Sebagai perempuan yang tak pernah bersentuhanan dengan lelaki bahkan untuk berbicara dengan lawan jenis hampir tak pernah, Nadhera sangat menjaga batasan pergaulan dengan laki-laki yang bukan mahram. Kalaupun terpaksa berbicara, dia akan menundukkan pandangannya untuk menjaga hatinya. Dan malam ini perasaannya campur aduk.
Attar yang baru datang langsung melepas jas, menggantungnya di stand hanger. Tanpa ada rasa canggung dia buka kemejanya di depan Nadhera memperlihatkan dada bidangnya. Tak ada ucapan basa basi dari lelaki tampan itu. Dia terlihat asyik sendiri dengan siulannya.
Melihat Nadhera di ranjang dengan muka tertunduk malu, Attar langsung mendekati istrinya yang cantik itu. Dia lepaskan aksesoris yang menempel di hijab istrinya tanpa berkata sepatah apapun.
Jantung Nadhera berdegup kencang saat tak sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan lelaki kekar yang otot-ototnya terlihat jelas. Sentuhan itu, meski hanya sekejap, mengirimkan gelombang kehangatan yang menjalar hingga ke ujung jari-jarinya.
Nadhera bisa merasakan kekuatan dan kehangatan dari tangan lelaki itu membuatnya sulit untuk mengalihkan pandangan. Aroma parfum Attar yang khas memenuhi udara saat Nadhera tak sengaja melihat tubuh kekar suaminya. Dia buru-buru berpaling, pipinya memerah karena belum terbiasa dengan pemandangan itu. Hatinya berdebar kencang, mencoba menenangkan diri dari kejutan yang tak terduga.
Melihat istrinya salah tingkah, Attar hanya tersenyum tipis. Dia dengan tenang membantu membuka resleting belakang gaun Nadhera, memperlihatkan sekilas kulitnya yang putih. Nadhera mencoba menenangkan diri dari rasa malu yang tiba-tiba muncul.
"Apakah secepat ini suaminya meminta haknya?" pikirnya dipenuhi banyak pertanyaan.
Tak mau semakin gemetar, Nadhera memberanikan diri membuka obrolan.
"Sebaiknya kita salat dulu sebelum melakukannya, Mas."
Attar yang mendengar istrinya bersuara tiba-tiba tertawa lebar.
"Apa katamu? Salat?"
Mendengar suaminya menertawakan dirinya, Nadhera tercengang. Dia tidak menyangka reaksinya seperti itu. Tidak ada yang salah dari perkataannya. Namun tawa Attar membuatnya merasa bingung dan sedikit tersinggung.
"Jangan harap aku menjamah tubuhmu. Pernikahan ini hanya sandiwara. Aku menikahimu karena terpaksa, bukan cinta. Sudah saatnya kau tahu kenyataan sebenarnya," jawan Attar dengan nada dingin.
Kata-kata itu menghantam Nadhera bagai petir di siang bolong. Hatinya terasa hancur, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Kenyataan pahit itu membuatnya merasa terpuruk.
"Apa maksud ucapanmu, Mas? Aku tak mengerti," tanya Nadhera dengan suara bergetar, matanya mencari jawaban di wajah Attar.
"Kita hanya pasangan suami istri di atas kertas. Tapi kau jangan khawatir. Kau akan mendapatkan fasilitas mewah selama jadi istriku. Kau bebas mau melakukan apa saja. Asal jangan memintaku untuk memberikan hak sebagai suami."
Tubuh Nadhera lemas. Dia tak menyangka suaminya tega melakukan ini.
"Oh iya, kamu jangan salah sangka. Aku hanya membantumu membuka gaun pengantin agar memudahkanmu berganti pakaian, bukan karena aku tertarik ingin melakukannya denganmu," kata Attar tanpa basa-basi. Lalu pergi membanting pintu dengan keras meninggalkan istrinya sendirian.
Hati Nadhera semakin hancur mendengar penjelasan Attar. Dia menundukkan kepala, menumpahkan semua kesedihannya.