Dia mengetahuinya dari suara gaduh di ruang tamu ketika ia turun dari kamar tadi pagi. Para pelayan bergegas, suara tawa dan ucapan selamat datang menggema-semua untuk Cassian. Tapi tidak ada satu pun langkah yang menuju ke arahnya, tidak ada panggilan untuknya, tidak ada pertanyaan tentang bagaimana perasaannya setelah ditinggalkan selama berbulan-bulan.
Rowena tidak tahu apakah dia harus tertawa atau menangis.
Dia membuka undangan di tangannya, membaca ulang kata-kata yang terasa lebih seperti perintah:
"Pesta penyambutan Cassian Aldric. Hadir wajib. Jangan buat skandal."
Tanpa tanda tangan. Tanpa sapaan. Hanya secarik kertas putih dengan tulisan dingin dan kaku, yang tentu saja dari adik iparnya, Eleanor.
Rowena mengepalkan undangan itu. Tidak ada yang pernah peduli tentang bagaimana perasaannya. Tidak keluarganya yang telah menjualnya ke dalam pernikahan ini. Tidak suaminya yang bahkan tidak menyadari keberadaannya. Tidak Eleanor, yang sejak awal membencinya tanpa alasan yang jelas.
Dan sekarang, dia harus turun ke pesta itu, mengenakan senyum palsu, dan berpura-pura menjadi istri yang baik?
Sial.
Ruangan itu terang benderang, penuh dengan tamu dari kalangan elite yang bercengkerama sambil mengangkat gelas anggur. Rowena berdiri di sudut ruangan, tangannya menggenggam gelas yang sejak tadi tak disentuh.
Di tengah ruangan, Cassian dikelilingi oleh beberapa pria dan wanita, semua tertawa seolah dia adalah pusat dunia. Dia tampak sama seperti enam bulan lalu-tinggi, tegap, dengan sorot mata tajam yang sulit ditebak. Jasnya sempurna, rambutnya sedikit acak tapi tetap terlihat memikat.
Rowena menelan ludah. Haruskah dia mendekat? Atau tetap di sini, menunggu suaminya menyadari keberadaannya?
Jawabannya datang lebih cepat dari yang ia duga.
Cassian menoleh sekilas ke arahnya. Sekilas.
Hanya satu detik.
Dan dalam satu detik itu, tidak ada kehangatan, tidak ada keterkejutan, tidak ada kerinduan.
Hanya tatapan kosong, seolah dia sedang melihat seorang kenalan lama yang tak begitu penting.
Lalu dia kembali berbicara dengan yang lain, melanjutkan tawa, melanjutkan malamnya, seolah Rowena tidak ada.
Darahnya berdesir, matanya panas.
Dia tidak mengharapkan banyak, tapi... tetap saja, sesuatu di dalam dirinya runtuh.
Eleanor muncul entah dari mana, mendekat dengan seringai kecil di wajahnya. "Oh, kasihan sekali. Sudah enam bulan, tapi dia bahkan tidak tertarik untuk menanyakan kabarmu?"
Rowena mengeratkan genggaman di gelasnya. Dia ingin membalas, ingin mengatakan sesuatu yang bisa membuat Eleanor diam, tapi lidahnya kelu.
Eleanor mendekat, berbisik di telinganya dengan nada penuh kepuasan. "Kau tahu? Mungkin dia memang tidak pernah menginginkanmu."
Rowena membeku.
Jari-jarinya gemetar. Sesuatu di dadanya meledak-amarah, sakit hati, atau mungkin kombinasi keduanya.
Tidak. Dia tidak bisa terus seperti ini.
Sebelum air matanya jatuh, sebelum emosinya meledak di depan semua orang, Rowena membalikkan badan dan berjalan keluar.
Dia membutuhkan udara.
Dia membutuhkan kebebasan, meski hanya untuk satu malam.
Hujan sudah berhenti ketika Rowena sampai di tempat wisata di pinggiran kota. Tempat itu sepi malam ini, hanya diterangi lampu jalan yang temaram. Angin dingin menggigit kulitnya, tapi dia tidak peduli.
Langkahnya membawanya ke tepi tebing, tempat pandangan luas ke kota di bawahnya.
Dan di sanalah dia melihatnya.
Seorang wanita tua berdiri di tepi jurang, tangannya gemetar, matanya kosong seperti kehilangan seluruh harapan.
Jantung Rowena mencelos.
Tanpa berpikir, dia berlari. "Tunggu! Jangan-!"
Wanita itu menoleh perlahan, dan dalam cahaya remang, Rowena melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Mata itu.
Tatapan itu.
Dia mengenalnya.
Dan ketika wanita itu berbicara, suara gemetar yang keluar dari bibirnya membuat dunia Rowena terhenti.
"Kau... adalah bagian dari ini semua, bukan?"