Langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan besar bertuliskan "Geng 7AM". Ara menatap pintu itu, merasa aneh melihat tulisan yang terlalu besar untuk ukuran kelas. Dengan langkah ragu, dia melanjutkan perjalanan menuju ruang kelasnya.
"Lo pasti yang baru ya?" Sebuah suara berat memecah kesunyian. Ara menoleh ke belakang, dan di sana, berdiri seorang pria-lebih tepatnya seorang remaja-dengan tatapan yang tajam dan penuh teka-teki.
Cowok itu mengenakan hoodie hitam, dengan rambut acak-acakan yang menyembunyikan sebagian wajahnya. Di tangannya, sebuah buku catatan terbuka, seolah dia sedang menunggu seseorang. Matanya-mata yang tajam seperti pisau-menatap Ara tanpa merasa perlu berpaling. Ada sesuatu yang mengintimidasi dari tatapan itu, sesuatu yang membuatnya merasa kecil, meski dia tidak tahu mengapa.
"Apa lo mau masuk atau cuma berdiri aja di sini?" tanyanya, nada suaranya datar, seolah-olah pertanyaan itu bukan untuk mendapat jawaban, melainkan hanya untuk menguji siapa pun yang mendengarnya.
Ara menelan ludah. "Eh, saya... saya baru pindah. Kelas X-2, ya?"
Pria itu hanya mengangkat alis, seolah tidak terlalu peduli. "Lo udah terlambat, tapi gue rasa lo bisa masuk sekarang."
Ara bingung. Kenapa dia merasa ada yang tidak beres? Namun, sebelum sempat berkata lebih, pria itu melangkah masuk tanpa menunggu jawaban. Ara hanya bisa mengikutinya dengan langkah cepat, berusaha menutupi rasa gugup yang tiba-tiba datang.
Ray. Nama pria itu terlintas di benaknya begitu ia melangkah ke dalam kelas. Dari percakapan singkat tadi, dia tahu, kalau pria itu bukan sembarang orang di sekolah ini.
Tatapan semua orang langsung tertuju pada Ara begitu dia masuk. Mereka semua memandangnya dengan penasaran, sebagian dengan ketidakpedulian, sementara yang lain dengan senyuman sinis. Tak lama kemudian, Ara duduk di bangku kosong yang ada di barisan depan, hanya beberapa kursi dari pria yang tadi, yang kini duduk dengan santai, membuka buku catatannya lagi.
Ara merasa seluruh kelas mengawasinya, dan dia menundukkan kepala, berusaha menghindari perhatian. Namun, suara tawa keras yang datang dari pojok kelas mengingatkannya bahwa di sini, di dunia ini, ada permainan yang jauh lebih rumit daripada yang pernah dia bayangkan.
Ray menoleh sejenak, dan matanya bertemu dengan mata Ara. Tidak ada senyum yang muncul, hanya tatapan yang begitu tajam, seolah menembus langsung ke dalam dirinya. Kemudian, dengan gerakan santai, dia kembali membuka bukunya.
Tidak ada kata, tidak ada isyarat, hanya diam yang memenuhi ruangan.
Sejak pertemuan pertama itu, Ara tahu satu hal-hidupnya di sekolah baru ini tidak akan mudah.