/0/24461/coverbig.jpg?v=20250525132212)
Seharusnya takdir punya papan peringatan. Semacam disclaimer tebal yang bertuliskan: "PERHATIAN: Hidup Anda akan segera berubah menjadi lelucon kosmik yang konyol. Mohon siapkan mental, tisu, dan perhaps, sabun anti-bakteri."
Seharusnya takdir punya papan peringatan. Semacam disclaimer tebal yang bertuliskan: "PERHATIAN: Hidup Anda akan segera berubah menjadi lelucon kosmik yang konyol. Mohon siapkan mental, tisu, dan perhaps, sabun anti-bakteri."
Jika ada lomba "Siapa yang Paling Sial Hari Ini?", aku pasti sudah memegang semua piala-emas, perak, dan perunggu sekaligus-bahkan sebelum juri selesai membaca kriteria. Dan mungkin pialanya akan jatuh menimpaku, menyebabkan gegar otak ringan, hanya untuk melengkapi hari yang sempurna. Namaku Arya, hampir tiga puluh, sebuah usia di mana orang-orang seharusnya sudah punya karier mapan, rencana pensiun, atau setidaknya cicilan rumah. Tapi Satu-satunya hal konsisten dalam hidupku adalah ketidakberuntungan yang tak pernah absen, seolah semesta punya agenda pribadi untuk menjatuhkanku.
Aku bahkan tak punya kucing hitam untuk disalahkan atas rentetan kesialan ini, sepertinya aku sendiri adalah pembawa sialnya, sebuah anomali magnetis yang secara ajaib menarik semua kemalangan, dari yang sepele sampai yang benar-benar memalukan.
Pagi ini dimulai dengan alarm ponsel yang memutuskan untuk melakukan mogok kerja massal, seolah dia juga muak dengan hidupku. Hasilnya, Aku bangun terlambat, mi instan sarapanku gosong sampai rasanya seperti arang pahit yang bisa digunakan untuk melukis, dan motor bututku-yang sepertinya punya dendam pribadi padaku sejak aku lupa mengisi bensinnya minggu lalu dan membuatnya terdampar di tengah jalan-kemudian mogok di tengah jalan lagi. Tepatnya, di depan genangan air raksasa yang baru saja disiram bus kota, membuatku basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dengan pakaian yang kini mirip habis memenangkan lomba menyelam di selokan, aku menatap email penolakan kerja ke-17 bulan ini di layar ponsel yang retak, yang layarnya juga sepertinya ikut meratapi nasibku. "Terima kasih atas minat Anda," katanya, dengan nada sopan yang menusuk, "namun posisi ini telah diisi oleh kandidat yang lebih sesuai. "Lebih sesuai" Aku yakin mereka akan mempekerjakan monyet yang bisa mengetik daripada aku. Setidaknya monyet itu tidak akan menumpahkan kopi ke server utama perusahaan. (Itu kejadian bulan lalu, dan mari kita lupakan detailnya. Aku masih trauma.)
Aku menyeret diri kembali ke apartemenku yang mirip sarang tikus-tapi dengan tikus yang mungkin lebih bersih, lebih terorganisir, dan punya masa depan yang lebih cerah daripada aku. Aroma di sini, Perpaduan antara kelembapan abadi yang menempel di dinding seperti lumut purba, sisa-sisa makanan yang lupa dibuang entah sejak kapan dan kini berevolusi menjadi ekosistem baru, dan mungkin sedikit bau keputusasaan yang menguar dari setiap pori-pori, menempel di udara seperti kabut. Aku melemparkan ponselku ke sofa, yang sebenarnya lebih mirip tumpukan bantal yang sudah menyerah pada kehidupan, sama sepertiku. Bantal-bantal itu bahkan tidak lagi punya bentuk aslinya, hanya gumpalan kain yang pasrah.
"Baiklah, semesta," gumamku, menatap langit-langit berjamur yang seolah mengejekku dengan pola-pola anehnya. "Apa lagi yang kau punya untukku? Gempa bumi lokal? Invasi alien yang hanya menargetkan apartemenku ini? Atau mungkin kiamat zombie yang dimulai dari kamarku? Aku siap. Bawa saja. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk hilang."
Dan kemudian, mataku menangkapnya. Sebuah kilatan cahaya yang entah bagaimana menembus jendela kotor apartemenku, mengarah ke kafe "The Bloom" di seberang jalan. Tempat itu adalah definisi "terlalu bagus untuk Arya". Interiornya minimalis, dengan sentuhan tanaman hijau di mana-mana yang terlihat sangat mahal dan terawat, dan kopi yang harganya bisa untuk makan tiga kali di warteg langgananku-lengkap dengan es teh manis dan kerupuk. Ini bukan sekadar kafe, ini adalah manifestasi dari semua yang tidak bisa aku raih. Dan di sana, di meja dekat jendela, duduklah Sarah Wijaya.
Aku tahu namanya. Tentu saja aku tahu. Siapa yang tidak tahu Sarah Wijaya? Dia adalah CEO muda yang namanya selalu muncul di majalah bisnis terkemuka, dengan artikel-artikel yang memuji "visi inovatif" dan "kepemimpinan karismatiknya" yang bisa membuat batu pun terkesan. Aku pernah melihatnya di berita, di acara talkshow eksklusif yang hanya bisa kutonton di TV tetangga, bahkan mungkin di mimpiku setelah aku terlalu banyak minum kopi murahan. Rambut hitamnya selalu sempurna, seolah setiap helainya sudah diikat janji suci untuk tidak pernah berantakan, bahkan saat badai. Pakaiannya? Pasti harganya setara dengan sewa apartemenku setahun, tapi dia memakainya seolah itu cuma kaus oblong paling nyaman dari pasar loak. Tidak ada usaha berlebihan, hanya kemewahan yang effortless, seperti dia terlahir dengan aura mahal yang tak tertandingi.
Dia sedang tertawa, dan bahkan dari jauh, tawanya terdengar seperti melodi yang sempurna, bukan seperti suara batukku di pagi hari yang bisa membangunkan seluruh tetangga di lantai ini. Dia berbicara dengan seorang pria berjas yang terlihat seperti baru saja keluar dari sampul majalah Forbes edisi terbaru, lengkap dengan senyum smug dan jam tangan seharga motor bututku. Aku? Aku bahkan tak bisa membuat janji dengan tukang cukur tanpa drama, apalagi berdialog dengan orang selevel itu tanpa gagap dan menumpahkan minuman. Dia adalah berlian yang berkilau di atas mahkota seorang ratu, dan aku adalah kotoran yang menempel di bawah sepatu berlian itu. Sebuah perbandingan yang adil, menurutku, bahkan mungkin aku terlalu melebih-lebihkan diriku sendiri dengan menyebut diriku kotoran. Mungkin aku hanya debu mikroskopis.
Aku menarik tirai, seolah-olah dia bisa merasakan aura pecundangku menembus kaca dan menodai kesempurnaannya. "Sialan," bisikku pada diriku sendiri, dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Sudah miskin, sekarang jadi penguntit kafe. Hidupku benar-benar sudah di dasar jurang yang paling dalam, dan sepertinya aku sedang menggali lebih jauh, mencari lapisan tanah yang lebih kotor."
Beberapa jam kemudian, jurang itu semakin dalam. Budi dan Joni, dua manusia yang entah kenapa masih mau mengakuiku sebagai teman (mungkin karena aku adalah bahan tertawaan gratis mereka yang tak pernah habis dan selalu tersedia), muncul dengan beberapa kaleng bir murah. Mereka datang menagih utang, tentu saja-utang, utang janji yang tak pernah kutepati-tapi berakhir dengan sesi meratapi nasib di balkoni sempitku yang menghadap ke tumpukan sampah yang semakin menggunung, menarik lalat-lalat yang sepertinya juga punya nasib serupa denganku.
"Lo tahu, Bro," kata Budi, menyenggolku dengan sikunya, senyumnya menyebalkan. "Hidup lo ini... inspirasi buat orang-orang yang merasa hidupnya buruk. Mereka bisa lihat lo dan bilang, 'Syukurlah, setidaknya aku bukan Arya. Setidaknya aku punya harapan.'"
"Terima kasih atas motivasinya," sahutku datar, menyesap bir yang rasanya seperti air cucian piring fermentasi, dengan aftertaste penyesalan yang pahit dan rasa logam yang aneh.
Joni, si otak konslet yang selalu punya ide-ide brilian yang berujung pada malapetaka, tiba-tiba menunjuk ke bawah. Di sana, seekor anjing kampung kurus dengan bulu cokelat kusam sedang mengais-ngais sisa makanan, terlihat sama putus asanya denganku, mungkin sedang mencari sisa-sisa rendang yang tak pernah ia temukan.
"Gimana kalau lo jilat anjing itu?" kata Joni, matanya berbinar-binar seperti orang kesurupan yang baru saja mendapat wahyu dari dewa keberuntungan. "Gue dengar, kalau lagi sial banget, jilat anjing bisa balikin keberuntungan. Semacam ritual kuno gitu, kayak di film-film fantasi!"
Aku menatapnya dengan pandangan jijik yang tulus, yang mungkin bisa mengubah air jadi es dan membuat para dewa pun bergidik. "Lo waras? Itu anjing liar, Jon! Bisa kena rabies, kencing nanah, atau jadi manusia serigala! Lo mau gue mati konyol dengan cara yang paling menjijikkan di muka bumi?"
"Ah, masa bodoh! Apalagi yang bisa lebih buruk dari ini, Bro?" Budi menyemangati, seolah aku sedang di ambang keputusan penting hidup atau mati, atau setidaknya di ambang memenangkan lotre. "Ayo, Bro! Demi hidup yang lebih baik! Demi bisa makan rendang tiap hari tanpa mikir cicilan dan utang!"
Kata "rendang" itu berhasil memicu sesuatu di otakku yang sudah lelah dan terkuras. Sebuah gambaran rendang yang empuk, bumbu yang kaya, dan nasi hangat melintas di benakku. Aku memandangi anjing itu, lalu ke wajah-wajah tak tahu malu teman-temanku yang menunggu dengan antusias, seolah mereka sedang menonton pertunjukan sirkus gratis. Apa lagi yang bisa aku rugikan? Harga diri? Sudah lama digadaikan di pegadaian terdekat, mungkin sudah dilelang. Martabat? Sudah dijual murah di obralan diskon 90%, dan tidak ada yang mau beli.
Dengan napas tertahan dan rasa jijik memuncak yang membuat perutku bergejolak hebat, aku menyeret kakiku ke bawah. Anjing itu mendongak, matanya yang polos menatapku seolah aku baru saja menawarkan kontrak film Hollywood atau setidaknya sebungkus sosis. Aku berjongkok di depannya. Aroma sampah, bulu basah, dan entah apa lagi, langsung menyerbu hidungku, membuatku ingin pingsan di tempat. Menutup mata rapat-rapat, mengumpulkan sisa-sisa keberanianku yang hanya tersisa seujung kuku, dan...
SLURP!
Rasanya seperti menjilat karpet yang sudah tidak dicuci selama setahun, dicampur sedikit bau ikan busuk, dan mungkin sehelai rambut anjing yang sudah berabad-abad tidak tersentuh sampo. Aku langsung melompat, ingin muntah di tempat, bahkan mungkin ingin memuntahkan seluruh isi perutku sampai ke usus buntu. Anjing itu hanya menatapku dengan bingung, lalu menggelengkan kepalanya dan kembali mengais sampah, seolah aku adalah manusia paling aneh yang pernah ditemuinya-dan dia sudah melihat banyak hal aneh dalam hidup anjingnya yang singkat. Budi dan Joni tergelak di balkoni, tawa mereka terdengar seperti gerombolan hyena yang baru saja menemukan mangsa empuk, dan aku adalah mangsanya.
"Sialan kalian!" Aku berteriak, merasa benar-benar ingin menghilang dari muka bumi, mungkin dengan cara meledak menjadi debu dan terbang ke planet lain. "Ini adalah titik terendahku! Titik nol! Kalau setelah ini aku tidak jadi miliarder, aku akan gentayangan dan menghantui kalian berdua sampai kalian jilat anjing juga, di depan umum, dan di siarkan langsung di TV nasional!"
Aku berlari kembali ke apartemen, rasa malu membakar seluruh wajahku, membuatku merasa seperti arang mi instan yang tadi pagi. Mandi dua kali, menyikat lidahku sampai perih dan berdarah, tapi rasa jijik itu tetap melekat, seolah menjadi tato permanen di lidahku. Malam itu, aku tidur dengan mimpi buruk tentang anjing yang mengejarku dengan lidah menjulur, menuntut jilatan balasan, dan Sarah Wijaya yang menatapku dengan tatapan jijik. Aku tidak tahu bahwa, jauh di lubuk hatiku, insiden menjilat anjing itu adalah detonator sebuah bom waktu keberuntungan yang akan segera meledak, mengubah segalanya dari nol menjadi tak terhingga. Dan bom itu, entah bagaimana, akan membawaku kembali ke lintasan Sarah Wijaya, si wanita sempurna yang bahkan tidak tahu aku ada, dan mungkin tidak akan pernah peduli, sampai sekarang.
petualangan dan ego *Konten ini mengandung elemen-elemen yang mungkin tidak sesuai untuk pembaca di bawah usia 18 tahun, termasuk tetapi tidak terbatas pada:* -Kekerasan grafis -Bahasa kasar dan sarkasme -Humor gelap dan tema dewasa -Referensi implisit terhadap konten sensual Konten ini ditujukan untuk pembaca dewasa yang memahami batasan fiksi dan fantasi. Pembaca diharapkan bijak dalam menilai kesesuaian materi dengan preferensi pribadi. ⚠️ Baca dengan tanggung jawab.
Rachel dulu berpikir bahwa kesetiaannya akan membuat Brian jatuh hati suatu hari nanti, tetapi ternyata dia salah ketika cinta sejati pria itu kembali. Rachel telah menanggung semuanya-mulai dari berdiri sendirian di altar pernikahan hingga menyeret dirinya sendiri ke rumah sakit untuk perawatan darurat. Semua orang mengira dia gila karena menyerahkan begitu banyak dirinya untuk seseorang yang tidak membalas perasaannya. Namun ketika Brian menerima berita tentang penyakit terminal Rachel dan menyadari bahwa wanita itu tidak akan hidup lama lagi, dia benar-benar hancur. "Aku melarangmu mati!" Rachel hanya tersenyum. Dia tidak lagi membutuhkannya. "Aku akhirnya akan bebas."
Ethan Daniel—CEO kasar yang selalu bersikap dingin karena trauma masa kecilnya. Percintaan sangat jauh dari kehidupannya, maka saat sang kakek mengingatkan perihal gadis masa kecil sekaligus tunangannya. Dia sama sekali tidak peduli dan terkesan sangat cuek. Tapi saat bertemu dengan Anna—wanita sederhana yang sama sekali bukan tipenya, entah kenapa Ethan merasa ada sesuatu yang berbeda, gadis itu sama sekali tidak tertarik dengan ketampanannya, atau kekayaannya. Anna malah menolak pertunangan mereka. Hal itu semakin membuat Ethan penasaran karena selama ini, tidak ada yang bisa menolak pesona, kekayaan dan tahtanya. Dapatkah Ethan mendapatkan Anna, bagaimana saat sudah mengecap kebahagiaan, trauma masa kecilnya kembali menguar. Mampukah Anna menyembuhkannya?
AREA DEWASA! YANG BELUM CUKUP UMUR, MINGGIR DULU YA, CARI BACAAN SESUAI UMURNYA. NEKAT BACA CERITA INI, DOSA TANGGUNG SENDIRI. Pertemuan Anne Mary yang masih berumur 18tahun dengan Marcio Lamparska, 30tahun dalam sebuah tragedi pembunuhan di Tokyo dimana Marcio sebagai pelaku pembunuhan dan Anne yang menjadi saksi matanya membuat hubungan antara Anne dan Marcio terikat dalam suatu kerjasama yang saling menguntungkan karena akibat dari tragedi pembunuhan tersebut, Anne yang merupakan orang terdekat dengan korban, tertuduh menjadi tersangka utama pembunuhan. Sebelum interpol menemukan dan menangkap Anne, Marcio bersama anak buahnya sudah terlebih dahulu menculik gadis itu dan membawanya ke Murcia, Spanyol, kediaman Marcio berada. Anne Mary yang memiliki otak jenius di atas rata-rata hanyalah seorang gadis muda yang sangat lugu, polos namun memiliki mulut yang tajam pedas dan kritis sedangkan Marcio yang tanpa dia sadari sudah jatuh cinta kepada gadis muda tersebut semakin membuatnya protektif menjaga dan memberikan pelatihan-pelatihan fisik pada Anne yang tentu saja semakin membangkitkan api dendam dalam diri Anne yang membara di dalam dadanya. Anne akhirnya bersedia membuka hatinya untuk menerima perasaan Marcio agar dia bisa lebih mudah untuk membunuh pria itu yang ternyata tanpa dia sadari masuk ke dalam perangkapnya sendiri, jatuh cinta pada Marcio. Bisakah Anne melupakan Touda Akira sepenuhnya, orang yang sudah menjadi korban pembunuhan Marcio, dimana Touda merupakan cinta pertama Anne yang mencintainya secara diam-diam dan melupakan balas dendamnya pada Marcio? Bagaimana dengan Iosef, tangan kanan musuh besar Marcio yang sejak pertama kali bertemu dengan Anne, memiliki perasaan tidak biasa terhadap gadis mungil itu. Iosef juga musuh yang pernah melukai Anne namun juga menyelamatkan gadis itu dari kematian. Demi menyelamatkan Marcio, Anne terpaksa ikut pergi dengan Iosef. Iosef yang lembut, perhatian, sangat posesif dan mencintai Anne dengan nyawanya. Cinta yang tulus dan abadi namun memahami jika gadis yang dia cintai tersebut masih mengukir nama Marcio di dalam hatinya. Dalam pelarian bersama Iosef, Anne tumbuh semakin kuat, tangguh dan sangat cantik mempesona. Ayunan pedangnya sangat cepat, akurat, dan sikapnya tegas, tidak segan membunuh siapapun yang menjadi tugas dalam misinya. Akankah pertemuan kembali Anne dan Marcio bisa menumbuhkan perasaan cinta dan kerinduan di antara mereka lagi atau mereka menjadi musuh yang akan saling membunuh? Ikuti terus cerita Anne Mary ini dari seorang gadis biasa yang jelek menjadi seorang gadis muda yang sangat cantik dan memukau namun sifatnya yang sangat tidak peka akan cinta membuat para pria yang terpikat padanya selalu salah paham akan sikapnya. “Ini bukan tentang cinta dan siapa yang kamu pilih, tapi kepada siapa kamu akan berkomitmen untuk memberikan hati yang kamu yakini dia bisa menjaga hatimu dengan sangat baik,” – Anne Mary. CERITA INI EXCLUSIVE HANYA ADA DI BAKISAH!
Sebuah misteri masih terselubung di SMA Permadani Putih. Kematian seorang siswi yang sudah di perk*sa dan dibunuh secara sadis satu tahun yang lalu masih tetap terkubur rapat sampai sekarang. Aturan ketat sekolah pun berubah menjadi semaunya sendiri. Mereka semua seolah sedang menutup mata dengan kasus yang ditutup secara tiba-tiba. Akankah Gara mampu untuk membuka tabir misteri kematian adiknya sendiri? Akankah terkuak siapa pelaku yang sebenarnya? Baca cerita lengkapnya, dan jangan lupa follow akun penulisnya ya. 😍😍
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
© 2018-now Bakisah
TOP