/0/2270/coverbig.jpg?v=4cf9bbb0b464844e876cc18a65758ef0)
Nayla yang tak ingin melibatkan orang di sekitar dalam masalah, malah membuatnya semakin jauh terjebak dalam ancaman-ancaman. Sumpah yang diucapkan oleh Kak Yuni seolah menjelma nyata. Muak dengan tuduhan-tuduhan dan fitnah yang melabelinya sebagai pelakor, , Nayla akhirnya memutuskan untuk mewujudkan semua ucapan itu menjadi nyata.
"Bukan aku, Kak! Aku sama sekali gak pernah nyebarin kabar soal Kakak sama Kak Anto," tampikku.
Kesal saja, yang melakukan perselingkuhan mereka. Yang melihat dan menyebarkan tetangga, tapi aku yang harus terkena getahnya.
"Lalu siapa lagi? Dasar gak tahu terima kasih! Udah ditampung, dirawat, diusahain biar gak putus sekolah. Balasannya malah nyebar fitnah. Kamu mau kakak cerai sama Hendrik?" Kak Yuni menatapku nyalang, suaranya semakin tinggi dipenuhi amarah.
Dari pintu depan, Kak Makmur masuk diiringi Kak Aulia.
Kak Yuni melayangkan tangan ke arahku, tapi Kak Aulia lebih dulu sempat menahan. Meski gemetar, aku tak ingin menunjukkan raut ketakutan yang membuat tuduhannya semakin besar.
Kak Makmur menarikku ke luar. "Nay, kamu sementara di rumah Kakak aja, ya!"
"Yun, sabar. Istigfar. Kan bisa dibicarakan baik-baik." Kak Aulia berusaha membujuk Kak Yuni.
"Sabar gimana lagi! Itu anak gak tau terima kasih! Sudah ditampung, bikin malu! Kamu gak tahu aja alasan dia dipindahin ke sini gara-gara overdosis di sekolah, dia pura-pura baik. Dasar serigala berbulu domba!" Kak Yuni tak henti-henti memaki.
Rumah Kak Aulia bersama Kak Makmur yang hanya terhalang triplex tipis membuatku bisa mendengar semua teriakan dan makian itu dengan jelas. Sesak, kecewa, ingin marah dan balas mengatakan semua aibnya yang selama ini sudah berusaha keras kujaga.
Air mata mulai merebak, aku menunduk menyembunyikan wajah di kedua lutut.
"Aku sumpahin, biar dia yang jadi pelakor sekalian! Biar tahu gimana rasanya dituduh merebut laki orang!" Suara berdebum dari barang apa yang entah ditendang kembali diiringi makian.
"Nay, udah. Padahal aku kemaren juga udah bilang, kalau yang pertama lapor itu Lily. Lily liat Anto ke luar dari rumah Yuni tengah malam lewat pintu dapur." Kak Makmur berusaha menenangkan.
"Tapi kenapa sekarang aku yang dituduh, Kak?" Isakku semakin keras dan menjadi-jadi. Amarah, kebencian, rasa kesal bercampur aduk di hati.
"Mungkin karena cuma kamu orang luar yang tinggal di sana dan dipikir tahu semuanya," jelas Kak Makmur.
Dari rumah Kak Yuni telah sunyi, Kak Aulia terdengar masuk dan menghampiri kami berdua.
"Nay, malam ini tidur di rumah aku aja sementara, ya? Takut Yuni masih marah terus emosi kalo kamu balik," ujar Kak Aulia.
"T-tapi, Kak?" Aku segera mengangkat kepala dan menatap.
"Udah, gak apa. Ayah kamu juga nitip tolong jagain kamu. Aku juga kaget kalo Yuni sampai semarah itu."
"Boleh nginap di rumah Kak Lily di belakang aja? Di sini takut ngerepotin," ujarku mengingat rumah Kak Aulia yang kecil. Tak tega harus berdesakan dengan sepasang suami istri itu, ditambah dengan kelima anaknya lagi.
"Apa nanti gak dikira kamu 'sekongkol' sama Lily?" cegah Kak Makmur.
"Iya, terserah. Orang jujur salah juga. Nyalahin orang padahal yang salah siapa!" sungutku.
Kak Aulia akhirnya mengalah, mengantarkanku ke rumah kecil di belakang.
"Li ...," panggilnya sambil mengetuk pintu.
Wanita yang usianya baru memasuki kepala tiga itu membuka pintu, daster merah motif bunga-bunga membalut tubuhnya yang kurus.
"Aku nitip Nayla, ya? Kamu denger aja, 'kan, barusan Yuni marah? Takut Nayla kenapa-napa," ujar Kak Aulia.
"Masuk, masuk. Aku malas ikut campur. Dia salah, tapi dia yang marah karena merasa difitnah." Kak Lily segera memberi jalan untukku masuk.
Aku masuk diiringi Kak Aulia. Kak Lily menyuruhku untuk segera ke kamar, tersisa mereka berdua berbicara entah membahas apa.
Aku menurut, melangkah menuju ruang kecil di mana hanya triplek yang menjadi dindingnya juga. Aku duduk di sisi dinding kayu sambil mengotak-atik ponsel.
Tak lama Kak Lily menghampiri, segera kukembalikan ponsel ke dalam kantong celana.
"Kak Aulia sudah pulang. Sementara tidur di rumahku, nanti keperluan kamu biar Kak Aulia aja yang ngambil. Kamu jangan temuin Yuni sampe keadaan tenang, ya?" pesan Kak Lily.
Aku mengangguk patuh. Saat dia memintaku untuk segera tidur pun, aku tak berani membantah.
Kurebahkan diri dengan banyak perasaan yang mengganggu, kesal, benci, sedih bercampur bahagia. Sepandai-pandai menyimpan bangkai, pasti akan tercium bau busuknya. Mungkin itu kata yang tepat.
Aku memang saksi bisu perselingkuhan Kak Yuni dan Kak Anto, tapi tak cukup berani mengungkapkan. Padahal Kak Hendrik selama ini sudah sangat baik dan perhatian.
Malam-malam meresahkan setiap Kak Hendrik pergi merantau, lalu Kak Anto datang menyelinap ke kamar kini takkan ada lagi. Aku tak pernah bisa tidur dengan tenang mendengar suara desahan mereka setelah ketiga anak Kak Yuni tidur. Bahkan tak jarang aku yang harus berjaga-jaga agar 'malam panas' mereka lancar dan aman.
Pernah aku diamuk Nisa, anak pertama Kak Yuni karena menghalanginya masuk saat Kak Anto bersembunyi tanpa busana di dalam kamar.
Aku merasa jadi orang jahat yang lemah. Tapi, sekarang semuanya sudah berakhir tanpa campur tanganku lagi, harusnya aku sudah tenang. Tanpa sadar, kedua mata terpejam dengan banyak hal yang ternyata masih harus kusimpan sendirian.
****
"Nay, Nay." Kak Lily membangunkanku.
Meski berat, tetap kupaksa membuka kedua mata. Terlihat dia sudah rapi dan wangi, oh, astaga, sekarang jam berapa!
"Kakak ke pasar, ya, jualan? Tadi baju-baju kamu sudah diambilkan Kak Aulia. Mandi, makanan ada di dapur," jelasnya, aku masih berusaha mengumpulkan nyawa yang tadi berkelana di alam mimpi.
"Jangan telat makan, kalo nanti Kak Yuni datang jangan dibukain pintu. Oke?" pesan Kak Lily lagi.
Aku mengangguk meski setengah sadar. Wanita yang tadi bicara itu beranjak ke luar.
"Jul! Ayo, berangkat!" Teriakan Kak Lily memanggil suaminya terdengar.
Aku melirik angka di sudut ponsel. Jam sembilan! Pantas saja jendela yang terbuka membuatku silau.
Sekarang, aku sendirian. Kak Lily sudah berangkat bekerja membawa Izam, anak semata wayang mereka. Kak Ijul pasti juga akan bekerja.
Kak Makmur bekerja di Kantor Lurah, sedang Kak Aulia setiap pagi ikut kursus menjahit. Mustahil harus mendatangi Kak Yuni.
Aku bergegas mandi karena tuntutan perut yang lapar. Usai mengguyur air seadanya dan memakai kaos tanpa lengan juga celana pendek di atas lutut, kulirik semangkok mie goreng plus telur dadar yang tersedia.
Segera kubawa ke ruang depan sambil menikmati kipas angin yang menyala.
Belum usai menghabiskan separuh, terdengar suara sepeda motor berhenti di depan. Aku gegas menyelesaikan kunyahan dan berniat ke kamar untuk mengambil celana panjang serta jaket.
Beberapa langkah, pintu depan sudah terbuka. Kak Ijul berdiri memandangku saat aku berpaling untuk memastikan siapa yang datang.
"Eh, Nay. Kenapa mie nya gak dihabiskan?" tanyanya memecah kecanggungan.
"Mau ambil jaket bentar, Kak. Sama ganti celana," sahutku tanpa menoleh lagi.
Derit papan kayu yang diinjak terdengar mendekat. Aku mempercepat gerak memasang celana panjang.
Kak Ijul berdiri tepat di depan pintu kamar. Tatap matanya menyapu seluruh tubuhku.
"M-maaf, Kak. Kakak, 'kan, tau ada aku, kenapa gak ketuk pintu dulu sebelum mau masuk? Mau cari apa?" tanyaku terbata.
Bukannya menjawab, dia malah melangkah maju.
"Kak, aku ke luar sekarang, ya?" Aku melangkah mendekati pintu, tapi satu tangannya mencengkeram.
Pintu ditutupnya dengan kasar. "Nay, kamu cantik banget. Putih, mulus, bersih," puji Kak Ijul sambil menatapku.
"Makasih, Kak. Tapi kalau gini nanti dikira apa sama orang," elakku kala tangannya mengelus pipi.
Kak Ijul tak menyahut, malah mendorongku ke kasur kapuk kemudian turut menunduk. Dalam keadaan tak berjarak, aku bisa melihat sepasang matanya yang memerah. Astaga, pasti dia sedang mabuk! Bodohnya aku!
Harusnya tadi aku membawa mie itu ke kamar dan mengunci pintu. Pikiranku tentang Kak Ijul yang akan pergi bekerja ternyata salah.
"Kak." Aku mendorong kedua bahunya.
"Ssst!" Kedua tanganku dicengkeramnya merapat ke lantai. Aku ingin memberontak, tapi tubuhnya sudah tepat di atas dan berat. Aku ingin berteriak, tapi mulutnya yang menjijikkan tak jua melepaskan kecupan meski kepalaku terus bergerak menghindar.
"Kalo kamu teriak, aku tinggal bilang kamu yang menggoda duluan. Semua orang pasti akan percaya karena kelakuan Yuni. Diam!" ancamnya.
Tenagaku yang tak seberapa harus kalah meski terus berusaha melawan. Hanya air mata yang terus berjatuhan saat kehormatanku harus direnggut paksa.
Detik-detik berubah menjadi sangat lambat dan menghunuskan belati-belati tajam ke dalam dada. Hancur sudah masa depanku, takkan ada lagi pria yang mau menerima.
Aku tak bisa menjaga, aku salah, aku terlalu lemah!
Mengandung konten 18+ "Pernikahan hanyalah perjanjian yang mengharuskan wanita rela melepas kebebasan. Dan, aku menolaknya!" -Himeka- Berawal dari rasa ingin tahu yang sangat tinggi, Himeka nekat terjun ke dalam pergaulan bebas. Hatinya yang sudah tak lagi mengenal rasa cinta, membuat Himeka menjadikan hubungan dengan lawan jenis hanya sekadar untuk mencari kepuasan. Hingga, saat kehamilan itu terjadi di luar rencananya. Himeka pun berniat untuk menggugurkan kandungan dengan alasan tidak mengetahui ayah dari janinnya karena sering berganti-ganti pasangan tidur. Namun, kehadiran sosok dari masa lalu yang menawarkan bantuan membuat prinsip yang selama ini dipegang Himeka menjadi goyah.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Livia ditinggalkan oleh calon suaminya yang kabur dengan wanita lain. Marah, dia menarik orang asing dan berkata, "Ayo menikah!" Dia bertindak berdasarkan dorongan hati, terlambat menyadari bahwa suami barunya adalah si bajingan terkenal, Kiran. Publik menertawakannya, dan bahkan mantannya yang melarikan diri menawarkan untuk berbaikan. Namun Livia mengejeknya. "Suamiku dan aku saling mencintai!" Semua orang mengira dia sedang berkhayal. Kemudian Kiran terungkap sebagai orang terkaya di dunia.Di depan semua orang, dia berlutut dan mengangkat cincin berlian yang menakjubkan. "Aku menantikan kehidupan kita selamanya, Sayang."
BERISI ADEGAN HOT++ Leo pria tampan dihadapan dengan situasi sulit, calon mertuanya yang merupakan janda meminta syarat agar Leo memberikan kenikmatan untuknya. Begitu juga dengan Dinda, tanpa sepengetahuan Leo, ternyata ayahnya memberikan persyaratan yang membuat Dinda kaget. Pak Bram yang juga seorang duda merasa tergoda dengan Dinda calon menantunya. Lantas, bagaimana dengan mereka berdua? Apakah mereka akan menerima semua itu, hidup saling mengkhianati di belakang? Atau bagaimana? CERITA INI SERU BANGET... WAJIB KAMU KOLEKSI DAN MEMBACANYA SAMPAI SELESAI !!
"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.
Karena sebuah kesepakatan, dia mengandung anak orang asing. Dia kemudian menjadi istri dari seorang pria yang dijodohkan dengannya sejak mereka masih bayi. Pada awalnya, dia mengira itu hanya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, namun akhirnya, rasa sayang yang tak terduga tumbuh di antara mereka. Saat dia hamil 10 bulan, dia menyerahkan surat cerai dan dia akhirnya menyadari kesalahannya. Kemudian, dia berkata, "Istriku, tolong kembalilah padaku. Kamu adalah orang yang selalu aku cintai."
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.