Dengan tangan gemetar, ia menyentuh gagang pintu, mencoba menenangkan diri meskipun setiap serat tubuhnya ingin berlari. Rumah ini milik Thorne. Thorne, yang seharusnya menjadi pelindung bagi ibunya, ternyata justru menjadi orang yang tak bisa dipercaya. Kenapa ia harus kembali ke sini? Kenapa harus menghadapinya?
"Elara..." Suara itu datang dari belakangnya, dalam dan berat, seolah mencengkram setiap pikiran yang coba ia rapikan. Thorne. Saat Elara menoleh, ia mendapati pria itu berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Ada apa dengan pria ini? Kenapa ia harus berada di dekatnya?
"Jangan terlambat makan malam," Thorne berkata, suaranya tegas namun ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya. "Kami sudah menunggu."
Elara menatapnya dengan mata penuh kebencian yang tak bisa ia sembunyikan. Tiga tahun sejak tragedi itu, sejak ibunya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang paling kejam-mengakhiri semuanya dalam sunyi. Elara masih ingat jelas, bagaimana Thorne berdiri di sana, mata tajamnya tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun, bahkan setelah semua yang terjadi.
Itu adalah kenyataan yang tak bisa ia terima.
Ketika ibunya pergi, Elara ditinggalkan dalam dunia yang hancur. Namun, Thorne yang datang dengan janji perlindungan dan kasih sayang tak lebih dari tipu daya. Adopsi itu bukan untuk menyelamatkan Elara, tapi untuk mengekangnya, menjadikannya alat yang bisa ia kontrol. Kini, ia tinggal di bawah atap yang sama dengan pria yang telah meracuni hidup ibunya, dan bahkan lebih mengerikan-meracuni hidupnya.
Setiap hari di rumah itu seperti belenggu yang mengikatnya lebih erat. Aturan yang tak masuk akal, sikap Thorne yang penuh kontrol, dan pandangannya yang selalu mengawasi membuat Elara merasa semakin terkurung. Setiap langkah yang ia ambil, setiap kata yang ia ucapkan, selalu diawasi, dan sering kali dihukum. Hukumannya bukan sekadar fisik, namun lebih kepada cara Thorne mencoba mengendalikan dirinya-dan itu jauh lebih menyakitkan.
"Jangan biarkan aku melihatmu terlambat lagi, Elara," Thorne berkata lagi, suara kali ini lebih dingin, penuh ancaman.
Elara berbalik dan melangkah menuju tangga dengan hati yang dipenuhi kekosongan. Tanpa menoleh lagi, tanpa memberi Thorne kesempatan untuk melontarkan kata-kata lain, ia merasakan matanya mulai berkaca-kaca. Bukan karena kesedihan-tapi karena kebencian yang makin tumbuh kuat dalam dirinya.
Thorne bisa mengontrol hidupnya, tapi ada satu hal yang tidak bisa ia kendalikan-perasaan Elara. Tidak ada yang bisa menghapus kenangan tentang ibunya, dan tidak ada yang bisa merubah kenyataan bahwa ia akan melawan.
Selama ini, hidupnya dipenuhi dengan rasa terperangkap, tetapi tidak lagi. Elara tahu ini baru permulaan. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus tumbuh-sesuatu yang lebih besar dari rasa takut. Dan suatu hari, ia akan menemukan jalan keluar.