Ravina mematikan televisi dengan keras.
Suara itu terlalu menyakitkan.
Setiap kata dari berita itu seperti pisau yang menusuk dadanya, berulang-ulang.
Ayahnya. Orang yang selama ini ia banggakan. Orang yang selalu mengajarinya untuk hidup jujur, bekerja keras, dan tak mengotori profesi dokter dengan uang haram.
Kini semua prinsip itu lenyap, bersama nama baik keluarga Pratama yang runtuh hanya dalam semalam.
Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Tangannya bergetar ketika ia menatap surat pemecatan yang belum lama ini datang dari asosiasi dokter.
Mereka tidak memecatnya, tapi menangguhkan izin praktiknya sementara "sampai kasus ayahnya selesai diselidiki."
Alasannya diplomatis, tapi Ravina tahu, dunia kedokteran bukan tempat yang mudah bagi seseorang dengan nama belakang seburuk miliknya sekarang.
Ponselnya bergetar di meja.
Ratusan pesan masuk. Sebagian besar dari nomor tak dikenal.
Pesan-pesan kebencian.
Ucapan seperti "Dokter koruptor!", "Layak dipenjara satu keluarga!", dan "Jadi dokter cuma numpang nama bapak ya?" membanjiri notifikasi ponselnya.
Ravina memejamkan mata, dadanya sesak. Ia tidak kuat membacanya lagi.
Lalu muncul satu pesan dari orang yang paling ia hormati di rumah sakit tempatnya bekerja - dr. Meira, kepala bagian bedah.
"Vina, kamu masih diizinkan masuk kerja. Tapi Direktur baru ingin bertemu kamu besok pagi. Jangan terlambat."
Ravina menggigit bibir bawahnya. Direktur baru?
Ia belum pernah bertemu orang itu. Kabarnya, pria itu datang dari rumah sakit swasta ternama di Jakarta. Orangnya disiplin, keras, dan tak segan memecat staf yang dianggap "tidak profesional."
Dalam hati kecilnya, Ravina tahu - pertemuan itu tidak akan berjalan baik.
Pagi berikutnya, rumah sakit tempat Ravina bekerja terasa berbeda.
Bukan karena ia datang terlambat, tapi karena semua mata kini tertuju padanya.
Bisik-bisik menyambut langkahnya sejak ia melangkah masuk ke lobi utama.
Seragam putih yang dulu membuatnya bangga kini terasa seperti beban berat yang menempel di tubuhnya.
"Eh, itu anaknya Menteri Rendra, kan?"
"Iya, yang bapaknya korupsi itu. Tapi dia masih berani kerja di sini ya?"
"Gak malu, ya?"
Bisik-bisik itu terdengar cukup jelas di telinganya.
Ravina menunduk, menggenggam tas erat-erat, berusaha berjalan lurus menuju ruang direktur.
Sesampainya di depan ruangan berlabel Darian Mahendra Arsatama, M.D., Ravina menarik napas panjang. Ia mengetuk pelan pintu kayu berwarna gelap itu.
"Masuk," suara berat dari dalam menjawab.
Ruangannya tampak elegan, tapi sederhana. Dinding putih bersih dengan satu rak buku besar di sisi kanan. Di balik meja, seorang pria berdiri membelakanginya, menatap keluar jendela yang menghadap taman rumah sakit.
Ravina menegakkan punggungnya. "Selamat pagi, Pak. Saya Ravina Aleysha Pratama, dokter residen di-"
"Duduk."
Nada suaranya tegas, datar, tanpa intonasi.
Ravina menurut, duduk di kursi berhadapan dengan meja kayu besar itu. Baru ketika pria itu berbalik, Ravina benar-benar melihat wajahnya untuk pertama kali.
Tinggi, berwibawa, dengan rahang tegas dan tatapan dingin yang seolah bisa menembus siapa pun yang berani berbohong di depannya.
Senyum bukan bagian dari ekspresinya. Dan ketika mata mereka bertemu, Ravina merasa seluruh udara di ruangan itu membeku.
"Jadi, kamu Ravina," katanya pelan. "Anak dari Menteri Rendra Pratama."
Nada itu tidak bertanya.
Lebih seperti menegaskan sebuah fakta yang tidak menyenangkan.
"Ya, Pak. Tapi saya harap-"
"Ayahmu ditangkap semalam. Seluruh media menayangkan namanya. Dan kamu masih datang ke sini seolah tidak terjadi apa-apa."
Nada suaranya tajam, mengiris.
"Saya masih dokter di rumah sakit ini, Pak. Saya tidak terlibat dalam apa pun yang dilakukan ayah saya."
Darian menghela napas pendek, menatapnya lama. "Kamu sadar, kan? Reputasi rumah sakit ini sedang dipertaruhkan. Banyak pasien menolak ditangani oleh dokter yang punya hubungan darah dengan tersangka korupsi nasional."
Kata-katanya seperti tamparan.
Ravina berusaha tetap tenang. "Saya mengerti, Pak. Tapi saya di sini untuk bekerja, bukan membawa nama keluarga saya."
Darian berjalan memutar meja, kini berdiri di hadapannya.
Tatapannya turun, menelusuri wajah Ravina dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Kau pikir publik peduli dengan perbedaan itu?"
Ravina terdiam.
Ia tahu, pria itu benar. Tapi cara Darian berbicara-dingin, merendahkan, membuat darahnya mendidih.
"Aku hanya ingin melakukan tugasku, Pak," ujarnya akhirnya, menahan nada suaranya agar tidak bergetar.
"Dan aku ingin memastikan semua staf di sini tidak membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaan," balas Darian cepat.
"Kalau kau tidak tahan tekanan publik, pintu keluar ada di belakangmu."
Ucapan itu menusuk lebih dalam daripada ejekan mana pun.
Ravina menatapnya dengan rahang mengeras. "Saya tidak akan lari, Pak Direktur."
Senyum sinis tipis terlukis di bibir pria itu. "Kita lihat saja nanti."
Hari-hari berikutnya berjalan berat.
Ravina bekerja dua kali lebih keras dari biasanya, seolah ingin membuktikan pada seluruh dunia bahwa ia tidak seperti yang mereka kira.
Tapi tetap saja, cibiran datang dari segala arah.
"Dokter Ravina, pasien di ruang 305 batal konsultasi. Katanya dia gak mau ditangani sama kamu," ujar perawat Lila dengan wajah serba salah.
Ravina menatap selembar catatan di tangannya. "Bilang saja tidak apa-apa. Pindahkan ke dokter lain."
"Tapi, Dok, itu sudah pasien keempat hari ini..."
Ravina hanya tersenyum getir. "Tidak masalah, Lila. Aku masih bisa bantu di ruang bedah."
Namun bahkan di ruang bedah pun, ketenangannya tidak ada.
Darian sering muncul tiba-tiba di ruang operasi, mengawasi setiap gerakannya dengan tatapan seperti elang yang menilai mangsanya.
Sekali saja Ravina sedikit lambat dalam pengambilan keputusan, suaranya akan terdengar-dingin dan memotong udara.
"Jangan ragu di meja operasi, dr. Ravina. Keraguan bisa membunuh pasien."
Ravina menahan napas.
Ia ingin menjawab, tapi ia tahu melawan hanya akan memperburuk keadaan.
Setelah operasi selesai, Ravina meninggalkan ruangan dengan wajah pucat.
Perawat-perawat berbisik pelan di belakangnya.
Sementara di koridor, Darian berjalan santai dengan ekspresi datar, seolah tidak sadar bahwa setiap kata tajamnya sudah menggores harga diri seseorang.
Malam itu, Ravina duduk di balkon apartemennya, memandangi lampu-lampu kota. Tangannya memegang secangkir teh yang sudah dingin.
Ponselnya berbunyi lagi - kali ini dari media, meminta wawancara eksklusif tentang kasus ayahnya.
Ia mematikan ponsel itu, menunduk, dan membiarkan air matanya jatuh.
Semua ini bukan salahnya.
Tapi kenapa dunia seolah bersatu untuk menghukumnya?
Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu apartemennya.
Ia terkejut, buru-buru menghapus air mata dan membuka pintu.
Sosok yang berdiri di sana membuat jantungnya nyaris berhenti.
Darian Mahendra Arsatama.
Masih mengenakan jas dokter, rambutnya sedikit basah oleh hujan.
"Pak Direktur?" suaranya hampir bergetar. "Ada apa malam-malam begini?"
"Aku butuh bicara," jawab Darian singkat.
Ravina menatapnya curiga. "Tentang apa?"
"Kasus pasien siang tadi. Aku ingin memastikan laporanmu."
Ravina terdiam. Ia tahu itu alasan formal. Tapi entah kenapa, sorot mata pria itu malam ini berbeda. Tidak setajam biasanya. Ada sesuatu yang... lelah di sana.
"Silakan masuk," katanya akhirnya.
Darian masuk, melepaskan jasnya, menatap sekeliling apartemen kecil itu.
"Tidak seperti yang kubayangkan dari seorang anak menteri," katanya datar.
Ravina menegakkan bahu. "Ayahku sudah bukan menteri. Dan aku tidak butuh kemewahan untuk hidup."
"Begitu ya?" Darian menatapnya lama. "Tapi dunia tidak akan berhenti mengingat siapa kamu, Ravina."
Nada suaranya kali ini bukan sinis, tapi pelan... nyaris seperti peringatan.
"Aku tahu," balas Ravina lirih. "Tapi aku tidak bisa terus menanggung dosa orang lain."
Darian terdiam lama, lalu menatap keluar jendela.
"Aku tahu rasanya," ucapnya tiba-tiba.
Ravina menoleh, bingung. "Apa maksud Anda?"
Darian tidak menjawab. Hanya tatapan kosong ke arah hujan di luar sana, seolah ada masa lalu yang berat tersembunyi di balik kata-kata itu.
Untuk pertama kalinya, Ravina melihat sisi lain dari pria itu - bukan direktur dingin yang selalu menekannya, tapi seseorang yang mungkin juga terluka.
Suasana hening cukup lama sebelum Darian akhirnya berbalik.
"Lupakan yang kukatakan. Aku akan pergi."
"Pak Darian-"
Langkahnya terhenti di depan pintu. "Istirahatlah, dr. Ravina. Kau akan butuh tenaga lebih besar untuk bertahan di tempat ini."
Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Ravina berdiri di tengah ruangan, hatinya berdebar dengan perasaan aneh yang tidak bisa ia pahami.
Antara benci, takut, dan sesuatu yang lain... sesuatu yang tak seharusnya tumbuh di antara mereka.
Namun, malam itu tak berakhir begitu saja.
Telepon berdering lagi. Kali ini dari nomor tak dikenal.
"Ravina Aleysha Pratama?"
Suara di seberang terdengar berat dan berbahaya.
"Ayahmu tidak bersalah. Tapi orang yang menjebaknya... adalah orang yang sekarang paling dekat denganmu."
Suaranya membeku.
"Siapa maksud Anda?"
"Cari tahu sendiri, sebelum semuanya terlambat."
Telepon terputus.
Ravina menatap layar ponselnya lama, napasnya tercekat.
Satu nama terlintas di kepalanya - nama yang baru saja meninggalkan apartemennya beberapa menit lalu.
Darian Mahendra Arsatama.
Dan sejak malam itu, semuanya berubah.
Ketenangan yang tersisa dalam hidup Ravina lenyap.
Yang tersisa hanyalah teka-teki besar, kebencian yang samar-samar bercampur dengan rasa ingin tahu, dan sebuah malam yang kelak akan menjadi awal dari kesalahan paling fatal dalam hidupnya.