Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Hukum Sang Pewaris Cacat
Hukum Sang Pewaris Cacat

Hukum Sang Pewaris Cacat

5.0

Damon Valenti, seorang Don mafia yang berkuasa, baru saja kehilangan istrinya di hari kelahiran putra semata wayangnya. Tragedi lain muncul: bayi kecil itu, Enzo, sama sekali menolak susu formula. Di tengah keputusasaan yang mencekik, Damon bertemu dengan Isabella Moreno. Isabella adalah seorang ibu yang baru saja berduka atas kehilangan anaknya sendiri, namun tubuhnya masih memproduksi air susu ibu (ASI). Melihat peluang, Damon segera membuat kontrak yang jelas dan dingin: Isabella hanya perlu menyusui dan merawat Enzo. Tidak ada hubungan pribadi, tidak ada romansa. Hanya bisnis. Awalnya, kesepakatan itu berjalan sesuai rencana. Namun, Damon Valenti adalah pria yang terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Setiap hari, saat ia menyaksikan Isabella dengan kelembutan seorang ibu, obsesi berbahaya mulai merangkak naik dalam dirinya. Sentuhannya yang awalnya hanya tidak sengaja kini terasa menjerat, dan bisikan perintahnya berubah menjadi godaan yang mematikan. Sang Don mafia telah kecanduan... bukan pada ASI, tapi pada wanita yang memberikannya.

Konten

Bab 1 Ruangan kos kecil

Telepon di atas meja bergetar, mengirimkan getaran kasar ke seluruh permukaan kayu yang lembap. Isabella tidak perlu melihat layarnya untuk tahu siapa yang menelepon. Itu adalah nomor yang sama, nomor yang sangat profesional namun menakutkan, yang menghubunginya sejak tiga hari lalu. Nomor dari dunia lain.

Ruangan kos kecil itu pengap. Bau deterjen murah bercampur dengan aroma teh celup yang sudah dingin. Isabella meringkuk di kursi rotan, memegang sebuah foto kecil. Matanya sembap, tetapi air mata sudah kehabisan persediaan sejak seminggu yang lalu. Ia hanya punya kekosongan. Kekosongan sebesar lubang di dadanya. Lubang yang ditinggalkan oleh Elias, putranya, yang kini hanya tersisa sebatas debu.

Ponsel itu bergetar lagi, lebih mendesak.

"Jawab, Bella," bisik Maria, pemilik kos yang kebetulan sedang menyetrika di ambang pintu. "Itu sudah hari ketiga. Siapa tahu itu pekerjaan, 'Nak."

Pekerjaan. Isabella mendengus. Mereka menyebutnya 'pekerjaan' karena tidak ada kata yang lebih sopan untuk mendeskripsikan transaksi yang akan ia lakukan ini. Ia menelan ludah, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya-atau mungkin sisa-sisa keputusasaannya-dan mengangkat panggilan itu.

"Ya," suaranya serak, terlalu lama tak digunakan.

"Nyonya Moreno? Ini Tuan Luciano, penasihat Tuan Valenti. Kami menunggu jawabanmu mengenai proposal yang kami ajukan." Suara di seberang sana tenang, sebersih kaca, tetapi setiap katanya membawa beban yang jauh lebih berat daripada ancaman.

Isabella menarik napas panjang. "Aku... aku sudah memikirkannya."

"Bagus. Keputusanmu?"

Ia memejamkan mata. Keputusannya. Keputusannya untuk menjual hal yang paling intim, paling personal, yang ia miliki: tubuhnya sebagai ibu. Walaupun hanya untuk memberi makan bayi lain, rasanya seperti mengkhianati kenangan Elias. Tapi rumah sakit... tagihan yang menumpuk tak mungkin dilunasi dengan bekerja di toko roti. Utangnya menjulang seperti menara yang siap menimpanya.

"Aku setuju," katanya, akhirnya. Suara 'setuju' itu terasa asing, seperti lidahnya mengucapkan kata dalam bahasa yang belum pernah ia pelajari.

Hening sejenak. Luciano tidak terdengar terkejut, tidak juga lega. Hanya efisien. "Baik. Kita atur pertemuannya malam ini. Jam sembilan. Ada mobil yang akan menjemputmu di sudut jalanmu. Jangan terlambat."

Sambungan terputus.

Isabella menjatuhkan ponsel ke kasur lusuh. Perutnya terasa seperti diaduk. Malam ini. Malam ini ia akan bertemu langsung dengan pria itu, Damon Valenti. Nama yang hanya ia dengar dalam bisik-bisik yang diselimuti ketakutan. Don Valenti. Sang Raja Kejahatan yang baru saja kehilangan ratunya.

Ia bangkit, menatap pantulan dirinya di cermin retak. Wanita kurus, pucat, dengan mata yang menyimpan badai. Apa yang akan Damon Valenti lihat? Apa yang akan dia harapkan?

"Bella?" Maria mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran yang tulus. "Kerja apa? Jangan aneh-aneh ya, Nak. Maria tahu kamu butuh uang, tapi-"

"Tidak ada yang aneh, Ma," potong Isabella cepat. Ia tak sanggup menceritakannya. "Aku hanya... akan jadi pengasuh. Pengasuh bayi yang sangat kaya. Itu saja."

Ia tahu Maria tidak percaya, tetapi dia mengangguk pelan. Isabella bergegas masuk ke kamar mandi kecil, mencuci wajahnya, mencoba menghilangkan jejak air mata dan kesedihan yang melekat. Malam ini, ia harus jadi Seraphina yang baru. Seraphina yang kuat, yang hanya peduli pada uang di rekening, bukan pada hati yang hancur.

Jam delapan empat puluh lima. Isabella berdiri di bawah tiang lampu jalan yang berkedip-kedip, membawa tas kecil berisi beberapa pakaian ganti dan dompet usang. Ia mengenakan blus putih tertutup dan rok panjang, mencoba terlihat serapih dan seprofesional mungkin di tengah kemacetan ibukota yang riuh.

Tepat jam sembilan, sebuah mobil hitam legam, yang terlihat seperti tank yang disemir, meluncur tanpa suara di depannya. Jendelanya gelap, memantulkan cahaya lampu jalan dengan dingin. Isabella ragu sejenak.

Pintu belakang terbuka. Sosok pria berpakaian serba hitam, dengan wajah tanpa ekspresi yang biasa dilihat di film-film thriller, memberi isyarat padanya untuk masuk.

"Nyonya Moreno? Silakan."

Isabella masuk ke dalam mobil, dan pintu tertutup di belakangnya dengan suara "klik" yang mematikan. Interiornya mewah, berbau kulit baru dan sesuatu yang mahal, mungkin cerutu. Rasanya seperti masuk ke dalam bunker berlapis emas.

Perjalanan terasa sangat panjang. Mereka meninggalkan hiruk pikuk jalanan utama, memasuki area yang semakin sepi dan semakin mewah. Gerbang besi tinggi, dinding batu setinggi dua kali orang dewasa, dan kemudian-mansion Valenti.

Itu bukan sekadar rumah. Itu adalah benteng. Terbuat dari batu gelap, dengan lampu-lampu sorot yang menerangi setiap sudut, dikelilingi taman yang luas dan sunyi. Rumah yang sama sekali tidak terasa hidup. Itu adalah tempat di mana kekuasaan bersemayam.

Isabella dituntun melewati koridor marmer yang panjang dan megah. Langkah kakinya, yang biasa menginjak lantai kayu reot di kos, kini bergema, membuat perutnya semakin mual. Akhirnya, ia dibawa ke sebuah ruang kerja yang besar, didominasi warna gelap dan rak buku yang menjulang.

Di balik meja kayu mahoni yang sangat besar, duduklah dia. Damon Valenti.

Ia bukan pria tua yang bungkuk, seperti yang Isabella bayangkan. Usianya mungkin baru awal tiga puluhan. Wajahnya tampan dengan ketampanan yang tajam, rahangnya keras, matanya gelap dan dingin seperti malam tanpa bintang. Ia mengenakan kemeja gelap, tanpa dasi, dan aura kekuasaan yang ia pancarkan jauh lebih nyata daripada yang pernah ia tonton di televisi. Ia adalah bahaya yang bergerak lambat.

Damon sedang memegang selembar kertas. Ia bahkan tidak mendongak ketika Isabella masuk.

"Ini dia, Tuan," ujar pria yang membawanya masuk.

Damon mengangguk tanpa melihat. "Kau bisa pergi."

Pria itu segera menghilang. Isabella ditinggalkan sendirian, berdiri canggung di tengah karpet Persia tebal. Keheningan di ruangan itu begitu berat hingga hampir menyesakkan napas.

Akhirnya, Damon meletakkan kertas itu. Matanya yang tajam menatap Isabella dari ujung kepala sampai ujung kaki, tanpa emosi, seperti sedang memeriksa komoditas.

"Isabella Moreno." Suaranya rendah dan serak, tetapi memiliki resonansi yang mampu membuat bulu kuduk berdiri.

"Ya," jawab Isabella, berusaha agar suaranya tidak terdengar gemetar.

Damon bersandar, melipat tangannya di dada yang berotot. "Kau sudah membaca kontraknya. Aku ingin memastikan kau mengerti betul apa yang kau setujui."

Ia mengangkat selembar kertas, bukan kontrak formal, melainkan foto kecil. Foto bayi. Bayi yang sangat mungil, dengan rambut halus dan wajah yang polos. Damon melihat foto itu, dan untuk sepersekian detik, Isabella melihat sesuatu melintas di mata gelapnya-kesedihan yang terpendam, rasa sakit yang sama dengan miliknya.

"Namanya Enzo," kata Damon, suaranya sedikit melunak. "Dia menolak semua susu formula, setiap merek. Kami sudah mencoba segala cara. Dokter mengatakan dia tidak akan bertahan jika kondisinya terus begini."

Dia meletakkan foto itu. Aura dinginnya kembali.

"Kau," katanya, menunjuk Isabella dengan jari telunjuk yang kokoh, "Kau adalah satu-satunya solusi yang tersisa."

Isabella merasakan pipinya memanas. "Aku mengerti, Tuan Valenti. Aku harus memberikan... ASI. Dan merawatnya. Sampai dia cukup besar untuk beralih ke makanan lain."

"Bukan hanya itu," Damon memotongnya, suaranya kembali dingin seperti batu es. "Kontrak ini menetapkan batasan yang sangat jelas. Kau akan tinggal di sini. Kau tidak boleh meninggalkan properti ini tanpa izin dariku, dan selalu dengan pengawasan."

"Aku setuju," Isabella berbisik.

"Kau tidak boleh berbicara dengan siapa pun tentang apa yang terjadi di sini. Siapa nama ibunya, siapa ayahnya-kau hanya tahu kau adalah pengasuh yang dibayar mahal. Jika ada yang bertanya, kau harus katakan kau dipekerjakan penuh waktu untuk merawat anakku."

"Aku akan mengikuti aturannya."

Damon mendengus sinis. "Kau menjual waktumu, Isabella. Kau menjual tubuhmu untuk kelangsungan hidup anakku. Imbalannya besar, lebih besar daripada yang bisa kau dapatkan seumur hidupmu di luar sana. Tapi sebagai gantinya, kau kehilangan kebebasanmu, dan kau kehilangan privasi."

Konflik mulai muncul. Ini bukan hanya tentang menyusui. Ini tentang Damon yang mengambil alih seluruh hidupnya.

"Apakah... apakah aku akan memiliki kontak denganmu, Tuan Valenti?" tanya Isabella. Ia perlu tahu batas-batas yang ia hadapi.

Damon memandangnya lama, seolah sedang memikirkan kemungkinan itu. "Aku adalah ayahnya. Aku tinggal di rumah ini. Tentu saja kau akan melihatku. Tapi interaksi kita akan sebatas Enzo. Tidak ada percakapan pribadi. Tidak ada sentuhan. Tidak ada keterikatan emosional."

Ia berdiri. Damon Valenti jauh lebih tinggi dan lebih mengintimidasi saat berdiri. Ia berjalan mengelilingi meja dan berhenti tepat di depan Isabella.

"Kontrakmu berlangsung enam bulan. Setelah enam bulan, kau pergi. Kita tidak akan pernah bertemu lagi, dan rahasia ini akan ikut bersamamu. Jelas?"

"Jelas," ulang Isabella, memaksakan dirinya untuk mempertahankan kontak mata.

"Satu lagi," Damon membungkuk sedikit, suaranya turun menjadi nada ancaman yang berbahaya. "Jika kau pernah, sekalipun, membahayakan anakku, atau mencoba menggunakan posisimu untuk mendekatiku atau mendapatkan sesuatu yang bukan hakmu-kau akan berurusan langsung denganku, Isabella. Dan aku menjamin, kau tidak akan menyukainya."

Itu adalah ancaman yang terselubung dengan sempurna. Jantung Isabella berdebar kencang di tulang rusuknya. Ia tahu ia sedang berhadapan dengan binatang buas yang sedang terluka, dan Enzo adalah satu-satunya miliknya yang tersisa.

"Aku tidak tertarik padamu, Tuan Valenti," balas Isabella, tiba-tiba rasa takutnya digantikan oleh percikan kemarahan yang dingin. "Aku di sini demi uang untuk melunasi utangku. Hanya itu. Anakmu aman bersamaku."

Ekspresi Damon sedikit berubah, tampak terkejut sesaat, tetapi segera kembali datar. Mungkin dia tidak terbiasa ada yang menantangnya.

"Baiklah. Kita akan melihat seberapa lama sikap itu bertahan." Damon mengambil kontrak itu dari meja dan menyerahkannya padanya. "Tanda tangani. Sekarang."

Isabella mengambil pena yang disodorkan. Kontrak itu tebal, penuh pasal-pasal hukum yang dingin. Ia tidak perlu membacanya lagi. Ia sudah tahu isinya. Intinya adalah ini: Ia menukar dirinya untuk uang, dan sebagai gantinya, ia akan menyelamatkan nyawa seorang bayi kecil yang tak bersalah.

Ia menandatangani di bagian yang ditandai. Tanda tangan itu terasa seperti menggores batu nisan miliknya sendiri.

"Selamat datang di Valenti Manor, Isabella Moreno," kata Damon Valenti, tanpa ada nada sambutan sama sekali. "Mari kita temui Enzo."

Damon berbalik dan berjalan menuju pintu. Isabella ditinggalkan untuk mengikuti, tas di tangannya terasa semakin berat. Ia baru saja menjual enam bulan hidupnya kepada Raja Mafia. Tidak ada jalan kembali.

Mereka naik lift, bergerak ke lantai atas. Ketika pintu lift terbuka, suasananya langsung berbeda. Koridor di sini dilapisi karpet tebal, tidak ada gema, dan suhunya lebih hangat.

Damon mengarahkannya ke kamar bayi, sebuah ruangan yang sangat besar, tetapi terasa sunyi. Lampu tidur kecil menerangi buaian kayu besar di tengah ruangan.

Di buaian itu, terbaring Enzo.

Wajah Isabella langsung melunak. Segala ketakutan dan permusuhannya terhadap Damon menguap seketika. Di sana, di buaian itu, adalah bayi yang mengingatkannya pada segalanya-pada Elias. Enzo terlihat kurus, kulitnya pucat. Bibir mungilnya terlihat kering dan sedikit berkedut.

Seorang wanita paruh baya, yang tampak seperti pengasuh yang kelelahan, bangkit dari kursi di samping buaian. Matanya membulat saat melihat Damon dan Isabella.

"Tuan Valenti. Syukurlah kau kembali. Enzo baru saja bangun. Dia... dia menolak lagi. Hanya menangis."

Damon tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat kepada wanita itu untuk pergi. Wanita itu, yang jelas terintimidasi, bergegas keluar.

"Dia harus makan sekarang, Isabella," perintah Damon.

Isabella mendekat ke buaian. Jantungnya berdebar, bukan karena takut pada Damon, tetapi karena kerinduan yang mendalam. Enzo adalah bayi. Bayi yang berhak hidup. Bayi yang butuh kehangatan ibu.

Isabella dengan hati-hati mengangkat Enzo dari buaian. Tubuh kecil itu terasa seringan bulu, dan tangisnya lemah. Sensasi memeluk bayi lagi... rasanya begitu menyakitkan, tetapi juga menghidupkan. Ia ingat betul bagaimana rasanya Elias dulu, begitu rapuh.

Damon mengamati dari ambang pintu, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, wajahnya tidak terbaca.

Isabella duduk di kursi goyang terdekat. Ia dengan lembut menyesuaikan posisi Enzo, mendekatkannya ke dadanya, merasakan kehangatan kulit di bawah lapisan kain. Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam, mengenyahkan semua kebisingan-Damon, mafia, kontrak, uang. Hanya ada dia dan bayi ini.

Ia merasakan dorongan alami, respons tubuhnya terhadap tangisan dan kehangatan bayi.

Saat Enzo menemukan sumber susu dan mulai menghisap dengan lemah namun stabil, isak tangisnya mereda. Keheningan yang manis memenuhi ruangan. Suara isapan kecil Enzo adalah satu-satunya yang memecah keheningan maut di Valenti Manor.

Isabella membuka matanya, dan pandangannya langsung bertemu dengan Damon Valenti.

Damon masih berdiri di sana, seperti patung, tetapi kali ini, ada yang berbeda. Kekerasan di rahangnya sedikit mengendur. Matanya yang gelap, yang tadinya hanya memancarkan ancaman, kini memancarkan sesuatu yang mendekati... kelegaan. Atau mungkin kekaguman.

Ia melihat Isabella Moreno. Bukan lagi sebagai komoditas yang ia beli, tetapi sebagai sumber kehidupan bagi putranya.

Isabella merasa malu ditatap seperti itu, namun ia juga merasa kekuatan kembali padanya. Ia mungkin telah menjual dirinya, tetapi dengan memberi makan Enzo, ia menyelamatkan nyawa. Dan untuk pertama kalinya sejak Elias pergi, ia merasa berguna.

"Dia makan," kata Damon, sebuah pernyataan yang hampir tidak terdengar.

"Ya," jawab Isabella. "Dia baik-baik saja."

Malam itu, di kamar bayi yang tenang, di jantung kekuasaan mafia, Damon Valenti melihat keajaiban yang ia beli. Dan Isabella Moreno menyadari, kontrak ini jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Tidak ada batasan yang bisa menghentikan naluri seorang ibu. Dan tak ada tembok yang cukup tinggi untuk menghentikan obsesi yang baru lahir.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY