Di hari pernikahan kami, dia meninggalkanku menunggu di altar untuk bergegas ke sisi Amara yang-sangat kebetulan-mengalami "serangan panik". Dia begitu yakin aku akan memaafkannya. Dia selalu begitu.
Dia tidak melihat pengorbananku sebagai hadiah, tetapi sebagai kontrak yang menjamin kepatuhanku.
Jadi, ketika dia akhirnya menelepon ke lokasi pernikahan di Bali yang kosong melompong, aku membiarkannya mendengar deru angin gunung dan lonceng kapel sebelum aku berbicara.
"Pernikahanku akan dimulai," kataku.
"Tapi bukan denganmu."
Bab 1
Sudut Pandang Binar Anjani:
Tunanganku mengubah lokasi pernikahan kami dari satu-satunya tempat di dunia yang paling berarti bagi kami, ke Bali, hanya karena sahabatnya, Amara, bilang Puncak terlalu dingin.
Aku berdiri di sana, tersembunyi di balik pot besar berisi pohon biola cantik di lobi firma investasi swasta milik Kian, dan kata-kata itu menghantamku seperti pukulan fisik. Udara serasa tersedot keluar dari paru-paruku, dan rancangan arsitektur kapel di Puncak yang kupegang erat, tiba-tiba terasa seperti tumpukan kertas tak berharga.
Selama lima tahun, Puncak adalah tempat suci kami. Itu lebih dari sekadar lokasi; itu adalah sebuah bukti. Di sanalah, di tebing berselimut salju, aku menemukan Kian, tubuhnya remuk dan tergantung pada seutas tali yang usang setelah manuver panjat tebingnya gagal total. Di sanalah, dalam upaya putus asa untuk menyelamatkannya, sebuah insiden membuatku menderita gangguan penglihatan neurologis kronis-dunia yang terkadang berkilauan dan kabur di tepinya, pengingat permanen akan hari di mana aku memilih hidupnya di atas penglihatanku yang sempurna.
Dan dia menukarnya dengan Bali. Untuk Amara.
Aku bisa melihatnya melalui dinding kaca ruang rapat, bersandar di kursinya, gambaran kesombongan yang kasual. Sahabat sekaligus rekannya, Gilang Wirawan, cerminan dunia Kian yang penuh privilese, duduk di tepi meja.
"Lo gila?" tanya Gilang, suaranya lirih nyaris tak terdengar. "Lo belum kasih tahu Binar?"
Kian melambaikan tangannya dengan acuh, fokusnya pada ponsel yang sedang ia mainkan. "Nanti gue kasih tahu. Dia bakal ngerti, kok."
"Ngerti? Kian, cewek itu punya binder. Binder yang lebih tebal dari laporan kuartal terakhir kita. Dia udah ngerencanain acara di Puncak ini setahun penuh. Itu... lo tahu... impian dia."
"Ini cuma pernikahan, Gilang, bukan peluncuran roket," desah Kian, suaranya penuh ketidaksabaran yang terasa seperti ribuan sayatan kecil. "Semua drama murahan soal gunung itu... udah basi. Lagian, Bali lebih bagus. Lebih seru buat pesta."
"Pestanya Amara," koreksi Gilang, senyum miring terukir di bibirnya. "Gue dengar dia ngeluh soal ketinggian."
"Asmanya kambuh kalau dingin," kata Kian, nadanya berubah, melembut dengan perhatian yang tidak pernah, sama sekali tidak pernah ia gunakan untukku. "Dia butuh udara hangat."
"Oh, 'asmanya'," kata Gilang, membuat tanda kutip di udara. "Asma yang sama yang nggak menghentikannya ikut pesta yacht di Kroasia?"
"Itu beda."
"Selalu beda kalau menyangkut Amara," gumam Gilang. "Jadi, lo beneran ngubah semuanya? Buat dia?"
"Gue nggak ngubah ini buat dia," bentak Kian, akhirnya mengangkat wajah dari ponselnya, rahangnya mengeras. "Gue ngubah ini karena Bali lebih asyik. Suasananya lebih bagus. Binar bakal ngerti."
Dia mengatakannya dengan keyakinan yang begitu santai. Binar bakal ngerti. Itulah kisah hubungan kami. Binar, yang bisa diandalkan, yang pengertian, yang selalu memberi dan tidak pernah meminta. Yang menyelamatkan hidupnya dan menanggung bekas lukanya, agar dia bisa terus menjalani hidupnya, tanpa hambatan.
"Dia tunangan gue. Dia cinta sama gue," lanjut Kian, senyum puas kembali menghiasi wajahnya. "Dia bakal bahagia di mana pun gue berada. Itu kesepakatannya. Dia udah buktiin itu di gunung."
Kekejaman pernyataannya sungguh membuatku sesak napas. Dia melihat pengorbananku bukan sebagai hadiah, tapi sebagai kontrak. Ikatan tak terpatahkan yang menjamin kepatuhanku.
Sebuah dering memecah udara. Wajah Kian berseri-seri saat menjawab telepon, menyalakannya dalam mode pengeras suara.
"Kian, sayang!" Suara Amara yang dibuat-buat manis memenuhi ruangan, penuh kepalsuan. "Kamu udah dapat?"
Gilang mencondongkan tubuh, matanya membelalak dengan minat yang teatrikal.
"Tentu aja udah," kata Kian, suaranya rendah dan intim, suara yang sudah bertahun-tahun tidak kudengar ia gunakan padaku. "Barangnya nungguin kamu."
"Ya Tuhan, kamu emang yang terbaik. Rasanya pengen cium kamu!" pekiknya. "Yang Valentino? Yang kita lihat itu? Yang warna putih?"
Darahku terasa membeku. Yang warna putih.
"Betul sekali," Kian memastikan. "Langsung diterbangkan dari Paris."
"Delapan ratus juta, Kian! Kamu bener-bener manjain aku," serunya. "Aku janji bakal bikin ini setimpal."
"Aku tahu kamu bakal begitu," gumamnya.
Gilang bersiul pelan. "Delapan ratus juta buat gaun? Lo mau nikahin siapa, Kian, dia atau Binar?"
Kian tertawa, suara yang hampa tanpa humor. "Amara harus tampil paling baik. Dia bakal jadi bintangnya. Lo tahu kan dia serapuh apa."
Rapuh. Kata itu menggantung di udara, sebuah lelucon yang kejam. Aku teringat gaun pengantinku sendiri. Aku menemukannya di sebuah butik kecil yang elegan, gaun A-line sederhana dari sutra gading yang harganya jauh di bawah angka fantastis itu. Aku mengirimkan fotonya pada Kian, jantungku berdebar penuh semangat.
Dia hanya membalas dengan satu kata singkat: Oke.
Saat tiba waktunya membayar, dia melemparkan kartu kreditnya ke meja kasir dengan desahan kesal, seolah tagihan lima puluh juta rupiah adalah sebuah ketidaknyamanan yang luar biasa. Dia terus-terusan menelepon, mendesakku, mengeluh dia terlambat untuk main squash.
Delapan ratus juta untuk Amara. Lima puluh juta untukku.
Perhitungannya sederhana. Menghancurkan.
Pada saat itu, berdiri di belakang daun-daun layu tanaman lobi, seluruh arsitektur lima tahun hidupku bersama Kian Adhitama runtuh menjadi tumpukan puing dan debu.
Kilauan di penglihatanku semakin intens, tepi dunia menjadi kabur bukan karena kerusakan neurologis, tetapi karena air mata panas tanpa suara yang akhirnya mulai jatuh. Dia bukan hanya berselingkuh secara emosional. Dia sedang membangun kehidupan baru bersamanya, menggunakan batu bata cintaku dan semen pengorbananku.
Dan aku hanyalah fondasi, terkubur dan terlupakan.