Pesan singkat itu datang dari teman lamanya, Clara. Tanpa banyak berpikir lagi, Seraphina menekan tombol untuk membalas, jari-jarinya gemetar. Clara, seorang teman yang lebih sering berada dalam dunia yang lebih gelap daripada Seraphina sendiri, selalu punya cara untuk membuat semuanya terasa "mungkin." Namun, untuk kali ini, Seraphina tahu bahwa ini adalah jalan yang berbeda, jalan yang bisa mengubah hidupnya selamanya.
Setelah beberapa detik, ia memutuskan untuk mengabaikan rasa takut yang merayap, dan mengirimkan pesan balasan.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Tidak lama kemudian, Clara membalas.
"Kamu akan tahu malam ini. Semua akan selesai, Seraphina. Percaya padaku."
Malam itu, Seraphina berjalan dengan langkah ragu menuju lokasi yang disebutkan Clara. Hatinya berdebar, cemas. Selama ini, ia hanya tahu kehidupan Clara yang penuh dengan pesta dan orang-orang kaya yang tak pernah ia pikirkan bisa berhubungan dengannya. Tapi sekarang, ia tahu dirinya sudah tidak punya pilihan lain.
Saat memasuki gedung megah yang terletak di pusat kota, suasana yang dingin dan terkesan terlalu mewah membuat Seraphina semakin cemas. Tak ada suara selain suara sepatu hak tingginya yang menapaki lantai marmer. Pintu besar di depannya terbuka secara otomatis begitu ia mendekat. Seketika, bau parfum mewah dan asap tembakau memenuhi indera penciumannya. Suasana di dalam ruangan itu terasa asing, bagaikan dunia yang sama sekali berbeda dari apa yang ia kenal.
Clara sedang menunggunya di sudut ruangan, duduk dengan anggun di kursi kulit berwarna gelap. Wajahnya yang selalu penuh senyum kini terlihat lebih serius, bahkan dingin.
"Seraphina, ini dia," ujar Clara, suaranya tak sebesar biasanya. "Kael Westbrook."
Pria itu berada di pojok ruangan, terbalut jas hitam rapi yang mengesankan kekuatan dan ketegasan. Kael Westbrook, salah satu orang terkaya di kota ini, terkenal dengan reputasinya yang tak kenal ampun dalam urusan bisnis, serta kedalaman misterinya yang selalu mengelilinginya. Kael tidak menoleh ketika mereka masuk, hanya duduk dengan tenang di kursinya, tangan terlipat di depan dada. Tatapan matanya tajam dan penuh penilaian.
Seraphina merasa tubuhnya kaku, seperti ada sesuatu yang menahan dirinya untuk melangkah lebih dekat. Namun, Clara menariknya, memaksanya untuk maju.
"Kael," kata Clara, menatap pria itu dengan cara yang membuat Seraphina bertanya-tanya apakah mereka sudah lama mengenal satu sama lain. "Ini Seraphina. Dia yang akan membantu kita."
Kael akhirnya menatapnya, matanya dingin dan tanpa ekspresi, seolah-olah dia sedang menilai barang yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. Seraphina merasa seolah-olah segala sesuatu di dalam dirinya tercabik-cabik oleh tatapan itu. Ia tak tahu harus berkata apa.
Kael berbicara dengan suara rendah, namun setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti beban yang berat.
"Kamu tahu kenapa kamu ada di sini, bukan?"
Seraphina mengangguk pelan, meski hatinya berdebar-debar penuh ketakutan. "Aku... aku tidak punya pilihan lain, bukan?"
Kael tersenyum tipis, senyum yang terasa sangat dingin. "Betul. Tidak ada pilihan lain, Seraphina. Kalau kamu ingin menyelesaikan masalahmu, malam ini adalah satu-satunya kesempatanmu. Ikuti apa yang kuperintahkan, dan semua ini akan selesai."
Seraphina menatapnya dengan penuh kebingungannya. Apa yang dia katakan? Apa yang sebenarnya dia maksud? Ia merasa tubuhnya serasa lemas, keringat dingin mulai merembes keluar di sepanjang punggungnya. Namun, ia tahu satu hal dengan pasti-malam ini hidupnya akan berubah selamanya.
Dia hanya berharap, dia tidak terlalu jauh melangkah.