/0/22400/coverbig.jpg?v=928b482a1f89d199f04e8197baf1965e)
Rangga Wijaya, pewaris kaya yang sinis dan trauma dengan cinta, terus didesak keluarganya untuk segera menikah. Hidupnya berubah ketika Kinanti, perempuan sederhana yang cerdas tapi terbelit utang keluarga, masuk ke perusahaannya sebagai sekretaris sementara. Di tengah tekanan keluarga, luka masa lalu, dan perbedaan dunia mereka, Rangga dan Kinanti terlibat dalam dinamika penuh humor dan ketegangan. Mampukah mereka menemukan kebahagiaan di tengah kekacauan hidup masing-masing?
Telepon di meja kerja Rangga bergetar lagi. Kali ini, bukan hanya bergetar, tapi seperti menari-nari, nyaris terjun bebas ke lantai karena getarannya yang heboh. Rangga melirik layar ponsel itu malas-malasan. Nama Mama terpampang jelas di sana, seperti pengingat nasib yang tak bisa dihindari. Ia menghela napas panjang, menyandarkan tubuh ke kursi, dan bersiap menerima "ceramah sore".
"Halo, Ma," sapanya datar, tanpa usaha menyembunyikan rasa lelahnya.
"Rangga, Mama cuma mau tanya," suara Mamanya langsung menyerang tanpa aba-aba, "Kapan kamu mau mulai cari calon istri? Jangan bilang Mama kamu sibuk lagi, karena Mama sudah bosan dengar alasan itu!"
Rangga memijat pelipisnya sambil melirik jam di dinding. Ah, lima menit lebih awal dari biasanya, pikirnya. Biasanya ceramah ini dimulai pukul empat tepat. Rekor baru.
"Ma, aku sibuk, dan aku belum ketemu yang cocok," jawabnya, mencoba terdengar santai.
Mamanya mendesah, suara khas seorang ibu yang kecewa tapi tetap gigih. "Rangga, kamu tuh punya segalanya. Tampan, kaya, pintar, bisnis sukses. Kok ya masih saja jomblo? Mama ini malu kalau arisan ditanya kapan kamu menikah! Mama jadi bahan gosip, tahu nggak?"
"Mama, aku juga nggak mungkin pilih istri cuma biar Mama bisa menang di arisan," tukas Rangga, mencoba menahan senyum.
"Bukan itu maksud Mama!" seru Mamanya. "Tapi umurmu itu loh, Nak. Sudah tiga puluh dua tahun! Kalau kamu terus-terusan begini, nanti anak-anakmu manggil kamu Opa, bukan Papa!"
Rangga mengerutkan kening. "Opa? Mama, umurku baru tiga puluh dua, bukan tujuh puluh dua."
"Lima tahun lagi juga sudah kepala empat! Habis itu kepala lima! Mama ini ngomong karena sayang sama kamu, Nak. Masa pewaris satu-satunya keluarga Wijaya malah jadi perjaka tua?"
Rangga menghela napas panjang lagi. Kata perjaka tua itu mulai terdengar seperti julukan baru yang mau disematkan Mamanya di kartu nama. "Ma, aku baru putus lima bulan lalu. Aku belum siap."
"Belum siap? Lima bulan itu sudah cukup buat ayam bertelur lima kali, Rangga! Kamu tuh bukan ayam, kamu manusia. Masa hatimu masih belum sembuh-sembuh juga?"
Rangga harus menggigit lidahnya untuk menahan tawa. Gaya perumpamaan Mamanya selalu unik. Ia menatap jendela ruangannya, memandang gedung-gedung tinggi di Jakarta yang entah kenapa terasa semakin menekan.
"Ma, aku nggak mau asal nikah cuma karena desakan. Kalau nggak cocok gimana?" tanyanya, mencoba alasan lain.
"Kamu tuh nggak mau usaha! Nih, Mama bilang ya, cari pasangan itu kayak cari rumah. Nggak ada yang langsung cocok. Kadang harus renovasi dulu! Yang penting ada niat dulu, Rangga."
Rangga tertawa kecil. "Jadi aku harus renovasi calon istri juga, gitu?"
"Bukan gitu maksud Mama! Aduh, kamu ini," keluh Mamanya. "Mama serius, Rangga. Kalau kamu nggak mau usaha, biar Mama cariin. Banyak loh anak teman Mama yang cantik, pintar, kaya. Tinggal pilih!"
Rangga hampir tersedak mendengar ide itu. Dijodohkan? Bayangan dirinya di ruang tamu, dikelilingi tante-tante arisan yang sibuk memamerkan anak-anak mereka seperti katalog produk, membuatnya ngeri.
"Mama, jangan," katanya cepat. "Aku bisa cari sendiri. Tapi, beri aku waktu."
"Berapa lama lagi? Jangan sampai Mama sudah pegang tongkat baru kamu bilang mau nikah!" tukas Mamanya galak.
"Ma, aku janji akan serius. Tapi aku nggak bisa langsung sekarang juga," jawab Rangga, mencoba terdengar meyakinkan.
"Baiklah, Mama kasih waktu. Tapi kalau sampai akhir bulan ini kamu belum ada progres, Mama turun tangan sendiri, ya!"
Tanpa menunggu jawaban, Mamanya menutup telepon, meninggalkan Rangga dengan rasa campur aduk antara lega dan waspada. Ia meletakkan ponselnya di meja, menatapnya seperti benda itu baru saja mengancam nyawanya.
Di ruang kerjanya yang megah, Rangga merasa seperti sedang menjalani drama keluarga level dewa. Jadi pewaris keluarga sukses ternyata tidak semudah kelihatannya. Punya uang tujuh turunan memang menyenangkan, tapi tekanan untuk meneruskan darah keluarga itu sama besarnya.
Ia bersandar di kursi, memijat pelipisnya lagi. Lima bulan lalu, ia masih sibuk melupakan Ayu-mantan kekasihnya yang ketahuan selingkuh dengan seorang selebgram. Hatinya belum sepenuhnya pulih, tapi sekarang ia sudah harus memikirkan mencari pasangan hidup lagi? Rasanya seperti mencoba menambal ban bocor sambil dikejar deadline.
Pikirannya baru saja melayang-layang ketika pintu ruangannya diketuk. Rani, sekretarisnya, masuk membawa setumpuk dokumen. Perutnya yang membesar tampak menonjol di balik blouse kerjanya.
"Mas Rangga, ini laporan bulan lalu. Perlu tanda tangan Anda," katanya sambil meletakkan dokumen di meja.
Rangga mengambilnya tanpa banyak bicara, membaca sekilas, lalu membubuhkan tanda tangannya. Namun, sebelum Rani pergi, ia mengingatkan sesuatu.
"Mas, saya mau ingatkan lagi kalau dua minggu lagi saya mulai cuti melahirkan, ya."
Rangga mendongak dengan ekspresi terkejut. "Oh iya, ya. Saya hampir lupa. Kamu sudah siapkan pengganti sementaranya?"
"Sudah, Mas. Tenang saja. Dia lebih dari sekadar kompeten," jawab Rani sambil tersenyum percaya diri.
"Kompeten itu syarat standar. Kamu yakin dia nggak bikin ribet?" tanya Rangga, masih skeptis.
Rani tertawa kecil. "Mas Rangga, tenang saja. Dia nggak cuma kompeten, Mas. Dia juga cantik. Namanya Kinanti. Dia lulusan terbaik, pengalaman kerjanya banyak, dan... ya, saya yakin Mas bakal senang bekerja sama dengannya."
Rangga mengangkat alis. "Cantik, ya? Jangan-jangan Mama bayar kamu buat masang jebakan, nih."
Rani terkekeh. "Mas Rangga terlalu berprasangka. Tapi siapa tahu, jodoh bisa datang dari mana saja, kan?"
"Rani, ini kantor, bukan reality show 'Cari Jodoh'. Jangan coba-coba ikut campur urusan itu," Rangga memperingatkan dengan nada bercanda.
"Tapi, serius, Mas. Kinanti ini bukan hanya kompeten, dia juga cerdas dan sangat profesional. Kalau ada yang bisa menggantikan saya dengan baik, itu dia."
"Kalau kamu bilang seperti itu, aku percaya. Tapi jujur saja, aku masih merasa agak waswas," jawab Rangga sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Mas Rangga, saya yakin dalam dua minggu kerja bareng Kinanti, Mas bakal merasa aman. Dia ini tipe orang yang nggak cuma bekerja keras, tapi juga sangat perhatian hingga detail terkecil."
Rangga mendesah. "Baiklah. Kalau begitu, aku serahkan saja. Tapi aku nggak mau ada drama ya."
"Drama? Mas Rangga, ini perusahaan besar. Drama itu nggak ada di daftar job description kita!" jawab Rani sambil tertawa. Ia kemudian berpamitan dan keluar dari ruangan, meninggalkan Rangga yang terdiam.
Rangga duduk termenung. Nama Kinanti terus terngiang-ngiang di kepalanya, seperti sebuah nada asing yang pelan-pelan menjadi akrab. Entah kenapa, ia merasa nama itu akan membawa babak baru dalam hidupnya-meski ia belum tahu seperti apa babak itu nanti.
Semoga dia memang kompeten, pikirnya sambil memutar-mutar pulpen di tangannya. Dan kalau bisa, semoga dia nggak bikin masalah baru. Karena hidupku sudah cukup kacau tanpa tambahan plot twist sebagai topingnya.
Terbangun di tempat asing dan tanpa seorangpun yang kau kenal, bukanlah hal yang menyenangkan bagi Danessa. Berbagai pertanyaan seperti siapa, mengapa, di mana dan bagaimana? Terus saja berputar-putar di dalam benak gadis itu. Namun setiap kali Nessa berusaha untuk mengorek sedikit bayang masa lalunya, rasa berdentam yang begitu menyiksa seperti akan meremukkan kepalanya kapan saja. Ketika serpihan masa lalu perlahan membawa kembali ingatannya, akhirnya Nessa menyadari jika kenyataan tampaknya tak semanis apa yang ia bayangkan. Nessa yang dulu ternyata benar-benar berbanding terbalik dengan dirinya kini. Nessa yang dulu bukanlah gadis yang baik, gadis yang bahkan mungkin tak pantas untuk dicintai. Ketika kenyataan itu terungkap, akankah Nessa menjadi dirinya yang dulu? Atau tetap menjadi sosok seperti ini? Sosok yang lembut dan terlalu mudah untuk dicintai?
Heaven dan Kaylein, sepasang kekasih yang saling mencintai dan menaruh perhatian berlebih terhadap segala sesuatu yang berbau immortal. Pasangan itu bahkan rela berkeliling dunia hanya untuk memuaskan obsesi mereka untuk bisa bertemu secara langsung dengan sang immortal. Sekian lama mencari namun tak kunjung mendapatkan hasil membuat mereka nyaris menyerah dan mengganggap jika mahluk immortal itu sekedar dongeng dan sama sekali tak pernah ada. Namun ketika mereka mengunjungi sebuah kastil tua bergaya Victorian di kawasan New Orleans, akhirnya mereka menemukan segala yang selama ini mereka cari, namun dari sana juga sebuah malapetaka terjadi. Kaylein diubah secara paksa menjadi salah satu bagian dari klan mereka. Sementara di tengah rasa sakit yang mendera akibat virus Vampir yang mulai menjangkiti setiap relung tubuhnya, Kaylein harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, kekasihnya di nodai dengan begitu kejamnya oleh pimpinan klan itu sendiri. Sang iblis tampan yang terlampau kejam dan berhati dingin. Ketika takdir mulai menjalankan misinya, akankah kedua insan ini berhasil menjaga cinta mereka? Atau justru akan menemukan cinta yang baru, cinta yang mungkin telah takdir persiapkan bahkan jauh sebelum mereka terlahir ke dunia.
" Sadar Gra, gue temen pacar lo!! " Pekik Sila frustasi dengan tingkah pria di hadapannya. " Aku gak peduli, yang penting kamu pacar aku. " Acuh nya dengan seringai yang menyebalkan. " Stress, gila. Mati aja lo sana. " " Aku rela mati asal bersamamu. " " Najis" --- Kewarasan Sila sepertinya di permainkan saat menghadapi Agra yang merupakan pacar dari sahabatnya, pria itu tiba-tiba mengklaim dirinya sebagai pacar. Apalagi saat pria itu yang bersikap mengatur dirinya layaknya pasangan kekasih membuat Sila benar benar gemas ingin mencekik leher pria itu hingga mati.
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
"Ugh," Lenguhan keluar dari bibir perempuan yang tengah terpejam itu. " Yes, honey. Moan again !" Geram pria itu. " Akh, you make me crazy" Alana tidak tau jika setiap malam selalu ada orang yang menyelinap masuk ke dalam apartment mewah nya, menyentuh saat dia tidur dan pergi setelah puas tanpa dia tau keberadaan nya. Yang Alana rasa, semua itu hanya mimpi nya. -- " Rasanya aku ingin mengecup dan memberikan tanda di setiap inci tubuh kamu. mengurungmu dan menjadikan kamu hanya untuk ku. " " Pria gila. " " Yes, that's me"
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Rumornya, Laskar menikah dengan wanita tidak menarik yang tidak memiliki latar belakang apa pun. Selama tiga tahun mereka bersama, dia tetap bersikap dingin dan menjauhi Bella, yang bertahan dalam diam. Cintanya pada Laskar memaksanya untuk mengorbankan harga diri dan mimpinya. Ketika cinta sejati Laskar muncul kembali, Bella menyadari bahwa pernikahan mereka sejak awal hanyalah tipuan, sebuah taktik untuk menyelamatkan nyawa wanita lain. Dia menandatangani surat perjanjian perceraian dan pergi. Tiga tahun kemudian, Bella kembali sebagai ahli bedah dan maestro piano. Merasa menyesal, Laskar mengejarnya di tengah hujan dan memeluknya dengan erat. "Kamu milikku, Bella."