Unduh Aplikasi panas
Beranda / Miliarder / Miliarder dan Romansa
Miliarder dan Romansa

Miliarder dan Romansa

5.0

Seharusnya takdir punya papan peringatan. Semacam disclaimer tebal yang bertuliskan: "PERHATIAN: Hidup Anda akan segera berubah menjadi lelucon kosmik yang konyol. Mohon siapkan mental, tisu, dan perhaps, sabun anti-bakteri."

Konten

Bab 1 Aroma Kegagalan dan Sentuhan Takdir

Jika ada lomba "Siapa yang Paling Sial Hari Ini?", aku pasti sudah memegang semua piala-emas, perak, dan perunggu sekaligus-bahkan sebelum juri selesai membaca kriteria. Dan mungkin pialanya akan jatuh menimpaku, menyebabkan gegar otak ringan, hanya untuk melengkapi hari yang sempurna. Namaku Arya, hampir tiga puluh, sebuah usia di mana orang-orang seharusnya sudah punya karier mapan, rencana pensiun, atau setidaknya cicilan rumah. Tapi Satu-satunya hal konsisten dalam hidupku adalah ketidakberuntungan yang tak pernah absen, seolah semesta punya agenda pribadi untuk menjatuhkanku.

Aku bahkan tak punya kucing hitam untuk disalahkan atas rentetan kesialan ini, sepertinya aku sendiri adalah pembawa sialnya, sebuah anomali magnetis yang secara ajaib menarik semua kemalangan, dari yang sepele sampai yang benar-benar memalukan.

Pagi ini dimulai dengan alarm ponsel yang memutuskan untuk melakukan mogok kerja massal, seolah dia juga muak dengan hidupku. Hasilnya, Aku bangun terlambat, mi instan sarapanku gosong sampai rasanya seperti arang pahit yang bisa digunakan untuk melukis, dan motor bututku-yang sepertinya punya dendam pribadi padaku sejak aku lupa mengisi bensinnya minggu lalu dan membuatnya terdampar di tengah jalan-kemudian mogok di tengah jalan lagi. Tepatnya, di depan genangan air raksasa yang baru saja disiram bus kota, membuatku basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dengan pakaian yang kini mirip habis memenangkan lomba menyelam di selokan, aku menatap email penolakan kerja ke-17 bulan ini di layar ponsel yang retak, yang layarnya juga sepertinya ikut meratapi nasibku. "Terima kasih atas minat Anda," katanya, dengan nada sopan yang menusuk, "namun posisi ini telah diisi oleh kandidat yang lebih sesuai. "Lebih sesuai" Aku yakin mereka akan mempekerjakan monyet yang bisa mengetik daripada aku. Setidaknya monyet itu tidak akan menumpahkan kopi ke server utama perusahaan. (Itu kejadian bulan lalu, dan mari kita lupakan detailnya. Aku masih trauma.)

Aku menyeret diri kembali ke apartemenku yang mirip sarang tikus-tapi dengan tikus yang mungkin lebih bersih, lebih terorganisir, dan punya masa depan yang lebih cerah daripada aku. Aroma di sini, Perpaduan antara kelembapan abadi yang menempel di dinding seperti lumut purba, sisa-sisa makanan yang lupa dibuang entah sejak kapan dan kini berevolusi menjadi ekosistem baru, dan mungkin sedikit bau keputusasaan yang menguar dari setiap pori-pori, menempel di udara seperti kabut. Aku melemparkan ponselku ke sofa, yang sebenarnya lebih mirip tumpukan bantal yang sudah menyerah pada kehidupan, sama sepertiku. Bantal-bantal itu bahkan tidak lagi punya bentuk aslinya, hanya gumpalan kain yang pasrah.

"Baiklah, semesta," gumamku, menatap langit-langit berjamur yang seolah mengejekku dengan pola-pola anehnya. "Apa lagi yang kau punya untukku? Gempa bumi lokal? Invasi alien yang hanya menargetkan apartemenku ini? Atau mungkin kiamat zombie yang dimulai dari kamarku? Aku siap. Bawa saja. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk hilang."

Dan kemudian, mataku menangkapnya. Sebuah kilatan cahaya yang entah bagaimana menembus jendela kotor apartemenku, mengarah ke kafe "The Bloom" di seberang jalan. Tempat itu adalah definisi "terlalu bagus untuk Arya". Interiornya minimalis, dengan sentuhan tanaman hijau di mana-mana yang terlihat sangat mahal dan terawat, dan kopi yang harganya bisa untuk makan tiga kali di warteg langgananku-lengkap dengan es teh manis dan kerupuk. Ini bukan sekadar kafe, ini adalah manifestasi dari semua yang tidak bisa aku raih. Dan di sana, di meja dekat jendela, duduklah Sarah Wijaya.

Aku tahu namanya. Tentu saja aku tahu. Siapa yang tidak tahu Sarah Wijaya? Dia adalah CEO muda yang namanya selalu muncul di majalah bisnis terkemuka, dengan artikel-artikel yang memuji "visi inovatif" dan "kepemimpinan karismatiknya" yang bisa membuat batu pun terkesan. Aku pernah melihatnya di berita, di acara talkshow eksklusif yang hanya bisa kutonton di TV tetangga, bahkan mungkin di mimpiku setelah aku terlalu banyak minum kopi murahan. Rambut hitamnya selalu sempurna, seolah setiap helainya sudah diikat janji suci untuk tidak pernah berantakan, bahkan saat badai. Pakaiannya? Pasti harganya setara dengan sewa apartemenku setahun, tapi dia memakainya seolah itu cuma kaus oblong paling nyaman dari pasar loak. Tidak ada usaha berlebihan, hanya kemewahan yang effortless, seperti dia terlahir dengan aura mahal yang tak tertandingi.

Dia sedang tertawa, dan bahkan dari jauh, tawanya terdengar seperti melodi yang sempurna, bukan seperti suara batukku di pagi hari yang bisa membangunkan seluruh tetangga di lantai ini. Dia berbicara dengan seorang pria berjas yang terlihat seperti baru saja keluar dari sampul majalah Forbes edisi terbaru, lengkap dengan senyum smug dan jam tangan seharga motor bututku. Aku? Aku bahkan tak bisa membuat janji dengan tukang cukur tanpa drama, apalagi berdialog dengan orang selevel itu tanpa gagap dan menumpahkan minuman. Dia adalah berlian yang berkilau di atas mahkota seorang ratu, dan aku adalah kotoran yang menempel di bawah sepatu berlian itu. Sebuah perbandingan yang adil, menurutku, bahkan mungkin aku terlalu melebih-lebihkan diriku sendiri dengan menyebut diriku kotoran. Mungkin aku hanya debu mikroskopis.

Aku menarik tirai, seolah-olah dia bisa merasakan aura pecundangku menembus kaca dan menodai kesempurnaannya. "Sialan," bisikku pada diriku sendiri, dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Sudah miskin, sekarang jadi penguntit kafe. Hidupku benar-benar sudah di dasar jurang yang paling dalam, dan sepertinya aku sedang menggali lebih jauh, mencari lapisan tanah yang lebih kotor."

Beberapa jam kemudian, jurang itu semakin dalam. Budi dan Joni, dua manusia yang entah kenapa masih mau mengakuiku sebagai teman (mungkin karena aku adalah bahan tertawaan gratis mereka yang tak pernah habis dan selalu tersedia), muncul dengan beberapa kaleng bir murah. Mereka datang menagih utang, tentu saja-utang, utang janji yang tak pernah kutepati-tapi berakhir dengan sesi meratapi nasib di balkoni sempitku yang menghadap ke tumpukan sampah yang semakin menggunung, menarik lalat-lalat yang sepertinya juga punya nasib serupa denganku.

"Lo tahu, Bro," kata Budi, menyenggolku dengan sikunya, senyumnya menyebalkan. "Hidup lo ini... inspirasi buat orang-orang yang merasa hidupnya buruk. Mereka bisa lihat lo dan bilang, 'Syukurlah, setidaknya aku bukan Arya. Setidaknya aku punya harapan.'"

"Terima kasih atas motivasinya," sahutku datar, menyesap bir yang rasanya seperti air cucian piring fermentasi, dengan aftertaste penyesalan yang pahit dan rasa logam yang aneh.

Joni, si otak konslet yang selalu punya ide-ide brilian yang berujung pada malapetaka, tiba-tiba menunjuk ke bawah. Di sana, seekor anjing kampung kurus dengan bulu cokelat kusam sedang mengais-ngais sisa makanan, terlihat sama putus asanya denganku, mungkin sedang mencari sisa-sisa rendang yang tak pernah ia temukan.

"Gimana kalau lo jilat anjing itu?" kata Joni, matanya berbinar-binar seperti orang kesurupan yang baru saja mendapat wahyu dari dewa keberuntungan. "Gue dengar, kalau lagi sial banget, jilat anjing bisa balikin keberuntungan. Semacam ritual kuno gitu, kayak di film-film fantasi!"

Aku menatapnya dengan pandangan jijik yang tulus, yang mungkin bisa mengubah air jadi es dan membuat para dewa pun bergidik. "Lo waras? Itu anjing liar, Jon! Bisa kena rabies, kencing nanah, atau jadi manusia serigala! Lo mau gue mati konyol dengan cara yang paling menjijikkan di muka bumi?"

"Ah, masa bodoh! Apalagi yang bisa lebih buruk dari ini, Bro?" Budi menyemangati, seolah aku sedang di ambang keputusan penting hidup atau mati, atau setidaknya di ambang memenangkan lotre. "Ayo, Bro! Demi hidup yang lebih baik! Demi bisa makan rendang tiap hari tanpa mikir cicilan dan utang!"

Kata "rendang" itu berhasil memicu sesuatu di otakku yang sudah lelah dan terkuras. Sebuah gambaran rendang yang empuk, bumbu yang kaya, dan nasi hangat melintas di benakku. Aku memandangi anjing itu, lalu ke wajah-wajah tak tahu malu teman-temanku yang menunggu dengan antusias, seolah mereka sedang menonton pertunjukan sirkus gratis. Apa lagi yang bisa aku rugikan? Harga diri? Sudah lama digadaikan di pegadaian terdekat, mungkin sudah dilelang. Martabat? Sudah dijual murah di obralan diskon 90%, dan tidak ada yang mau beli.

Dengan napas tertahan dan rasa jijik memuncak yang membuat perutku bergejolak hebat, aku menyeret kakiku ke bawah. Anjing itu mendongak, matanya yang polos menatapku seolah aku baru saja menawarkan kontrak film Hollywood atau setidaknya sebungkus sosis. Aku berjongkok di depannya. Aroma sampah, bulu basah, dan entah apa lagi, langsung menyerbu hidungku, membuatku ingin pingsan di tempat. Menutup mata rapat-rapat, mengumpulkan sisa-sisa keberanianku yang hanya tersisa seujung kuku, dan...

SLURP!

Rasanya seperti menjilat karpet yang sudah tidak dicuci selama setahun, dicampur sedikit bau ikan busuk, dan mungkin sehelai rambut anjing yang sudah berabad-abad tidak tersentuh sampo. Aku langsung melompat, ingin muntah di tempat, bahkan mungkin ingin memuntahkan seluruh isi perutku sampai ke usus buntu. Anjing itu hanya menatapku dengan bingung, lalu menggelengkan kepalanya dan kembali mengais sampah, seolah aku adalah manusia paling aneh yang pernah ditemuinya-dan dia sudah melihat banyak hal aneh dalam hidup anjingnya yang singkat. Budi dan Joni tergelak di balkoni, tawa mereka terdengar seperti gerombolan hyena yang baru saja menemukan mangsa empuk, dan aku adalah mangsanya.

"Sialan kalian!" Aku berteriak, merasa benar-benar ingin menghilang dari muka bumi, mungkin dengan cara meledak menjadi debu dan terbang ke planet lain. "Ini adalah titik terendahku! Titik nol! Kalau setelah ini aku tidak jadi miliarder, aku akan gentayangan dan menghantui kalian berdua sampai kalian jilat anjing juga, di depan umum, dan di siarkan langsung di TV nasional!"

Aku berlari kembali ke apartemen, rasa malu membakar seluruh wajahku, membuatku merasa seperti arang mi instan yang tadi pagi. Mandi dua kali, menyikat lidahku sampai perih dan berdarah, tapi rasa jijik itu tetap melekat, seolah menjadi tato permanen di lidahku. Malam itu, aku tidur dengan mimpi buruk tentang anjing yang mengejarku dengan lidah menjulur, menuntut jilatan balasan, dan Sarah Wijaya yang menatapku dengan tatapan jijik. Aku tidak tahu bahwa, jauh di lubuk hatiku, insiden menjilat anjing itu adalah detonator sebuah bom waktu keberuntungan yang akan segera meledak, mengubah segalanya dari nol menjadi tak terhingga. Dan bom itu, entah bagaimana, akan membawaku kembali ke lintasan Sarah Wijaya, si wanita sempurna yang bahkan tidak tahu aku ada, dan mungkin tidak akan pernah peduli, sampai sekarang.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY