Pintu jip itu terbuka, lalu terbanting menutup dengan kekuatan yang bergema di malam yang sunyi bagaikan suara tembakan yang tajam. Seorang pria turun dari mobil dalam balutan seragam militer, yang tampak kurang serasi dengan lingkungan perkotaan. Ekspresi wajahnya yang tegas dan rahangnya yang kokoh menambah kesan menakutkan saat dia melangkah ke dalam hiruk pikuk bar tersebut.
Cahaya lampu neon yang berwarna-warni menerpa wajahnya yang dingin, bayangan bermain di wajahnya saat dia melangkahkan kaki dengan mantap. Bar itu ramai dengan dentuman musik yang menggetarkan dan gumaman obrolan orang mabuk, tapi dia dikelilingi oleh hawa dingin yang menakutkan, seolah-olah terisolasi dari hiruk pikuk di sekitarnya.
Di depan meja bar, Ryland Flynn sedang asyik menggoda seorang gadis bartender. Saat prajurit itu masuk, dia mendongak dan kabut alkohol seketika menghilang dari matanya. Melihat sosok yang mengesankan itu langsung menuju lift, dia bergegas turun dari kursi dan berlari untuk mencegat pria itu.
"Pak William ..., kenapa kamu datang ke Serendipity malam ini?" tanya Ryland dengan terbata-bata di bawah tatapan dingin pria itu.
Pria itu menyipitkan mata ke arah Ryland dan bertanya dengan suara yang dalam, "Di mana Renee?"
"Renee ... seharusnya dia sedang berada di rumahnya malam ini," jawab Ryland dengan tergagap sambil berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ketenangannya di bawah tatapan yang tajam tersebut.
Tanpa ragu, pria itu menekan tombol lift menuju lantai atas dan berkata dengan nada tajam dan tegas, "Kamu punya waktu 30 detik untuk memberitahunya."
Rasa panik mencengkeram Ryland sehingga jantungnya berdebar kencang. Dia menyadari bahwa tidak ada gunanya mengarang cerita sekarang. Dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Renee Carter tepat di hadapan seorang pria bertubuh kekar yang berdiri menjulang di atasnya. Namun, setelah tiga kali menelepon berturut-turut, tidak ada satu panggilan telepon pun yang terjawab sehingga memaksanya untuk buru-buru beralih ke WhatsApp. Tidak punya waktu untuk mengetik, dia memilih untuk mengirim pesan suara dengan menekan ikon mikrofon dan berbisik dengan nada mendesak, "Renee, suamimu ada di sini untuk menemuimu. Dia sedang naik lift."
Meskipun dia berusaha berbicara serendah mungkin, kata-katanya bergema jelas di ruang lift yang sempit itu.
Tawa dingin terdengar dari belakang Ryland, membuat bulu kuduknya berdiri saat lift berbunyi dan pintunya terbuka" Keringat mulai menetes di dahinya, setiap tetesnya merupakan bukti meningkatnya rasa takutnya.
Pria itu melangkah keluar dengan langkah mantap dan langsung menuju ruang VIP. Terperangkap dalam rasa takut, Ryland mengikuti pria itu dengan patuh di belakang, langkahnya ragu-ragu saat dia memeras otak untuk mencari jalan keluar.
Berada di depan sebuah pintu, pria itu langsung berhenti melangkah dan berbalik sedikit. Setelah mengumpulkan sedikit keberanian, Ryland berkata dengan suara gemetar, "Pak William, aku berani menjamin, dia tidak ada di sini."
"Kuberi satu kesempatan terakhir, bukakan pintu itu atau aku sendiri yang akan mendobrak pintu ini."
"Kumohon, percayalah padaku. Dia ...," bujuk Ryland dengan terbata-bata.
Pria itu mulai menghitung mundur dengan tenang tanpa memberi ruang untuk perdebatan, "Tiga ...."
"Oke, oke, aku akan membukanya," gumam Ryland dengan enggan sebelum menghela napas berat dan mengeluarkan kunci kamar untuk membuka pintu dengan tangan gemetar. Di dalam hati, dia merasa kasihan pada Renee, tapi dia tidak berani menentang anggota Keluarga Mitchell yang berkuasa.
Begitu pintu terbuka, mata pria itu menyipit dan raut wajahnya mengeras, seperti seorang komandan yang tegas dan pantang menyerah, saat menyaksikan pemandangan di hadapannya.
Ryland melirik sebentar ke dalam dan menarik napas dalam-dalam, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya untuk menjaga keselamatan diri sendiri, memosisikan dirinya tepat di ambang pintu dan mengamati dari jarak yang aman.
Di dalam ruangan, Renee sedang berbaring dengan malas di sofa, tubuhnya terbungkus gaun slip satin berwarna merah terang, yang memberikan kesan berani, dan diapit oleh dua gigolo yang muda dan tampan. Tubuh mereka yang telanjang dihiasi dengan jejak-jejak gairah yang jelas, goresan-goresan terukir di kulit mereka, yang menggambarkan betapa intensnya interaksi di antara mereka.
Mendengar suara pintu yang berderit terbuka secara tiba-tiba, kedua gigolo itu membeku, otot-otot mereka menegang saat mereka melihat sosok yang menakutkan berdiri di pintu masuk.
Sebaliknya, Renee menunjukkan sikap santai dan acuh tak acuh. Perlahan-lahan dia membuka matanya, bibirnya melengkung membentuk seringai mengejek saat melihat siapa yang datang.
Dengan kilatan nakal di matanya yang setengah terbuka, dia menatap pria itu dan senyumnya merekah di sudut mulutnya. "Tenang, anak-anak, ini bukan penggerebekan polisi," Perkenalkan, dia adalah suamiku, William Mitchell yang terhormat dari Keluarga Mitchell. Kalian pasti pernah mendengar tentangnya, kan?" godanya dengan nada jijik.
Ketika tatapannya jatuh ke wajah William yang muram, dia menyeringai provokatif dan melanjutkan, "Pak William, kenapa kamu begitu usil sampai jauh-jauh datang ke sini? Bukankah seharusnya kamu menyibukkan diri dengan kekasih masa kecilmu daripada membuang-buang waktu di sini bersama kami?"
William mendekat dengan langkah hati-hati, dinginnya udara malam menempel di jaket militernya, yang mencerminkan sikap dingin di wajahnya. Dia duduk di sofa berhadapan dengan Renee, lalu menyilangkan kakinya dengan cuek.
Kemudian, dia menyeringai mengejek dan melambaikan tangannya sambil berkata, "Jangan pedulikan aku, silakan lanjutkan aktivitas kalian."