kecil, meskipun ada nada cemas di suaranya. "Ah, jangan serius-serius amat. Kita di sini untuk reuni, kan? Ayo masuk, lihat bagaimana sekolah kita sekarang."
Mereka membuka gerbang berkarat itu dengan susah payah, suaranya berderit keras menambah kesan angker. Melangkah ke dalam halaman yang dulu dipenuhi dengan anak-anak berlari dan bermain, kini hanya ada rumput liar dan sampah berserakan. Pintu utama gedung sudah tak terkunci, seolah-olah mengundang mereka masuk.
Saat mereka melangkah ke dalam, lantai kayu yang lapuk berderak di bawah kaki mereka. Dinding-dindingnya ditutupi dengan coretan dan kertas-kertas usang yang masih menggantung. Kelas-kelas kosong itu terasa dingin dan hampa, hanya dihuni oleh bayang-bayang masa lalu.
Mereka berjalan menyusuri koridor yang dulu akrab, mengenang setiap sudut, setiap ruangan yang pernah menjadi bagian dari hidup mereka. Tapi, di tengah nostalgia itu, ada perasaan tak nyaman yang perlahan muncul. Seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik bayang-bayang.
"Apa kalian ingat ruangan ini?" tanya Sinta tiba-tiba, suaranya pelan dan nyaris tak terdengar. Ia berdiri di depan sebuah pintu tua yang setengah terbuka. "Ini kelas kita dulu."
Mereka semua berhenti dan menatap pintu itu. Kenangan masa lalu kembali berputar di benak mereka. Tawa, canda, persahabatan, dan... sesuatu yang lebih gelap.
"Sudah lama sekali," gumam Arman, matanya menerawang jauh. "Rasanya seperti baru kemarin kita ada di sini."
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari ujung koridor. Mereka semua terdiam, saling memandang dengan cemas.
"Siapa itu?" tanya Rudi dengan nada bergurau, meskipun jelas ia tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang semakin mencekam. Suasana yang awalnya penuh nostalgia kini berubah menjadi menakutkan. Bayangan masa lalu seolah-olah kembali hidup dan mengintai mereka.
"Ayo, kita periksa," kata Raka akhirnya, mencoba mengambil alih situasi. Mereka berjalan bersama, mengikuti suara langkah yang entah berasal dari mana.
Saat mereka tiba di ujung koridor, tidak ada siapa pun di sana. Hanya pintu kelas lain yang sedikit terbuka, mengayun pelan seolah-olah baru saja dilewati seseorang.
Malam itu, reuni mereka berubah dari sekadar mengenang masa lalu menjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Gedung tua itu tidak hanya menyimpan kenangan, tetapi juga rahasia yang telah lama tersembunyi-rahasia yang perlahan akan terbongkar, satu demi satu.
Saat mereka mendekati pintu kelas yang terbuka, langkah kaki mereka melambat. Semua mata tertuju pada pintu yang berderit pelan, seolah dipaksa oleh angin. Namun, malam itu terlalu tenang untuk ada angin yang masuk ke dalam gedung.
"Ini tidak terasa benar," bisik Sinta dengan suara gemetar. Tangan kecilnya meremas lengan Dina, mencari rasa aman yang hilang sejak mereka melangkah masuk ke gedung itu.
Raka, yang biasanya penuh percaya diri, ragu sejenak sebelum mengulurkan tangannya untuk membuka pintu lebih lebar. Dengan suara kayu tua yang berderit, pintu itu terbuka penuh, memperlihatkan ruang kelas yang sudah lama ditinggalkan. Bangku-bangku berserakan, sebagian besar rusak atau terbalik. Di pojok ruangan, papan tulis yang buram masih memiliki sisa-sisa kapur putih yang tak pernah dihapus dengan sempurna.
Namun, yang menarik perhatian mereka bukanlah keadaan kelas yang kumuh, melainkan sesuatu yang tergeletak di atas meja guru. Sebuah foto lama, terbingkai dalam pigura kayu yang usang. Raka mengambil foto itu, memandangnya dengan mata terbelalak.
"Ini foto kelas kita," katanya dengan suara rendah. Semua orang mendekat, menatap foto tersebut. Itu adalah foto mereka saat masih duduk di bangku SMA, penuh senyum dan kebahagiaan. Mereka semua ada di sana, berdiri di halaman sekolah dengan seragam yang rapi. Namun, ada sesuatu yang tidak beres dengan foto itu.
Di sudut kanan bawah, ada seseorang yang tidak mereka kenali. Wajahnya kabur, seolah-olah sengaja dirusak atau terhapus. Seorang sosok dengan senyum misterius yang menatap langsung ke arah kamera.
"Siapa itu?" tanya Arman, matanya tak bisa lepas dari sosok aneh di foto tersebut.
Tak ada yang menjawab. Pikiran mereka semua berputar-putar mencari penjelasan, tetapi tak ada yang masuk akal. Mereka semua tahu setiap orang dalam foto itu-mereka adalah teman-teman dekat, tak ada yang bisa mereka lupakan. Namun, sosok ini tidak pernah ada dalam ingatan mereka.
"Saya tidak suka ini," ujar Dina akhirnya, suaranya gemetar. "Ini terasa... salah."
Mereka semua merasakan hal yang sama. Ketidaknyamanan yang menggeliat di perut mereka berubah menjadi ketakutan yang nyata. Foto itu, sosok itu-semua terasa seperti peringatan. Seolah-olah gedung tua ini sedang mencoba memberi tahu mereka sesuatu yang mengerikan.
"Sudahlah, mungkin ini hanya lelucon seseorang," kata Rudi mencoba meredakan suasana, meskipun nadanya terdengar tidak yakin. "Kita di sini untuk reuni. Mari kita lanjutkan."
Namun, bahkan saat mereka meninggalkan kelas itu dan melanjutkan reuni mereka, bayangan sosok di foto tersebut terus menghantui mereka. Setiap canda tawa yang mereka coba bangkitkan terdengar hampa, setiap kenangan yang mereka bagi terasa dingin dan jauh.
Saat malam semakin larut, mereka berkumpul di aula besar di tengah gedung. Aula itu dulunya adalah tempat mereka mengadakan acara sekolah-pentas seni, upacara, dan perpisahan. Kini, aula itu kosong, dindingnya penuh dengan coretan dan debu yang menumpuk di setiap sudut.
"Ada yang ingat acara perpisahan kita di sini?" tanya Dina dengan senyum pudar. "Semua orang menangis, bahkan guru-guru."
Namun, kenangan itu terasa terputus-putus. Seolah-olah ada bagian dari masa lalu mereka yang telah terhapus atau sengaja dilupakan.
"Tapi ada sesuatu yang terjadi setelah itu, kan?" tanya Sinta tiba-tiba, suaranya seperti berbisik. "Ada sesuatu... sesuatu yang kita semua lupakan."
Semua orang terdiam. Kalimat itu menggantung di udara, tak seorang pun yang berani menjawab. Perasaan aneh yang menghantui mereka sejak tiba di gedung ini semakin menguat.
"Aku rasa kita harus pergi dari sini," ujar Dina akhirnya, suaranya hampir berbisik. "Ini bukan tempat yang baik untuk kita lagi."
Namun, sebelum ada yang bisa merespons, lampu di aula tiba-tiba berkedip-kedip, dan kemudian padam sepenuhnya. Kegelapan menyelimuti mereka, hanya diselingi oleh suara napas mereka yang semakin berat.
"Tenang... jangan panik," kata Raka, meskipun jelas ia sendiri sedang berjuang melawan ketakutannya. Ia meraba-raba saku jaketnya, mencari senter kecil yang selalu ia bawa. Cahaya kecil dari senter itu segera menyala, namun tidak cukup untuk mengusir kegelapan yang seolah-olah menelan mereka hidup-hidup.
Saat cahaya senter Raka menyapu aula, mereka melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku. Di dinding belakang aula, tertulis dengan cat merah yang sudah mengering, sebuah pesan yang menyeramkan:
**"Satu demi satu, kalian akan kembali. Satu demi satu, kalian akan jatuh."**
Tak ada yang berkata-kata. Hanya keheningan yang berat, dan perasaan bahwa reuni ini baru saja berubah menjadi mimpi buruk yang tidak pernah mereka bayangkan.
Di luar, angin mulai berhembus, membawa suara-suara dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang. Di dalam gedung tua itu, reuni yang seharusnya penuh dengan tawa dan nostalgia kini berubah menjadi malam yang penuh ketakutan-malam di mana kenangan masa lalu mulai menyeruak kembali, membawa serta kegelapan yang selama ini terkubur.
Bersambung..
Seorang suami merasa istrinya menyembunyikan sesuatu. Ketika ia menyewa detektif pribadi, ia menemukan bahwa istrinya telah berselingkuh dengan pria yang ia kenal, mengguncang kepercayaan yang ia miliki selama ini.
Seorang istri yang selalu setia mengetahui bahwa suaminya berselingkuh selama bertahun-tahun. Ketika kebenaran terungkap, ia mulai merencanakan pembalasan yang akan mengubah hidup suaminya selamanya.
Seorang wanita harus memilih antara suami yang selalu mendukungnya dan kekasih lamanya yang kembali hadir dalam hidupnya. Perselingkuhan emosional ini memaksanya mempertanyakan arti cinta dan kesetiaan.
Seorang pria yang merasa tidak lagi dicintai oleh istrinya menemukan cinta baru di tempat kerja. Saat hubungan itu tumbuh, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia mungkin menghancurkan kehidupan anak-anaknya untuk kebahagiaan pribadinya.
Seorang suami merasa bosan dengan kehidupan pernikahannya dan memulai hubungan dengan rekan kerjanya. Perselingkuhan ini berubah menjadi obsesi, menghancurkan segalanya di sekitar mereka, termasuk rumah tangganya.
Seorang pustakawan menemukan buku tua yang penuh dengan petunjuk menuju harta karun kuno. Namun, ketika orang-orang di sekitarnya mulai meninggal dengan cara yang misterius, dia menyadari bahwa buku itu mungkin lebih dari sekadar peta harta karun-mungkin ada kekuatan jahat yang ingin tetap tersembunyi.
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
21+ !!! Harap bijak memilih bacaan HANYA UNTUK DEWASA. Untuk menguji kesetiaan pasangan masing-masing akhirnya Arga dan rekan-rekan sekantornya menyetujui tantangan gila Dako yang mengusulkan untuk membolehkan saling merayu dan menggoda pasangan rekan yang lain selama liburan di pulau nanti. Tanpa amarah dan tanpa cemburu. Semua sah di lakukan selama masih berada di pulau dan tantangan akan berakhir ketika mereka meninggalkan pulau. Dan itu lah awal dari semua permainan gila yang menantang ini di mulai...
Rubby sudah merasakan berbagai jenis cinta, sekaligus berbagai jenis ranjang dan desahan, namun akhirnya dia tersudut pada sebuah cinta buta dan tuli yang menjungkir balikkan kewarasan dia, meski itu artinya... TABU, karena seseorang yang dia cintai, adalah sesorang yang tidak seharusnya dia kejar. Ruby hanyalah gadis di pertengahan tiga puluh tahun. Meski begitu, tubuhnya masih terawat dengan baik. Pinggangnya masih ramping tersambung oleh lengkungan indah pinggul yang tidak berlebihan meski kentara jelas.
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?