/0/20840/coverbig.jpg?v=37be8c8a1b5f716a18f080afe99634b2)
Seorang pria yang merasa diabaikan oleh istrinya jatuh cinta pada teman dekatnya. Perselingkuhan ini perlahan-lahan menghancurkan persahabatan dan hubungan pernikahannya, meninggalkan bekas yang sulit disembuhkan.
Seorang pria yang merasa diabaikan oleh istrinya jatuh cinta pada teman dekatnya. Perselingkuhan ini perlahan-lahan menghancurkan persahabatan dan hubungan pernikahannya, meninggalkan bekas yang sulit disembuhkan.
Arman duduk di ruang tamu rumahnya yang sepi, memandangi jam di dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. Sudah dua jam berlalu sejak ia pulang dari kantor, dan Sarah belum juga kembali. Ia tahu, pekerjaan Sarah sebagai dokter di rumah sakit tidaklah mudah. Tapi akhir-akhir ini, waktu yang mereka habiskan bersama semakin berkurang. Percakapan-percakapan ringan di meja makan dan canda tawa sederhana yang dulu mereka bagi kini hanya tinggal kenangan.
Arman mengambil ponsel dan mengetik pesan singkat untuk Sarah.
"Masih di rumah sakit? Pulang jam berapa?"
Pesan terkirim, tapi tidak ada balasan. Seperti malam-malam sebelumnya, ia menunggu dalam hening, hanya ditemani bayangan gelap di sekitarnya.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, pintu depan akhirnya terbuka, memperlihatkan sosok Sarah yang tampak lelah. Dia melepas sepatu dan menatap Arman dengan senyuman tipis yang dipaksakan.
"Kenapa belum tidur, Mas?" tanya Sarah sambil mengalungkan tasnya di bahu.
"Aku nungguin kamu, Sarah. Udah jam berapa ini?" Arman menjawab dengan nada lembut, namun tetap ada kekhawatiran di dalamnya.
Sarah tersenyum tipis dan mendekati Arman. "Maaf, Mas. Tadi ada pasien darurat. Ini lagi musim demam berdarah, jadi banyak pasien yang harus diawasi."
Arman mengangguk, berusaha memahami, meski di dalam hatinya ia merasa tak nyaman. Sampai kapan ini akan terus terjadi? pikirnya.
Sarah duduk di sebelah Arman dan mulai membuka obrolan, seolah mengabaikan kebisuan yang sempat melingkupi mereka.
"Kamu gimana di kantor? Ada masalah?" tanya Sarah, berusaha mengalihkan perhatian.
Arman tersenyum kecil. "Nggak ada yang penting, cuma rapat biasa."
Suasana berubah canggung, keduanya hanya terdiam. Sarah menghela napas panjang, lalu ia menyandarkan kepala di bahu Arman.
"Aku tahu belakangan ini kita jarang punya waktu bersama," kata Sarah pelan. "Tapi aku cuma ingin kamu tahu, aku melakukan ini juga untuk kita, untuk masa depan kita."
Arman tersenyum, namun di dalam hatinya, ada keresahan yang terus tumbuh. "Aku tahu, Sarah. Tapi kadang aku merasa... entah, ada sesuatu yang hilang. Kita dulu sering berbagi cerita. Sekarang, rasanya aku cuma bicara sama dinding."
Sarah mengangkat kepalanya, terkejut mendengar keluhan itu. "Mas, aku minta maaf. Aku nggak tahu kamu merasa seperti itu."
Arman menatap Sarah dalam-dalam, mencoba meredam perasaan yang meluap-luap. "Sarah, aku cuma rindu... rindu kebersamaan kita. Aku rindu kamu, rindu kita yang dulu."
Mata Sarah berkaca-kaca, tapi ia menunduk, menghindari tatapan Arman. "Aku juga rindu, Mas. Tapi pekerjaanku ini nggak bisa aku tinggalkan begitu saja. Kamu kan tahu aku udah bermimpi jadi dokter sejak dulu."
Arman mengangguk pelan, mencoba mengerti. "Aku tahu, Sarah. Aku tahu ini impian kamu. Tapi aku juga perlu kamu ada di sini. Aku perlu seorang istri, bukan hanya seorang dokter yang selalu sibuk."
Keduanya terdiam, merasakan beban yang semakin berat. Sarah berdiri, berjalan ke arah dapur tanpa berkata apa-apa lagi. Arman menatapnya dari belakang, menyadari betapa jarak di antara mereka semakin nyata, meskipun mereka berada di ruangan yang sama.
Di tengah kesepian yang ia rasakan, Arman merenung, Apakah aku yang terlalu egois? Atau memang hubungan ini perlahan-lahan kehilangan maknanya?
Malam itu berlalu dalam keheningan yang menggantung. Keduanya tidur di ranjang yang sama, namun terasa begitu jauh satu sama lain. Kesenjangan yang dulu hanya berupa ketidaknyamanan kecil kini terasa seperti jurang yang semakin lebar, membuat Arman tenggelam dalam bayangan kesepian yang ia rasakan setiap kali ia menutup mata.
Malam terus berlanjut dalam keheningan yang berat, bahkan setelah Sarah tertidur di sebelahnya. Arman memandangi langit-langit kamar, merenungkan kata-kata yang tadi mereka bicarakan. Rasanya hampa. Keduanya telah berubah. Ia merindukan kehangatan dan obrolan kecil yang dulu selalu mengisi hari-hari mereka.
Keesokan paginya, Arman terbangun lebih awal. Dia melangkah ke dapur dan menyiapkan sarapan sederhana; berharap momen itu bisa memperbaiki suasana di antara mereka. Ia menata roti bakar, telur, dan secangkir kopi di meja sambil menunggu Sarah bangun.
Ketika Sarah keluar dari kamar dengan mata yang masih setengah terpejam, ia tampak terkejut melihat Arman di dapur.
"Mas, pagi-pagi sudah repot masak?" tanyanya sambil tersenyum tipis.
"Ya, aku cuma mau kita makan bareng. Sudah lama kita nggak sarapan sama-sama, kan?" jawab Arman sambil tersenyum. Tapi senyum itu terasa getir, seperti upaya terakhir yang ia tahu belum tentu berhasil.
Sarah duduk di meja, memegang cangkir kopi yang masih mengepul. Mereka makan dengan percakapan ringan, namun setiap kali Arman mencoba mengungkapkan perasaannya, Sarah tampak berusaha mengalihkan pembicaraan.
Setelah beberapa saat, Sarah meletakkan cangkir kopinya, menatap Arman, dan berkata, "Mas, aku ngerti kamu merasa kita makin jauh. Tapi kita butuh saling pengertian. Pekerjaanku... tanggung jawabnya nggak gampang."
Arman menghela napas, mencoba untuk tidak terpicu oleh kata-kata Sarah. "Aku mengerti, Sarah. Aku tahu pekerjaan kamu itu penting, tapi apa yang kita punya di sini juga penting. Aku cuma ingin punya waktu lebih dengan kamu. Kalau terus seperti ini, aku takut kita malah semakin jauh."
Sarah menunduk, seakan menghindari konfrontasi itu. "Aku akan coba cari cara, Mas. Mungkin aku bisa minta jadwal yang sedikit lebih longgar..."
"Benarkah?" Arman menyela dengan sorot mata penuh harap.
Sarah menatapnya sejenak, lalu tersenyum. "Aku akan coba. Demi kita."
Mereka saling tersenyum, tapi di balik senyuman itu, ada kekhawatiran yang tetap tak bisa hilang. Arman tahu janji ini bukan pertama kalinya terdengar, dan rasa kesepian yang ia rasakan semakin lama semakin menggerogoti hatinya.
Beberapa hari berlalu dengan upaya Sarah menepati janjinya. Namun, panggilan-panggilan mendadak dari rumah sakit terus datang. Setiap kali Arman melihat Sarah harus pergi, ia merasa hatinya semakin hancur. Tak jarang, di malam-malam ketika Sarah sedang bertugas, Arman duduk sendirian di ruang tamu, menghabiskan waktu dalam diam.
Pada suatu malam, saat Sarah sedang dinas malam, Arman memutuskan untuk mengunjungi kafe kecil di dekat rumah mereka. Ia duduk di sudut ruangan, memesan secangkir kopi, mencoba melupakan sejenak rasa kesepian yang menggantung di dalam dirinya. Saat itulah, ia mendengar suara lembut menyapanya.
"Arman? Ini kamu?"
Ia menoleh dan mendapati Rania, teman lamanya sejak kuliah, berdiri di sana sambil tersenyum. Rania adalah sosok yang ceria, penuh energi positif, dan selalu mudah bergaul. Mereka saling menyapa dan mengobrol, mengingat kenangan lama dengan tawa yang sudah lama tak Arman rasakan.
"Sudah lama banget ya, Ran. Kamu di sini sekarang?" tanya Arman setelah mereka duduk bersama.
"Iya, aku balik lagi ke kota ini tahun lalu. Kebetulan dapat kerjaan di sini. Kamu sendiri gimana? Lihatnya kamu baik-baik aja, ya?" Rania menatap Arman dengan senyum hangat yang membuatnya merasa nyaman.
"Ah, iya, ya gitu deh," Arman menjawab sambil tersenyum kecil, namun ia menyadari bahwa senyum itu hanyalah topeng untuk menutupi perasaannya. Tanpa sadar, ia mulai bercerita tentang Sarah, pekerjaannya, dan kesepian yang sering menghantuinya belakangan ini.
Rania mendengarkan dengan penuh perhatian, menatap Arman dengan sorot mata simpatik. "Itu pasti berat, Man. Tapi... kamu juga butuh bahagia. Menikah itu tentang saling mendukung, bukan saling menjauh."
Ucapan Rania menancap di hati Arman. Entah bagaimana, ia merasa lebih dimengerti dalam beberapa jam berbicara dengan Rania daripada dalam waktu berminggu-minggu bersama Sarah yang akhir-akhir ini terasa jauh.
Saat malam itu berakhir dan mereka berpisah, Arman merasa sedikit lebih lega, seolah-olah beban di pundaknya telah sedikit terangkat. Namun, dalam benaknya, ia tak bisa menghilangkan perasaan bersalah. Meski tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Rania, ia merasa bahwa menghabiskan waktu bersama wanita lain hanya akan menambah kerumitan dalam kehidupannya.
Di lain sisi, kehangatan pertemuan dengan Rania terasa seperti angin segar di tengah kebekuan pernikahannya. Tanpa ia sadari, benih perasaan yang belum pernah ia rasakan sejak lama mulai muncul kembali.
Bersambung...
Di balik rumah tangga yang tampak sempurna, seorang suami diam-diam menjalani hubungan dengan teman masa mudanya. Saat rahasia ini terbongkar, ia dihadapkan pada kemarahan istri dan keluarga yang harus ia perbaiki atau ia tinggalkan.
Seorang anak laki-laki berencana memberi cokelat pada gadis yang disukainya saat istirahat sekolah. Tapi, ketika teman-temannya mulai menggodanya, rencananya gagal. Akankah ia tetap punya keberanian untuk memberikannya di hari lain?
Seorang istri yang baru mengetahui bahwa suaminya telah berselingkuh selama bertahun-tahun. Saat kebenaran terungkap, ia merencanakan pembalasan yang akan menguji kesetiaan dan kesabaran semua orang di sekitarnya.
Seorang wanita yang menikah dengan pria yang tampak sempurna mulai merasakan perasaan tak terduga terhadap pria lain. Saat ia terseret dalam kisah cinta terlarang ini, ia harus memilih antara hasrat atau komitmen pernikahannya.
Seorang wanita harus memilih antara kekasih rahasianya yang penuh gairah atau suami yang selalu mendukungnya. Saat ia terjebak dalam kebingungan, ia menyadari bahwa pilihannya akan mengubah hidup semua orang di sekitarnya.
Mobil Alia melaju perlahan menelusuri jalan berkelok yang membelah perkebunan teh hijau membentang luas. Aroma tanah basah dan daun teh bercampur dengan embun pagi, membangkitkan nostalgia dalam dirinya. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kampung halamannya ini.
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?
WARNING 21+ !!! - Cerita ini di buat dengan berhalu yang menimbulkan adegan bercinta antara pria dan wanita. - Tidak disarankan untuk anak dibawah umur karna isi cerita forn*graphi - Dukung karya ini dengan sumbangsihnya Terimakasih
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Kisah asmara para guru di sekolah tempat ia mengajar, keceriaan dan kekocakan para murid sekolah yang membuat para guru selalu ceria. Dibalik itu semua ternyata para gurunya masih muda dan asmara diantara guru pun makin seru dan hot.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
© 2018-now Bakisah
TOP