Semua bermula dari sebuah pesan singkat yang diterima Lara malam itu. Awalnya ia mengira itu hanyalah kesalahpahaman. Namun bukti-bukti yang ada terlalu jelas untuk diabaikan. Darren, suaminya, yang selalu ia percayai, berselingkuh. Dan bukan dengan wanita asing, tetapi dengan Maya, sahabatnya sendiri, yang selama ini dianggap seperti saudara.
"Bagaimana bisa...?" Lara berbisik pada dirinya sendiri sambil menunduk. Tangannya gemetar memegang pesan di layar ponsel. Setiap kata yang ia baca membuat hatinya seperti ditusuk berkali-kali. "Darren... Maya... semua ini... nyata?"
Teringat kenangan manis mereka saat pertama kali menikah, Lara menutup wajahnya dengan kedua tangan. Senyum yang dulu selalu membuat hatinya hangat kini terasa seperti ejekan dari masa lalu. Ia teringat saat Darren berkata, "Aku tak akan pernah menyakitimu, Lara." Ucapannya itu kini terdengar seperti kebohongan yang menyayat.
Sore itu, Darren pulang lebih awal. Lara menunggu di ruang tamu, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. Namun, begitu mata mereka bertemu, Lara tahu-sesuatu telah berubah.
"Lara..." suara Darren terdengar berbeda, tidak seperti biasanya. Ada rasa bersalah yang sulit ia sembunyikan.
"Apa itu, Darren? Apa yang terjadi?" suara Lara bergetar, meski ia mencoba tetap tegar.
Darren menunduk, tak mampu menatap mata Lara. "Lara... aku... aku salah. Aku... aku bersama Maya..."
Jantung Lara serasa berhenti sejenak. Dunia di sekelilingnya mendadak hancur. "Apa? Kamu... kamu berselingkuh dengan Maya?" tangisnya pecah, suaranya bergetar hebat.
Darren mencoba menjelaskan, tapi Lara tak mau mendengarkan. Hatinya penuh amarah, kecewa, dan luka yang tak terkatakan. "Kamu tega menghancurkan semua yang kita bangun, Darren? Apa semua janji dan cinta yang kau ucapkan hanya dusta?"
Darren tak mampu berkata apa-apa. Ia tahu luka yang ia sebabkan terlalu besar. Dalam diam, Lara mengangkat ponselnya, menatap bukti-bukti percakapannya dengan Maya. Setiap kata yang tertulis membuat hatinya semakin pedih.
Tak lama setelah itu, Darren menjatuhkan talak pada Lara. Kata-kata itu seperti petir di siang bolong, menghancurkan sisa harapan yang masih tersisa di hati Lara. Tanpa bisa menahan air matanya, Lara berlari keluar rumah, meninggalkan semuanya-Darren, Maya, dan rumah yang pernah penuh cinta itu.
Di jalan yang basah karena hujan, Lara menatap dunia dengan pandangan kosong. Ia tak tahu harus ke mana. Hanya satu yang ia rasakan: sakit yang tak tertahankan. Dalam keadaan setengah pingsan, sebuah mobil yang melaju terlalu cepat menghantamnya.
Lara terkapar di aspal, tubuhnya remuk, dan ia merasakan sakit yang luar biasa. Matanya perlahan menutup, dan dunia di sekelilingnya menjadi gelap.
Ketika ia membuka mata lagi, ia berada di rumah sakit. Suara mesin dan langkah perawat terdengar samar. Lara mencoba menggerakkan tangannya, tapi rasa sakit yang menjalar membuatnya menjerit. Seorang dokter mendekat, menatapnya dengan serius.
"Lara... Lara, dengar aku. Kamu mengalami kecelakaan cukup parah, tapi yang lebih menyedihkan... kamu juga mengalami keguguran," kata dokter itu dengan hati-hati.
Lara menatap dokter itu, tak percaya. "Apa... apa maksudmu? Aku... aku... tidak..." suara Lara tercekat.
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan lagi. Semua yang ia impikan, semua yang ia harapkan, hancur bersamaan. Kehilangan bayi yang ia kandung membuat hatinya nyaris tak mampu berdetak.
Hari-hari berikutnya menjadi mimpi buruk yang tak berujung. Lara merasa hidupnya tak lagi memiliki arah. Rumah sakit menjadi satu-satunya tempat ia tinggal sementara, jauh dari Darren, jauh dari Maya, jauh dari semua yang pernah ia cintai.
Dalam sepi itu, Lara mulai merenung. Ia bertanya pada dirinya sendiri, mengapa semua ini terjadi padanya. Apakah ia terlalu baik sehingga orang lain tega mengkhianatinya? Ataukah hidup memang begitu kejam bagi orang-orang yang mencintai dengan tulus?
Namun, di balik semua kepedihan itu, Lara menemukan satu hal: tekad untuk bertahan. Meski hatinya hancur, meski tubuhnya lemah, meski air matanya tak berhenti, ia tahu satu hal. Ia harus bangkit. Ia harus menemukan dirinya sendiri lagi.
Hari-hari berikutnya di rumah sakit menjadi saksi perjalanan Lara yang penuh luka. Setiap kali ia menatap cermin, ia melihat wajah yang sama sekali berbeda dari yang dulu. Mata yang dulunya bersinar kini penuh kehancuran. Namun di balik kehancuran itu, ada secercah kekuatan yang mulai muncul.
Seiring waktu, Lara mulai belajar untuk menerima kenyataan. Ia mulai menata hidupnya kembali, meski lambat dan penuh perjuangan. Keluarganya datang untuk menenangkannya, dan beberapa teman yang tulus tetap berada di sisinya. Mereka memberinya dukungan, tapi Lara tahu, perjalanan untuk sembuh akan panjang dan berat.
Di malam yang sunyi, ketika hujan mulai turun lagi, Lara menatap langit dari jendela rumah sakit. Hatinya masih sakit, tapi ada satu hal yang ia rasakan: harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan kebahagiaan lagi. Harapan bahwa meski semua yang dicintainya hilang, masih ada kesempatan untuk mencintai dan dicintai kembali.
Tetapi Lara juga tahu, jalan menuju kebahagiaan itu tak akan mudah. Luka pengkhianatan dan kehilangan terlalu dalam. Setiap langkahnya diwarnai rasa takut akan dikhianati lagi. Namun satu hal yang jelas: ia tidak akan menyerah. Ia harus kuat, demi dirinya sendiri, demi hidup yang masih pantas untuk ia jalani.
Malam itu, Lara berbisik pada dirinya sendiri, "Aku akan bangkit... aku akan menemukan bahagia... meski dunia ini mencoba menghancurkanku."
Dan untuk pertama kalinya setelah segala kehancuran itu, Lara merasakan secercah ketenangan. Hatinya masih sakit, tapi ia tahu, hidup harus terus berjalan. Dan di balik air mata dan luka, ada kekuatan yang lahir dari penderitaan.
Lara yang menatap langit malam, tekadnya semakin kuat. Perjalanan panjang untuk sembuh dan menemukan kebahagiaan baru baru saja dimulai.