Di tengah gemerlap perhiasan dan tas desainer yang saling bersaing mencuri perhatian, Bu Siska berdiri di pintu masuk dengan senyum sempurna, menyambut tamu satu per satu. Gaun pastelnya yang mewah, rancangan khusus dari Singapura, serasi dengan tas Hermès Birkin warna krem yang sengaja dibawa untuk terlihat "santai" meski sejatinya sebuah pernyataan status.
Namun, di balik senyum manis yang selalu terpasang, Bu Siska menyimpan seribu peran yang harus dijalani dengan sempurna. Perempuan berusia 45 tahun ini bukan sekadar istri Dirjen. Ia adalah ibu tunggal bagi Bisma, anak semata wayangnya yang sedang bersiap mengikuti ujian masuk fakultas kedokteran. Setiap pagi sebelum pukul lima, ia sudah bangun, memastikan seragam sekolah Bisma rapi, bekal makan siang tertata di meja makan marmer, sambil sesekali melirik jam tangan Rolex-nya yang berkilau.
Bisnis skincare miliknya, Glow by Siska, yang ia rintis sepuluh tahun lalu, kini menjadi bahan pembicaraan di kalangan istri pejabat. Kantornya di kawasan Menteng selalu dipenuhi klien-klien setia yang rela mengantre demi mendapatkan serum eksklusif buatannya.
Namun di balik semua glamor itu, ada tanggung jawab lain yang ia jalani sepenuh hati. Setiap Jumat siang, ia menyingsingkan lengan gaun mahalnya untuk turun langsung dalam kegiatan sosial yayasan Bunda Peduli. Anak-anak jalanan yang dibinanya memanggilnya "Mama Siska" dengan penuh kasih. "Dulu aku juga harus berjuang," ucapnya suatu ketika, sambil membetulkan jilbab salah satu anak asuh, matanya berkaca-kaca mengingat masa lalunya yang tidak selalu seindah sekarang.
Hidup Bu Siska seperti pertunjukan akrobat: di satu sisi, ia harus menjaga citra istri pejabat yang sempurna, di sisi lain ia ingin membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar "pendamping suami". Malam hari adalah waktu untuk bekerja: menyusun laporan keuangan bisnis, memantau nilai-nilai Bisma, dan menyiapkan proposal yayasan. Di tengah kesibukan, kadang ia terdiam sejenak, merenungkan semua peran yang melekat padanya. Tapi keesokan paginya, seperti biasa, dunia akan kembali melihat sosok Bu Siska yang sempurna, elegan, percaya diri, dan seolah tak pernah lelah.
Namun, di balik semua kesibukan dan citra ideal itu, Bu Siska menyimpan satu rahasia yang tak boleh sampai bocor ke publik: Raka, pelatih gym sekaligus kekasih gelapnya.
Raka, 27 tahun, bukan sekadar instruktur kebugaran. Ia memiliki gym eksklusif di Kemang dan juga pemilik kafe hits yang digandrungi anak muda Jakarta. Tubuh atletis, kulit kecokelatan, dan senyum nakalnya membuat Bu Siska sulit menolak pesonanya.
Awalnya, hubungan mereka murni profesional. Bu Siska menyewa pelatih pribadi karena stres mulai memengaruhi bentuk tubuhnya. Tapi setelah beberapa sesi, saat tangan Raka dengan tegas membenarkan postur tubuhnya, batas antara pelatih dan klien mulai kabur.
Dan Bu Siska, yang sudah lama merasakan dinginnya hubungan dengan suaminya, tak punya alasan untuk menolak.
Lama-kelamaan, ia sadar bahwa rahasia ini bukan miliknya seorang. Dalam pesta-pesta mewah dan arisan Dharma Wanita, diam-diam banyak istri pejabat lain yang juga punya "brondong". Hubungan gelap seperti itu bukan lagi sesuatu yang disembunyikan, melainkan dibanggakan, layaknya tas Hermès edisi terbatas.
Satu per satu tamu memasuki ruangan. Istri para pejabat, pengusaha kaya, hingga janda jenderal pensiunan yang masih haus kuasa. Mereka tampil memukau dalam gaun Paris, berlian sebesar kelereng, dan senyum yang menutupi rasa lapar dan persaingan.
Tiba-tiba, pintu lift terbuka. Aroma mawar dan vanila lebih dulu tercium sebelum langkah Bu Livia, istri Wakil Menteri, istri atasan suaminya memasuki ruangan. Meski usianya 50 tahun, penampilannya tetap memesona berkat klinik kecantikan langganan. Gaun hitamnya sederhana namun menggoda, dengan belahan tinggi dan sepatu Louboutin merah menyala.
Bu Livia tersenyum sinis. "Siska, sayang... akhirnya naik jabatan juga. Aura kekuasaanmu makin terasa. Seperti anggur tua, makin berbahaya."
Tak lama, Bu Heni muncul. Istri Dirjen lain, berusia 46 tahun, berkulit sawo matang, mengenakan gaun emas mengilap dengan belahan dada yang mencolok.
Bu Heni menyenggol Bu Siska pelan.
"Wah, makin glowing aja. Pantesan Raka betah banget sama kamu."
Bu Siska hanya tersenyum. Tak membantah.
Tak lama kemudian, seorang wanita lain melangkah masuk dengan percaya diri. Langkahnya mantap, aroma oud bercampur ambergris menyebar lembut di udara sebelum wujudnya terlihat sepenuhnya. Bu Mia.
Ia mengenakan jumpsuit putih gading berbahan satin, tubuh semampainya dibalut elegan. Kalung berlian tipis menggantung manis di leher, sementara clutch Chanel berwarna silver mengayun ringan di pergelangan tangannya. Bu Mia bukan pejabat, bukan istri pejabat, tapi eksistensinya di lingkaran elite ini lebih kuat dari banyak yang bersuami jabatan.
Bu Mia adalah pengusaha parfum terkemuka, pemilik brand Maison de Mia yang langganan tampil di majalah gaya hidup kelas atas. Tapi di balik botol-botol kaca mewah dan aroma signature-nya, Bu Mia punya bisnis sampingan yang tak kalah harum, penyedia brondong untuk para ibu pejabat yang butuh "hiburan discreet".
Begitu mendekat, senyum liciknya muncul, mengisyaratkan keakraban yang dibalut ironi.
"Lho, trio pesona sudah lengkap rupanya. Bu Siska, Livia, Heni... kalian makin bercahaya seperti biasanya."
Bu Livia tertawa kecil sambil mengangkat gelas mocktail-nya. "Cahaya kekuasaan, Mi. Tapi tetap butuh sumber energi tambahan... ada stock baru nggak?"
Bu Mia tersenyum penuh rahasia. "Tenang. Dua yang terbaru, baru aja mendarat dari Bali. Masih segar, sopan, dan... tahu diri."
Bu Heni mendekat, berbisik sambil melirik sekitar. "Tolong kirim fotonya donk. Yang kemarin lucu sih, tapi terlalu banyak tanya. Aku butuh yang nurut, nggak banyak gaya."
Bu Siska hanya mengangkat alis sambil tersenyum kecil, meneguk minumannya perlahan. Ia tak perlu minta. Bu Mia tahu seleranya luar kepala.
"Untuk kamu, Siska, aku simpan yang spesial. Namanya Dion. Kulit sawo matang, pinter yoga, dan katanya pernah jadi model katalog resort. Fix tipe kamu," bisik Bu Mia sambil mengedipkan mata.
Bu Siska menoleh, senyumnya samar namun matanya berbinar,
"Kirim aja fotonya. Kita lihat cocok atau nggak. Yang penting, jangan yang terlalu cerewet, aku capek ngurus dua dunia."
Mereka tertawa kecil. Tawa yang manis di permukaan, tapi menyimpan dunia yang tak pernah tampil di berita protokoler kementerian atau kolom "keluarga bahagia" di majalah internal Dharma Wanita.
Di tengah gemerlap lampu kristal dan tawa ringan yang mengalun, dunia para perempuan ini berjalan di antara garis abu-abu, antara pengabdian dan permainan, antara image dan insting, antara rumah tangga dan rahasia yang dikemas dalam parfum, berlian, dan senyuman.
Acara pun dimulai.
Musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan. Seorang MC wanita bersuara halus mengambil alih mikrofon, mempersilakan para tamu untuk duduk. Para pelayan berbaju hitam-putih bergerak lincah, menyajikan canapés dan mocktail dengan senyum profesional yang sudah terlatih.
Bu Siska duduk di meja utama, sebuah roundtable elegan berlapis taplak renda krem keemasan bersama Bu Livia, Bu Heni, dan Bu Mia. Mereka duduk berdampingan seperti ratu-ratu kecil dari kerajaan yang tak pernah benar-benar diumumkan, namun diam-diam diakui oleh semua yang hadir.
Di meja itu, tak ada tawa keras. Yang ada hanyalah senyum tipis, lirikan cepat, dan percakapan lirih penuh makna tersirat.
Beberapa menit kemudian, MC memanggil nama Bu Siska untuk memberikan sambutan.
Dengan gerakan anggun, Bu Siska berdiri dari kursinya. Gaun pastel lembutnya jatuh sempurna mengikuti langkahnya menuju podium. Semua mata tertuju padanya sebagian karena rasa hormat, sebagian lagi karena rasa penasaran.
Ia berdiri tegak di depan mikrofon, menghela napas sejenak, lalu tersenyum lebar. Senyum yang dipelajari, disusun, dan dilatih bertahun-tahun untuk momen-momen seperti ini.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang, ibu-ibu hebat, sahabat-sahabat saya yang luar biasa."
Beberapa tamu mengangguk, sebagian lain tersenyum setengah.
"Hari ini, izinkan saya mengucapkan rasa syukur yang mendalam atas amanah baru yang diterima suami saya, Bapak Budi Laksono, sebagai Direktur Jenderal. Tapi lebih dari itu, hari ini saya ingin berbagi bukan hanya rasa syukur... tapi juga sedikit refleksi."
Ruangan mulai tenang. Bahkan sendok garpu pun berhenti beradu.
"Kita semua di sini adalah perempuan-perempuan yang berdiri di samping kekuasaan bukan di belakang. Kita memikul ekspektasi yang kadang tidak tertulis, tetapi terasa beratnya setiap hari: harus sempurna, harus kuat, harus tampil baik, bahkan ketika hati kita sedang remuk. Tapi kita tetap berdiri, tetap tersenyum, tetap menjalankan peran karena kita tahu, dunia ini tidak akan pernah ramah bagi perempuan yang berhenti."
Suasana berubah lebih hening. Beberapa wajah mulai menunjukkan keterpukauan, yang lain tampak mulai merenung.
"Saya percaya, kekuatan kita bukan hanya ada di belakang meja rias atau di balik perhiasan mewah. Tapi dalam cara kita menjaga, membangun, dan tetap peduli meski dunia sering lupa bahwa kita juga manusia. Mari terus dukung satu sama lain. Bukan hanya dalam pesta, tapi juga dalam perjuangan yang tak terlihat."
Ia tersenyum kecil, lalu menutup dengan lembut:
"Terima kasih telah hadir. Terima kasih sudah menjadi perempuan-perempuan yang luar biasa. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Tepuk tangan bergema. Tidak terlalu meriah, tapi cukup untuk memberi pengakuan. Bu Siska kembali ke mejanya dengan langkah anggun, namun sorot matanya sedikit berubah ada kilatan perasaan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang tahu rasanya hidup di balik tirai citra sempurna.
Bu Livia berbisik pelan,
"Luar biasa. Kamu hampir terdengar jujur tadi."
Bu Siska menoleh, tersenyum kecil.
"Kadang... kejujuran paling aman adalah yang dibungkus pidato formal."
Dan meja mereka kembali menjadi pusat diam yang berbicara tempat rahasia-rahasia besar disimpan dalam balutan lipstik merah dan tatapan penuh kendali.
Pelayan-pelayan mulai berdatangan dengan gerobak dorong perak berisi hidangan utama. Piring-piring porselen bermotif emas diletakkan satu per satu di depan para tamu. Siang itu, menunya adalah confit bebek dengan saus jeruk mandarin, disajikan bersama mashed potato truffle dan salad arugula. Makanan mewah, untuk selera yang katanya "refined", meski sebagian tamu hanya mencoleknya sambil tetap menjaga garis pinggang.
Di meja utama, keempat perempuan itu Bu Siska, Bu Livia, Bu Heni, dan Bu Mia makan dengan tenang. Namun seperti biasa, di balik keheningan penuh etika, percakapan yang sesungguhnya pun dimulai.
Bu Heni membuka duluan, sambil mengiris bebeknya perlahan. "Kalian tahu Danu? Yang kuliah hukum, tinggi, anak tentara itu? Sekarang mulai susah diatur. Minta apartemen sendiri." Ia mendesah, antara kesal dan geli. "Baru juga dikasih mobil."
Bu Livia tertawa kecil, menyesap air mineral dari gelas kristal. "Makanya, jangan pelihara anak ambisius. Aku sekarang ganti tipe. Yang aku simpan di Cikini itu barista. Gajinya cukup untuk hidup, nggak terlalu punya mimpi... tapi tangannya luar biasa."
Bu Mia mengangguk penuh pemahaman, lalu menambahkan dengan nada licik, "Itu kenapa aku bilang: pilih yang dari dunia 'biasa'. Mereka lebih tahu cara bersyukur. Apalagi kalau kamu kasih mereka rasa aman. Duit, tempat tinggal, kadang sekadar Netflix, udah cukup buat mereka cinta mati."
Bu Siska, yang sedari tadi hanya menyendok salad dengan tenang, akhirnya ikut bersuara. "Raka masih stabil. Nggak banyak tanya, nggak banyak gaya. Tapi akhir-akhir ini dia mulai kepo sama Bisma... itu yang bikin aku agak waspada."
Bu Mia melirik tajam. "Hati-hati, Sis. Campur aduk urusan pribadi dan piaraan bisa berbahaya. Anak sama brondong itu harus dipisah ruangnya. Jangan sampai dua dunia itu ketemu."
Bu Heni menyahut dengan nada bercanda,
"Makanya, kayak aku. Aku punya dua. Satu buat weekday, satu buat weekend. Nggak sempat nanya-nanya urusan lain."
Mereka tertawa pelan, tertahan dan terukur-tawa perempuan-perempuan yang tahu bahwa dunia tempat mereka berpijak penuh jebakan, tapi juga terlalu nikmat untuk dilepas.
Bu Livia menyikut Bu Siska sambil berbisik,
"By the way, yang kamu bilang tadi di podium... soal perempuan yang tak terlihat... kamu ngomongin kita, kan?"
Bu Siska menatap lurus ke depan, wajahnya tetap tenang,
"Aku ngomongin diri sendiri. Tapi kalau kalian merasa nyambung, ya mungkin memang kita punya rahasia yang sama."
Hening sejenak. Hanya terdengar suara alat makan beradu pelan dengan piring, dan tawa dari meja lain yang tidak tahu bahwa di meja ini, pembicaraan jauh lebih tajam daripada pisau steak yang mereka genggam.
Setelah suapan terakhir diselesaikan dan dessert mini pavlova diletakkan di meja, para tamu mulai sedikit bersantai. Percakapan di meja Bu Siska masih berlanjut dengan tawa pelan dan lirikan-lirikan bermakna.
Bu Siska meletakkan garpunya, menyeka bibirnya dengan serbet satin, lalu berkata sambil menatap satu per satu sahabatnya di meja.
"By the way, acara hari ini belum selesai, loh," ucapnya santai tapi dengan nada penuh undangan tersembunyi. "Aku ada agenda khusus, setelah ini. Private, cozy, cuma kita-kita aja. Bisa ikut semua, kan?"
Bu Heni langsung mengangguk sambil meneguk sisa minumannya.
"Bisa banget. Aku butuh pelepas stres setelah acara formal begini. Kalau acaranya Siska, pasti menarik."
Bu Livia ikut tersenyum, mengangkat alis.
"Tentu. Aku bahkan udah siapin dress ganti. Kan tahu sendiri, kalau 'acara khusus'-nya Siska biasanya ada sesi... relaksasi tambahan."
Mereka semua tertawa pelan. Hanya Bu Mia yang menghela napas sambil menggulung rambut ke belakang bahunya.
"Sayang banget aku nggak bisa ikut," katanya dengan nada menyesal, walau senyumnya tetap penuh intrik. "Hari ini ada jadwal rekrut. Beberapa anak baru dari luar kota baru sampai. Harus aku screening sendiri sebelum disebar."
Bu Livia langsung menyambar, sambil tertawa kecil dan melirik geli, "Wah, pantes aja kamu nggak mau ikut. Di tempat kita cuma bisa ngomongin brondong, di tempat kamu bisa nyicip satu-satu."
Suasana meja pecah dengan tawa terkendali, diselingi lirikan ke kanan-kiri untuk memastikan tak ada yang terlalu dekat mendengar.
Bu Mia hanya mengangkat bahu, penuh percaya diri.
"Risiko pekerjaan, sayang. Harus tahu kualitas sebelum dilempar ke pasar premium."
Bu Siska menimpali sambil tersenyum misterius,
"Santai saja. Kalau ada yang lolos seleksi, simpan satu buat aku, ya."
Bu Mia mengedip pelan. "Tentu. Spesial untuk pelanggan utama, selalu ada prioritas."
Mereka semua kembali pada dessert masing-masing, seolah tak pernah ada pembicaraan yang terlalu dalam barusan. Senyum kembali mengembang, lipstick kembali ditepuk pelan dengan tisu, dan raut wajah kembali netral, seperti layaknya perempuan-perempuan terlatih yang tahu kapan harus bersandiwara, dan kapan menikmati kenyataan.
Acara pun selesai. Semua ibu-ibu pejabat berpamitan dan memberi selamat kepada Bu Siska, menebar pelukan, senyum sopan, dan kalimat-kalimat basa-basi yang dibalut pujian.
Namun, setelah ballroom kembali tenang dan pintu besar ditutup perlahan oleh pelayan terakhir, hanya tertinggal tiga sosok: Bu Siska, Bu Livia, dan Bu Heni.
Mereka bertiga berjalan melewati lorong samping yang sunyi, menuju suite pribadi di lantai tertinggi hotel. Langkah sepatu hak mereka beradu pelan dengan lantai marmer, tak ada percakapan, hanya tatapan yang saling memahami bahwa jamuan berikutnya bukan sekadar makan malam.
Begitu pintu suite terbuka, aroma rempah hangat dan cahaya temaram menyambut mereka. Ruangan itu telah disulap menjadi tempat yang sama sekali berbeda, bukan untuk pesta, melainkan untuk perjamuan rahasia yang sudah lama dirancang Bu Siska.
Ia menoleh pada Bu Livia dan Bu Heni. Senyumnya mengandung sesuatu yang tidak bisa dibeli di butik manapun: kuasa atas rahasia.
"Acara resmi sudah selesai..." bisiknya pelan, seperti ciuman di belakang telinga.
"Sekarang giliran... hidangan penutup."
Ia berjalan menuju pintu tersembunyi di balik tirai beludru. Ketika pintu terbuka, udara berubah. Hangat. Tajam. Menggoda.
Bau tubuh muda bercampur parfum kulit dan bourbon memenuhi ruang, disusul suara pintu yang dikunci dari dalam.
Di dalam ruangan, laki-laki muda dengan jas setengah terbuka dan kancing kemeja tak lagi sempurna berdiri menunggu. Mata mereka liar, tubuh siap disajikan.