/0/21274/coverbig.jpg?v=b5a78bea3486434c9bfc6ada44e45cb7)
Nadia, perempuan ambisius dengan kehidupan penuh kemewahan, tak pernah menyangka akan tertarik pada Akbar, seorang hafidz Qur'an yang hidup sederhana. Terjebak di antara cita-citanya dan pesan spiritual yang Akbar tanamkan, Nadia mulai mempertanyakan tujuan hidupnya. Saat hati mulai mengalahkan logika, dia dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan status sosial atau mengejar kebahagiaan sejati bersama Akbar. Namun, cinta mereka menghadapi tantangan besar, karena bagi keluarganya, Akbar bukanlah pasangan yang "setara." Apakah cinta sejati mereka dapat menembus batas sosial dan ekonomi yang membelenggu?
"Untuk apa bicara soal kedamaian kalau hidup ini butuh uang?" tanya Nadia, nada sinis terdengar jelas dalam suaranya, memecah keheningan ruangan.
Semua menoleh ke arah suara itu, sebagian kaget, sebagian lainnya hanya terdiam, menanti reaksi pria yang berdiri di atas panggung. Pria itu adalah Akbar, sosok sederhana yang tampak berbeda di antara tamu-tamu lain yang hadir dengan busana mewah dan rapi.
Akbar tersenyum tipis, tak menunjukkan tanda terganggu sedikit pun oleh pertanyaan itu. Dengan tenang, dia menatap ke arah Nadia, sorot matanya lembut tapi tajam. "Kedamaian bukan tentang uang, Nadia," ucapnya pelan namun cukup jelas didengar oleh semua yang hadir.
Nadia mendengus pelan, merasa tertantang dengan balasan tersebut. "Kedamaian bukan tentang uang? Kamu tahu nggak, dunia ini berputar karena uang? Semua yang ada di sini, termasuk acara amal ini, membutuhkan uang agar bisa berjalan."
Akbar hanya mengangguk, tetap tenang. "Betul, tapi uang hanyalah alat, bukan tujuan. Tujuan kita seharusnya lebih dari sekadar materi."
"Jadi menurutmu, tujuan hidup itu apa? Kalau bukan untuk sukses?" tanya Nadia, nada sinisnya tak berkurang sedikit pun.
"Sukses adalah saat kita bisa hidup tanpa perlu terus-menerus mengejar sesuatu di luar diri kita," jawab Akbar dengan senyum yang tetap tenang.
Nadia merengut, merasa semakin tidak nyaman. Ia tak menyukai cara pria itu berbicara-tenang, tanpa nada emosi, seolah-olah benar-benar yakin dengan setiap kata yang diucapkannya. Namun, justru ketenangan itu yang membuat Nadia semakin terganggu.
Sofi, sahabatnya yang duduk di samping, menyenggolnya pelan. "Udah, Nad. Jangan terlalu keras."
Namun, Nadia mengabaikannya. Ia menatap Akbar dengan penuh rasa penasaran bercampur sinis. "Kamu hidup sederhana mungkin karena kamu belum pernah merasakan yang namanya kenyamanan. Jadi, wajar aja kamu nggak paham betapa pentingnya uang dalam hidup ini."
Akbar tersenyum, tetap tenang. "Saya tidak menyalahkan siapa pun yang menginginkan kenyamanan, Nadia. Semua orang berhak hidup layak. Tapi pertanyaannya adalah, apakah yang kita kejar itu benar-benar kebutuhan, atau hanya keinginan yang kita tanam karena terbiasa membandingkan diri?"
Kata-katanya menghantam Nadia. Ia terdiam sejenak, merasa seperti ditelanjangi di hadapan orang-orang. Selama ini, ia berusaha memiliki yang terbaik, menjalani hidup yang dianggap sukses. Tapi, mengapa kata-kata Akbar terdengar begitu menantang? Mengapa ia merasa seolah pria itu sedang berbicara langsung padanya?
"Jadi menurutmu hidup tanpa uang itu lebih baik?" Nadia bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah.
"Tidak begitu," jawab Akbar lembut. "Uang penting, sangat penting. Tapi hidup kita lebih berharga dari sekadar angka-angka di rekening. Mungkin kita bisa memiliki segalanya, tapi hati kita kosong. Mungkin kita terlihat bahagia, tapi di dalam diri kita, ada yang hilang."
Nadia merasakan perasaan aneh. Seakan-akan Akbar sedang berbicara langsung ke dalam hatinya. Ia tidak suka ini. Ia tidak suka merasa rapuh.
"Omong kosong," gumamnya, walau tak cukup pelan untuk menyembunyikan nada frustrasi dalam suaranya.
Akbar tetap tersenyum, tak terpancing oleh ketegangan yang terlihat di wajah Nadia. "Bukan omong kosong, Nadia. Mungkin kamu belum pernah merasakannya, atau mungkin kamu belum sadar. Tapi di saat kita berhenti mengejar hal-hal yang membuat kita letih, kita bisa mulai melihat apa yang benar-benar berarti."
Nadia ingin membalas, namun kata-kata Akbar terus bergema di kepalanya, seolah menghancurkan semua dinding yang selama ini ia bangun.
Sofi menarik napas dalam, lalu menepuk bahunya pelan. "Udah, Nad. Kita di sini untuk acara keluarga, bukan buat debat."
Nadia memalingkan wajah, berusaha mengendalikan emosinya. "Iya, aku tahu," jawabnya lirih, tapi tatapannya tak lepas dari Akbar, pria yang berhasil mengusik pikirannya dengan cara yang tak terduga.
Akbar menyudahi sesi bicaranya dan turun dari panggung. Saat ia mendekati meja Nadia, ia berhenti sejenak, menatapnya dengan sorot mata penuh pengertian. "Maaf kalau tadi ada kata-kata saya yang mungkin menyinggungmu, Nadia. Saya hanya ingin berbagi pemahaman."
Nadia merasa ingin menghindar, tetapi tatapan Akbar membuatnya sulit berpaling. "Kamu terlalu yakin dengan apa yang kamu katakan, seakan-akan kamu sudah tahu semuanya."
Akbar mengangguk pelan. "Saya tidak tahu semuanya, Nadia. Saya hanya tahu apa yang membuat saya merasa damai. Mungkin apa yang saya katakan tadi hanya cocok untuk sebagian orang, atau mungkin juga tidak."
"Jadi kamu nggak yakin juga?" Nadia menyipitkan mata, mencoba mencari kelemahan di balik jawaban Akbar.
Akbar tersenyum lagi. "Saya yakin pada kedamaian yang saya rasakan. Itu cukup buat saya."
Saat itu, Nadia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang terguncang. Selama ini, ia hidup dengan keyakinan bahwa yang ia lakukan adalah yang terbaik, mengejar kesuksesan, meraih apa yang ia inginkan. Namun, kata-kata Akbar seolah membuatnya ragu.
Sebelum Nadia sempat berkata apa-apa lagi, seorang tamu lain menghampiri Akbar, memintanya untuk berbicara. Akbar pun pamit dengan anggukan singkat, meninggalkan Nadia yang masih terpaku di tempat.
Sofi menarik lengannya pelan, mencoba mengajaknya duduk kembali. "Nad, kamu kenapa sih? Kelihatan banget kalau kamu terusik sama dia."
Nadia menghela napas panjang, mengalihkan pandangan dari punggung Akbar yang semakin menjauh. "Aku nggak tahu, Sof. Dia... dia ngomong seakan-akan semua yang aku percaya selama ini salah."
Sofi tersenyum tipis. "Mungkin kamu cuma nggak terbiasa mendengar perspektif lain."
Nadia diam, merenung. "Mungkin," gumamnya pelan.
Selama sisa acara, Nadia tak bisa fokus. Kata-kata Akbar terus berputar di kepalanya, menghantui pikirannya. Ia selalu berpikir bahwa hidup yang sempurna adalah memiliki segalanya. Tapi kenapa sekarang ia merasa kosong? Mengapa kata-kata Akbar begitu mengusik, seolah ia baru menyadari bahwa ada hal yang hilang dalam hidupnya?
Saat acara selesai, Nadia pamit pada Sofi dan langsung berjalan keluar ruangan. Udara malam yang dingin menyambutnya, tetapi itu tidak cukup untuk mengusir perasaan tidak nyaman yang merayap di dadanya.
Langkahnya terhenti ketika melihat Akbar berdiri di halaman, mengamati langit malam dengan tenang. Ada kedamaian di wajahnya, sesuatu yang langka dalam hidup Nadia.
Tanpa sadar, Nadia melangkah mendekat. "Kamu nggak takut kedinginan di sini?"
Akbar menoleh, tersenyum. "Udara malam ini menyegarkan. Membantu kita berpikir."
Nadia tersenyum kecil, menatap langit bersama Akbar. "Aku nggak ngerti gimana bisa kamu hidup seperti itu, seolah nggak ada yang kamu kejar."
Akbar menatapnya dengan lembut. "Kedamaian bukan berarti berhenti mengejar sesuatu, Nadia. Kedamaian adalah saat kita tahu apa yang harus kita kejar, dan apa yang harus kita lepaskan."
Nadia terdiam, kata-kata itu kembali mengusik. Selama ini, apa yang sebenarnya ia kejar?
"Aku nggak tahu apa yang harus aku lepaskan," akhirnya ia mengakui, lirih.
"Kadang, kita hanya butuh diam sejenak, memberi ruang untuk mendengarkan hati kita sendiri," jawab Akbar, suaranya lembut seperti angin malam.
Nadia merasa tenggelam dalam kedamaian yang Akbar bicarakan. Namun, ia tahu ketenangan ini tak akan bertahan lama. Hidupnya penuh dengan tuntutan, ambisi, dan ekspektasi. Bagaimana mungkin ia bisa hidup seperti Akbar?
"Nadia," suara Akbar menyela lamunannya. "Kamu nggak harus punya jawaban sekarang. Kadang, perjalanan menemukan jawaban itu lebih penting daripada jawabannya sendiri."
Nadia menghela napas panjang. Mungkin Akbar benar, tapi semua ini terasa begitu asing, begitu jauh dari kehidupannya yang biasa. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang meronta, seakan ingin merasakan kedamaian yang Akbar bicarakan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam tas. Sebuah panggilan dari salah satu rekan kerja. Ekspresinya berubah, kembali pada realitas yang ia kenal.
"Aku harus pergi," ucapnya cepat pada Akbar.
Don Arkhan. Nama yang ditakuti di dunia bawah tanah. Ia dingin, tegas, dan tak pernah membiarkan emosinya menguasai keputusan. Tapi semuanya berubah sejak pernikahannya dengan Yara, seorang gadis koplak yang membuatnya sering memijat kening karena tingkah konyolnya. Yara adalah paket lengkap kekacauan: manja, kocak, naif, dan selalu punya cara aneh untuk menyelesaikan masalah. Meskipun terlihat polos dan ceria, ia menyimpan luka mendalam dari masa lalunya yang kelam. Trauma itu membuatnya sering kabur saat Don Arkhan mencoba mendekatinya secara lebih intim. Bagaimana Don Arkhan, yang terkenal dengan aura mengintimidasi, bisa meluluhkan hati Yara dan membantu menyembuhkan lukanya? Di tengah konflik dengan rival Mafia dan drama internal organisasi, cinta mereka tumbuh dengan cara yang absurd tapi menghangatkan hati. Siap-siap tertawa, menangis, dan dibuat baper oleh kisah ini!
Zara, seorang pewaris muda yang dikenal hanya dari bayang-bayang kekayaan keluarganya, memutuskan menyamar sebagai karyawan biasa di perusahaannya untuk mengetahui kehidupan sehari-hari para karyawannya. Dalam penyamarannya, ia bertemu Arman, seorang manajer ambisius yang memiliki potensi dan sikap dingin. Namun, seiring waktu, Zara mendapati dirinya terjebak di antara dua pilihan: menyelamatkan perusahaan dari ancaman yang muncul dari dalam atau mempertahankan identitas samar yang melindunginya. Apakah Zara mampu menghadapi rahasia yang terungkap di balik layar bisnis ini, atau justru akan menjadi korban dari identitas yang ia sembunyikan?
Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan Tanika dan pria itu? Atau apakah perjalanan ini akan menghancurkan sisa-sisa hidupnya yang masih tersisa? Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?
Setelah menyembunyikan identitas aslinya selama tiga tahun pernikahannya dengan Kristian, Arini telah berkomitmen sepenuh hati, hanya untuk mendapati dirinya diabaikan dan didorong ke arah perceraian. Karena kecewa, dia bertekad untuk menemukan kembali jati dirinya, seorang pembuat parfum berbakat, otak di balik badan intelijen terkenal, dan pewaris jaringan peretas rahasia. Sadar akan kesalahannya, Kristian mengungkapkan penyesalannya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Namun, Kevin, seorang hartawan yang pernah mengalami cacat, berdiri dari kursi rodanya, meraih tangan Arini, dan mengejek dengan nada meremehkan, "Kamu pikir dia akan menerimamu kembali? Teruslah bermimpi."
Pada hari pernikahannya, saudari Khloe berkomplot dengan pengantin prianya, menjebaknya atas kejahatan yang tidak dilakukannya. Dia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, di mana dia menanggung banyak penderitaan. Ketika Khloe akhirnya dibebaskan, saudarinya yang jahat menggunakan ibu mereka untuk memaksa Khloe melakukan hubungan tidak senonoh dengan seorang pria tua. Seperti sudah ditakdirkan, Khloe bertemu dengan Henrik, mafia gagah tetapi kejam yang berusaha mengubah jalan hidupnya. Meskipun Henrik berpenampilan dingin, dia sangat menyayangi Khloe. Dia membantunya menerima balasan dari para penyiksanya dan mencegahnya diintimidasi lagi.
Tessa Willson dan Leonil Scoth telah menikah hampir dua tahun lamanya. Kesibukan Leo membuat Tessa merasa kesepian. Apa lagi akhir-akhir ini Leo tak pernah membuatnya puas di atas ranjang. Akibatnya Tessa sangat kecewa. Sampai akhirnya Arnold Caldwell datang di kehidupan Tessa dan Leo. Arnold adalah ayah sambung Leo. Arnold datang ke kota New York tadinya untuk urusan bisnis. Namun siapa sangka justru Arnold malah tertarik pada pesona Tessa. Keduanya pun berselingkuh di belakang Leo. Arnold memberikan apa yang tidak Tessa dapatkan dari Leo. Tessa merasakan gairahnya lagi bersama Arnold. Namun di saat Tessa ingin mengakhiri semuanya, dirinya justru malah terjebak dalam permainan licik Arnold. Mampukah Tessa terlepas dari cengkeraman gairah Arnold, dan mempertahankan pernikahannya dengan Leo?
Kisah asmara para guru di sekolah tempat ia mengajar, keceriaan dan kekocakan para murid sekolah yang membuat para guru selalu ceria. Dibalik itu semua ternyata para gurunya masih muda dan asmara diantara guru pun makin seru dan hot.