Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Perawan Tua Idola CEO
Perawan Tua Idola CEO

Perawan Tua Idola CEO

4.4
42 Bab
56.4K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Karena sebuah kebohongan, JIngga Amelia berhasil membujuk Carlos Santana--seorang Fotografer terkenal, untuk berpura-pira menjadi pacarnya. Dia tidak berpikir panjang apakah Carlos adalah pria yang baik-baik saja. Namun, keesokan harinya Carlos menawarkan hubungan persahabatan padanya, tetapi bagi Jingga itu adalah hal yang tidak masuk akal. Bagi Jingga, tatapan Carlos mencerminkan omong kosong dalam dirinya. Dia tahu bahwa pria tampan itu tak pernah tertolak siapa pun dan di manapun. Dari yang awalnya hanya persahabatan, Carlos menawarkan diri untuk menjadi kekasihnya. Siapa Jingga jika menolak tawaran tersebut? Apalagi saat mereka sedang berada di tengah-tengah hubungan intim dan mereka sudah seperti layaknya sepasang kekasih. Jingga tidak menyangka bahwa hubungannya dengan Carlos menjadi semakin dalam. Bahkan, meski tanpa status dia tetap bahagia. Dia merasa memiliki ruang kosong dalam hatinya dan itu telah terisi selama berhubungan dengan Carlos. Namun, suatu hari penyakit Jingga kambuh dan itu membuatnya memutuskan untuk menjadi antagonis dalam kisah cinta mereka. Dia terpaksa pergi bersama Gin. Apa yang tidak terpikirkan olehnya, adalah kenangan saat bersama Carlos dan itu menjadi beban baginya, di kemudian hari. Pada akhirnya, Jingga kembali. Namun, apakah Carlos mampu membuktikan kebenaran pepatah yang mengatakan, "Hati melihat apa yang tidak dilihat mata"?

Bab 1 Kencan Paksa dan Pria Aneh Misterius

Jingga berada di Love Cafe, menyeruput kopi sambil melihat orang-orang lewat di jalan. Kafe itu menjadi tempat nongkrong favoritnya, saat tidak melakukan apa-apa atau menghabiskan waktu. Mereka memiliki kopi yang enak dan dia dapat dengan mudah mengetahui apa yang terjadi di luar. Kafe ini dekat dengan jalan raya.

Jingga sedang menghela nafas, saat tiba-tiba melihat orang tuanya masuk ke dalam cafe, dia pun berdiri untuk menyambut.

"Halo, Ma." Jingga menyapa ibu seraya mencium pipinya. Kemudian berbalik ke ayah lalu memeluknya. "Halo, Ayah."

Setelah itu, dia kembali ke mejanya lalu menunggu orang tuanya duduk terlebih dahulu.

"Gimana kabarnya?" Jingga bertanya.

Ibunya menghela napas sebelum berkata. "Jing, kamu kapan mau nikah?"

Dia tercengang dengan pertanyaan ibunya. Bagaimana mungkin mereka langsung membahas pernikahan, sedangkan Jingga ingin bertanya tentang rindu, karena mereka sudah lama tidak bertemu-berbulan-bulan.

"Mama, saya belum siap ...."

"Dasar perawan aneh!." Ibunya memotong kalimat Jingga seraya tersenyum. "Kamu itu sebenarnya siap, Jing. Asal kamu tau, sebenarnya Mama sudah punya calon yang cocok untukmu."

Dia meringis. Lagi-lagi ibunya mau memperkenalkannya pada seseorang, padahal selama ini semua calon pilihan ibunya itu tidak ada yang membuatnya suka.

"Ma, saya yakin siapa pun pilihan Mama, pasti seorang pria yang baik, tapi belum tentu juga cocok untuk saya." JIngga berkata dan di bibirnya terlukis senyum palsu.

"Jingga, ayolah. Itu tidak benar," ucap ibunya sambil menyentuh tangan Jingga. "Kamu kan sudah dua puluh sembilan tahun. Sudah waktunya kamu mempunyai anak!"

Saat ibunya berbicara, dia meringis. Apa yang dikatakan ibunya benar-benar membuatnya muak. Dia menatap ayahnya, menyipitkan matanya untuk melihat apakah si ayah tidak peduli atau hanya berpura-pura saja membaca koran. Namun, Jingga memang tidak mungkin mendapat pembelaan dari ayahnya.

Dia mengalihkan pandangan ke ibunya, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Ma, ya sudah, saya coba dulu berkencan dengannya." Dia berkata dengan senyuman yang palsu. Dia berpikir, jika menolak tawaran ibu, itu hanya memperpanjang masalah.

Ibunya pun tersenyum lebar. "Aww, kamu baik sekali, Sayangku. Baiklah, Mama akan menelepon Lodrick sekarang," ucapnya seraya menekan tombol ponsel.

Jingga menatap ibunya dengan aneh. "Emangnya Mama punya nomor pria itu?"

Ibunya mendongak dari ponselnya. "Ya. Mama yakin kamu pasti suka dia. Mama janji, Lodrick adalah seorang pria terhormat."

Alih-alih menjawab ibu, dia hanya tersenyum keras padanya. Dia sungguh tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya bisa mendengar percakapan antara ibu dan Lodrick. Frustasi membuatnya menyesap kopi.

Tiba-tiba ibunya membuatnya kaget.

"Yah, Lodrick setuju berkencan denganmu! Nama lengkapnya adalah Lodrick Gamez," ucapnya seraya meletakkan ponsel. "Kalian akan bertemu di Igor Restaurant. Sudah Mama bilang padanya kalau kamu akan mengenakan gaun putih."

"Apa? Gaun putih? Ma, itu norak!"

Ibunya memberi tatapan tajam. "Jing, gaun putih adalah gaun formal untuk wanita sepertimu!"

Jingga pun tertawa. "Oke, Ma, terserah Mama aja."

"Oke, Sayangku. Bagaimanapun, Ayah dan Mama akan pergi. Kami akan pergi ke tempat lain."

"Oke. Hati-hati."

"Kamu juga, Sayangku, hati-hati. Jangan lupa kencanmu dengan Lodrick."

Jingga meringis mengingat alarm kencan nanti oleh ibunya. "Tentu, Ma. Saya tidak akan melupakannya."

Mereka berdiri dan mengucapkan selamat tinggal sebelum berpisah. Orangtuanya seperti tidak punya tujuan lain selain menjodohkan Jingga dengan Lodrick. Sedangkan Jingga berpikir bahwa mereka akan terikat sebagai sebuah keluarga tetapi itu hanya sebauh harapan..

Dia menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskkannya. Betapa dia akan berkencan karena ibunya.

Dia berdiri kemudian pergi meninggalkan kafe. Dia berjalan menuju mobilnya yang ada di tempat parkir. Saat hendak membuka mobilnya, seseorang menepuk bahunya. Ketika dia melihat siapa orang itu, bibirnya sedikit terbuka.

Pria di depannya terlihat seperti selebritas yang aneh. Cukup tinggi beberapa inci dibandingkan dirinya. Dia memakai kaos polo hitam dan jeans denim. Matanya menggiurkan bagai cokelat cair. Rambutnya hitam legam. Jingga tidak menyangka bahwa ada pria tampan seperti itu, memiliki hidung runcing dan bibir tipis yang terlihat lembut. Dia memiliki kumis jarang. Meski Jingga tidak pernah menyukai pria berkumis karena menurutnya terlihat kotor, tetapi pria ini berbeda. Kumisnya menambah kejantanan dan itu cocok untuknya. Sialnya, baunya sangat enak. Itulah yang Jingga inginkan dari seorang pria, aroma yang harum.

Pria itu menyeringai. "Saya tahu saya tampan, tapi kamu tidak perlu membuka lebar mulutmu. Nanti ada lalat yang masuk."

Jingga secara otomatis menutup mulutnya yang terbuka. "Saya sedang tidak mengagumimu, ya!" JIngga mengelak.

Pria itu pun tertawa. "Hmm. Ya. Tidak apa-apa, semua wanita yang saya pasti tergila-gila. Saya yakin kamu tidak berbeda dari mereka."

Jingga tercengang. "Wow. Percaya diri sekali kamu, Woy!"

"Saya hanya bicara fakta. Kamu kagum dengan ketampanan saya, kan?"

Jingga memperhatikannya kembali. Ya, pria ini indah, tetapi juga sangat sombong. Sayang, itu adalah salah satu kualitas yang dia benci dari seorang pria. Pria seperti itu pasti seekor buaya.

"Apa yang kamu butuhkan dan kenapa kamu menyentuhku? Jika kamu sedang tersesat, tanyakanlah pada Google Map. Tanya mereka, jangan tanya saya!"

"Saya yakin Google Map tidak tahu namamu."

Bibir Jingga menganga karena terkejut. "Apa!"

"Saya menepuk bahumu untuk menarik perhatianmu agar aaya bisa menanyakan siapa namamu."

"Apa?"

Pria itu memutar matanya lalu menyodorkan tangan untuk menjabatnya. "Hai, saya Carlos. Siapa namamu?"

"Jingga."

Carlos tersenyum.

"Jingga. Hmm ... nama yang bagus," ucapnya seraya melepaskan tangannya. "Sampai jumpa, JIng!" Setelah itu dia lewat di depan Jingga lalu masuk ke mobil yang diparkir di sebelah mobilnya.

Jingga menggeleng dengan lembut. Apa yang baru saja terjadi sangat aneh. Dia kira pria itu ingin menanyakan arah sehingga menyentuhnya, ternyata hanya menanyakan siapa namanya.

Jingga menjadi gusar saat masuk ke mobilnya dan mengendarainya ke unit kondominiumnya.

#####

Saat berkendara ke rumah orang tuanya, Carlos menelepon Radit, salah satu teman dekatnya yang memiliki koneksi ke Kantor Perhubungan Darat. Mereka adalah teman sekelas SMA-nya dan meskipun mereka memiliki mata kuliah yang berbeda di Perguruan Tinggi, mereka tidak pernah kehilangan komunikasi satu sama lain. Dia adalah salah satu teman sejati yang bisa Carlos hubungi.

"Hei, DIt. Bisakah saya meminta bantuanmu?"

Radit menjawab sinis, "Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya."

"Apakah saya masih harus bertanya apakah Anda baik-baik saja? Saya baru saja datang dari sana di bengkelmu."

"Memangnya mau minta bantu apa?"

"Saya akan kirimkan nomor platnya. Kamu bisa tidak mengetahui siapa pemiliknya dan di mana dia tinggal?"

Radit tertawa di seberang sana. "Woah, kamu sedang menguntit seseorang, ya?"

Carlos memutar matanya. "Untuk apa saya menguntit seseorang? Itu plat nomor orang yang sudah menabrak mobilku. Dia kabur. Untung saya dapat plat nomornya."

"Hilih ... masalah sepele saja, tidak usah membuatmu sibuk! Jangan mengejar pemiliknya. Biarkan saja. Bawa saja mobilmu ke bengkel dan saya akan memperbaikinya.”

"Kamu mau bantu tidak sebenarnya!"

Radit menghela napas. "Baik. Saya akan membantumu. Kirimkan saya nomor plat, nanti saya telpon kamu lagi.."

"Oke. Terima kasih."

"Tidak masalah."

Carlos mematikan panggilan lalu mengirimi Radit nomor plat. Setelah itu, dia melempar ponselnya ke dashboard, kemudian memusatkan seluruh perhatiannya ke jalan.

Setelah dua puluh menit, akhirnya dia tiba di rumah orang tuanya. Ponselnya berdering tepat pada waktunya. Dia mengambil ponsel di dasbor dan ketika melihat Radit yang menelepon, dia dengan cepat menjawabnya.

"Bagaimana, apa kamu sudah tahu siapa pemilik plat itu?" Carlos segera bertanya tepat saat menjawab panggilan.

"Ya. Mobil itu milik Jingga Amelia. Dua puluh sembilan tahun dan dia tinggal di Kondominium Mawar, lantai sepuluh, unit satu-nol-lima."

"Status?"

"Lajang." Radit pun tertawa. "Woy, kamu gak tanya kapan ulang tahunnya?"

"Tidak. Terima kasih."

"Oke."

Carlos mengakhiri panggilan dengan senyum di wajahnya. Jingga Amelia. Hmm. Nama yang bagus.

#######

Sebelum Jingga memasuki Restoran Manda, dia mengatur gaun putih yang dia kenakan.

"Permisi, reservasi untuk Lodrick Gamez?"

Pelayan tersenyum padanya. "Lewat sini, Bu."

Jingga dibimbing ke meja di mana seorang pria ramping duduk dan mengenakan kacamata.

Sial! Jadi ini si Lodrick?

"Tuan Gamez, teman kencan Anda telah tiba." Pelayan berkata kepada pria itu dan JIngga merasa ngeri.

Dia mencoba tersenyum pada pria itu dan duduk di kursi kosong. "Hai, selamat malam."

"Selamat malam juga untukmu." Suara Lodrick pecah.

Jingga meringis. Apakah ini yang dikatakan ibu cocok untuknya? Tuhan!

"Saya Jingga Amelia."

"Ibumu benar, kamu sangat cantik."

Jingga tersenyum palsu. "Terima kasih."

Lodrick tersenyum. "Nama saya Lodrick. Hobi saya golf dan bowling." Dia tertawa dan terlihat cupu! "Ngomong-ngomong, saya sudah memesan untukmu. Saya yakin kamu akan menyukainya."

Ya Tuhan, tolong saya! Jingga diam-diam berdoa kepada tuhan.

Dia ingin berterima kasih kepada pelayan yang telah melayani pesanan Lodrick. Sambil makan, Lodrick bercerita tentang bisnisnya dan tempat-tempat yang pernah dia kunjungi. Dia hanya mengangguk mantap saat Lodrick menceritakan kisah itu. Dia tidak begitu tahu tapi satu jam sudah cukup untuk berbicara dengannya, sehingga dia tahu bahwa pria itu hanyalah salah satu dari orang-orang yang selalu menginginkan perhatian dan itulah yang paling tidak disukainya.

Dia benar-benar merasa lega ketika makan malam selesai. Ketika Lodrick menawarkan untuk mengantar, dia menolak. Ketika Lodrick bertanya apakah mereka bisa makan malam lagi dalam beberapa hari ke depan, dia menolak dan mengatakan kepadanya bahwa Lodrick bukan tipe prianya dan harus mencari wanita lain. Jingga merasa tidak enak, tapi itu lebih baik daripada membuat pria itu berharap.

Ketika kembali ke unit kondominiumnya, Jingga segera menanggalkan pakaian dan berbaring di tempat tidur. Tidak memakai apa-apa selain selimut. Dia memang seperti itu saat tidur, harus telanjang karena kalau tidak tidurnya tidak akan nyenyak.

Setelah beberapa menit memejamkan mata, rasa kantuk akhirnya merenggut kesadaran.

Keesokan paginya, Jingga terbangun karena suara yang berasal dari ponselnya. Dia perlahan membuka mata lalu meraih ponsel di meja nakas.

"Halo?" Suaranya masih terdengar mengantuk.

"Jingga Amelia! Kenapa kamu mempermalukan Lodrick!?" Ibunya berteriak marah dari seberang. "Dia hanya berusaha bersikap baik itu sebabnya dia memintamu berkencan lagi-"

"Ma, saya tidak menyukainya."

Keesokan paginya, harinya langsung hancur. "Saya tidak butuh kencan, oke? Lodrick bukan tipe saya jadi tolong, biarkan saya sendiri."

"Jangan kasar sama Ibu, Jing! Saya ibumu. Lodrick pria yang baik. Kalian berdua cocok."

Jingga menyipitkan matanya. "Ma, tolong, berhenti mengurusi percintaan saya!"

Jinga mematikan panggilan dan melepas baterai ponselnya. Dia tahu ibunya, tidak akan berhenti memanggilnya sampai dia setuju untuk berkencan dengan Lodrick lagi. Astaga! Apakah mengapa ibu tidak mengerti bahwa dia tidak menyukai Lodrick?

Alih-alih kembali tidur, dia bangkit dan berjalan ke dapur untuk menyeduh kopi. Dengan percaya dirinya dia berjalan telanjang di unit kondominiumnya karena dia tahu tidak ada yang bisa melihatnya.

Setelah membuat kopi, dia hendak menyetel musik. Sambil minum kopi, dia menggiling dengan mantap.

Ketika mendengar ketukan di pintu, dia mengecilkan volume speaker dan pergi ke pintu untuk mengecek siapa yang mengetuk.

Pintu dibuka. Jingga sangat syok ternyata pria yang mengetuk pintunya itu adalah pria yang menepuk bahunya di tempat parkir cafe.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" .

Pria itu tidak menjawabnya; dia hanya memandanginya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kemudian seringaian muncul dari bibirnya. "Apakah hari ini hari kelahiranmu, karena kamu benar-benar memiliki setelan hari lahir yang luar biasa."

Dahi Jingga berkerut. "Baju ulang tahun apa yang kamu katakan?" Bibirnya terbuka ketika melihat dirinya sendiri dan sadar bahwa tidak ada seutas benang pun menutupi tubuhnya. "Aaaaahh, sial!"

Dia membanting pintu seraya menutup mulutnya. Matanya melotot karena kaget. Dia hanya mematung di tempatnya berdiri saat tatapan pria itu membelainya seperti plakat rusak yang diputar ulang di otaknya. Mengapa saya lupa tidak mengenakan pakaian?

Dia terkejut mendengar ketukan lagi.

"Hei, buka!" Teriak dari luar. "Saya tidak melihat apa-apa, kok!"

Alih-alih menjawabnya, Jingga berlari ke kamarnya untuk berpakaian.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY